KUNINGAN (MASS) – Jika kita melihat pembangunan dan penganggaran di Kuningan akhir-akhir ini, ada satu fenomena yang tak boleh dilewatkan begitu saja: panggung megah Tour de Linggarjati (TdL) terus dinyalakan, sedangkan suara rakyat dalam pesta budaya, karnaval, dan hiburan lokal dipinggirkan, bahkan “ditunda” atas nama keamanan atau keterbatasan anggaran. Bagaimana bisa sebuah pemerintah yang mengklaim “untuk rakyat” tak mampu merancang prioritas yang benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat?
1. Event Prestise Mendahului Kebutuhan Rakyat
Pemerintah Kuningan bangga dengan TdL: peserta dari mancanegara, media nasional, citra pariwisata terus dibangun. Tapi di belahan lain desa-desa, kampung-kampung yang tidak ikut dalam rute TdL malah kehilangan akses hiburan budaya, karnaval rakyat — acara yang biasanya menjadi ruang kebersamaan dan identitas lokal.
2. Alokasi Anggaran Tak Transparan
Klaim bahwa TdL “sepenuhnya sponsor” bukan berarti semua kebutuhan publik dilepaskan dari APBD. Jalan rusak diperbaiki untuk rute TdL, keamanan, kebersihan, logistik: semua fasilitas publik yang memerlukan anggaran. Tapi kita tak pernah diberi data jelas berapa banyak dari APBD yang menumpang ke event ini. Sementara pesta rakyat yang langsung dirasakan justru harus menunggu atau ditunda.
3. Prioritas yang Salah Arah
Dalam APBD Kuningan, belanja seremonial masih besar, belanja modal dan sektor pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, desa, dll., terasa tertinggal. Padahal masyarakat menunggu pembangunan jalan desa, kesehatan kecil, bantuan langsung ke UMKM, bukan kembang api dan panggung besar.
4. Janji “Promosi Wisata” Tanpa Bukti Manfaat Nyata
Kita sering mendengar: “TdL sebagai investasi jangka panjang”, “promosi budaya dan wisata”. Tapi di mana ukuran konkret manfaat itu bagi rakyat biasa? Apakah UMKM lokal di pedesaan memperoleh order? Anak-anak tani mendapatkan bantuan? Apakah sekolah atau fasilitas desa menjadi lebih baik? Kalau tidak, semua itu hanyalah janji ekspose, bukan kesejahteraan nyata.
5. Ketidakadilan dalam Penundaan Pesta Rakyat
Bila alasan keamanan atau stabilitas menjadi dasar, kenapa event bergengsi seperti TdL tetap boleh berjalan? Apakah standar keamanan untuk rakyat biasa jauh lebih tinggi (atau subjektif) daripada untuk tamu asing dan peserta event besar? Semua ini menimbulkan kesan bahwa rakyat biasa diperlakukan dengan bias.
* Tuntut Transparansi Anggaran
Publik punya hak mengetahui rincian anggaran antara event besar dan acara rakyat. Berapa prosentase APBD yang digunakan, berapa sponsor, bagaimana pembagian biaya, dan siapa yang diuntungkan.
* Reformasi Prioritas Pemerintah
Pemerintah harus merefleksikan: apakah APBD dipakai untuk kepentingan prestise atau kepentingan dasar rakyat? Agar pembangunan merata dan rakyat bukan hanya sebagai penonton.
* Libatkan Masyarakat Desa dalam Pengambilan Keputusan
Keputusan penundaan acara, penentuan event apa yang akan didanai, perlu melibatkan masyarakat lokal. Suara mereka harus didengar.
* Audit Publik dan Akuntabilitas
Bila pemerintah menyebut “tanpa APBD” atau “100% sponsor”, wajib ada audit publik dan laporan yang terbuka agar tidak menjadi jargon kosong.
->Kejahilan Kejelasan Menjadi Luka Tambahan
Lebih menyakitkan lagi adalah *ketidakjelasan* yang sengaja atau tidak sengaja dibangun oleh penyelenggara mengenai nasib *Karnaval Budaya / Pawai Karnaval Hari Jadi Kuningan 2025*. Publik sejak lama menanti timeline pasti — kapan karnaval akan dilaksanakan, bagaimana persiapan logistik, siapa panitia resmi, apakah memakai APBD atau sponsor, dan apa saja standar keamanan yang dibutuhkan — tetapi hingga saat ini jawaban resmi tetap abu-abu.
* Pengumuman bahwa “pawai karnaval budaya secara resmi ditunda sampai kondisi Kuningan benar-benar aman” muncul dalam laporan berita tanpa detail. Tidak disebutkan *kapan ulangannya*, apa tolok ukur “aman”, siapa pihak yang menetapkan standar keamanan, dan berapa anggaran yang sebelumnya dialokasikan bakal hangus atau pindah fungsi.
* Acara musik ikut batal di tengah persiapan, seperti Band Kotak, yang telah diumumkan namun kemudian dicabut partisipasinya. Tentu saja masyarakat kecewa, tetapi rasa kecewa diperparah oleh tidak adanya tanggapan resmi yang komprehensif: “kenapa batal?”, “apa kompensasi bagi yang sudah membeli tiket atau mengeluarkan biaya?”, “apakah panitia sudah menyiapkan skenario cadangan?”
* Tanpa adanya transparansi, muncul persoalan integritas: apakah penundaan ini lebih didorong oleh keterbatasan anggaran, ketidaksiapan teknis, atau memang sikap pilih kasih terhadap event rakyat dibanding event bergengsi seperti TdL? Kondisi seperti ini membangkitkan kecurigaan bahwa “keamanan” atau “stabilitas” dijadikan kambing hitam untuk membenarkan pembatalan, sementara event berprestise tetap dibiarkan berjalan.
->Dampak dari Ketidakjelasan
Ketidakjelasan ini bukan sekadar masalah administratif—ia berdampak dalam bbrpa sektor termasuk :
* Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Jika janji disampaikan tapi realisasinya tak jelas atau ditunda tanpa informasi yang memadai, rakyat menjadi cynic, apatis, bahkan skeptis terhadap program-program publik selanjutnya.
* Kerugian materiil bagi warga dan pelaku budaya/UMKM yang sudah mempersiapkan diri: mereka mungkin sudah mencetak kostum, merencanakan mobil hias, menyiapkan logistik, membeli bahan-bahan dukungan — bila karnaval dibatalkan atau ditunda tanpa pemberitahuan jauh-hari, kerugian menjadi nyata.
* Kehilangan momentum sosial dan budaya: karnaval budaya bukan hanya hiburan, tetapi ruang identitas lokal, ruang ekspresi komunitas, ruang kerajinan budaya, ruang ekonomi informal. Bila dibatalkan, ruang nilai-nilai lokal dicabut sementara, dan efeknya tidak bisa dikompensasi oleh event lain yang lebih “prestise” namun jauh dari akar rakyat.
Sebagai seorang mahasiswa Kuningan, saya melihat sesuatu yang mengusik: panggung prestise terus disorot, sedangkan ruang rakyat kian sempit. Jika pembangunan sejati adalah pembangunan yang dirasakan semua lapisan masyarakat, maka sudah saatnya pemerintah berhenti mengedepankan citra dan mulai mengedepankan keadilan anggaran. Rakyat bukan sekadar penonton; mereka adalah penentu arah pembangunan. Apakah Kuningan akan terus jadi panggung gemerlap untuk event besar, atau menjadi rumah yang adil bagi seluruh warganya?
Oleh: Roy Aldilah, mahasiswa Kuningan
