KUNINGAN (MASS) – Polemik Open Bidding (OB) Sekda Kuningan 2024 memasuki babak baru yang menimbulkan tanda tanya besar. OB yang secara hukum telah sah, menghasilkan tiga besar, dan menjadi produk hukum formal, kini justru ingin dibuka ulang setelah lebih dari lima bulan Bupati Kuningan menjabat.
Situasi ini bukan sekadar perdebatan administratif, tetapi membuka ruang untuk melihat lebih dalam wajah asli kekuasaan melalui dua pendekatan kritis: dekonstruksi dan psikoanalitik.
Dekonstruksi: Membongkar Narasi Sah tapi Tidak Sah
Dalam logika hukum, OB 2024 telah sah dan final. Namun, dalam praktiknya, ia digugat ulang oleh kekuasaan sendiri. Pertanyaannya: bagaimana sesuatu yang sudah sah masih bisa diperlakukan seolah-olah tidak sah?
• Dari perspektif dekonstruksi, kita melihat adanya “permainan tanda”. Kata “sah” dipakai, tapi maknanya dirobohkan oleh tindakan kekuasaan.
• Narasi legalitas dan kepastian hukum kehilangan substansinya, diganti dengan narasi “kewenangan” bupati. Di sinilah dekonstruksi memperlihatkan: hukum bukan lagi teks objektif, melainkan teks yang bisa dipecah, dipelintir, dan digunakan untuk menutupi kepentingan tertentu.
Maka, OB Sekda bukan lagi bicara soal kompetisi sehat birokrasi, melainkan simbol dekonstruksi kekuasaan yang memakan legitimasi produknya sendiri.
Psikoanalitik: Keinginan, Ego, dan Bayangan Kekuasaan
Jika dibaca melalui lensa psikoanalitik, tindakan membuka ulang OB mencerminkan dinamika batin kekuasaan:
• Hasrat Ada keinginan tersembunyi untuk menempatkan figur tertentu sesuai preferensi pribadi, bukan sekadar mengikuti prosedur yang sudah berjalan.
• Ego (rasionalisasi): Rasionalisasi dibangun dengan alasan “perlu OB baru”, meski alasan ini bertabrakan dengan fakta hukum. Ego di sini berfungsi untuk menenangkan kritik, tapi justru menyingkap hasrat yang bersembunyi.
• Superego (norma): Norma hukum, etika birokrasi, dan akuntabilitas publik dikesampingkan. Superego yang seharusnya mengontrol justru dibisukan oleh dominasi ego kekuasaan.
Dalam kaca mata Freud, kondisi ini menggambarkan represi: ada sesuatu yang ingin ditutupi (hasrat politis), tapi represi itu justru memunculkan simptom dalam bentuk kebijakan berulang yang kontradiktif.
Pertanyaan Reflektif untuk Publik
1. Mengapa sesuatu yang sudah sah secara hukum masih diperlakukan seolah-olah tidak sah?
2. Apakah kebijakan ini murni soal administrasi, atau cerminan hasrat kekuasaan yang tidak selesai?
3. Bagaimana nasib kepercayaan publik jika produk hukum bisa diulang sesuka hati penguasa?
4. Apakah OB Sekda ini menjadi simbol “ketidakstabilan batin kekuasaan” yang lebih besar daripada sekadar soal jabatan?
OB Sekda Kuningan 2024 bukan sekadar kasus birokrasi, tetapi cermin wajah kekuasaan. Dengan membaca melalui kacamata dekonstruksi, kita melihat bagaimana teks hukum didefinisikan ulang. Dengan psikoanalitik, kita menemukan jejak-jejak hasrat, ego, dan represi yang membentuk kebijakan.
Pertanyaan yang tersisa untuk kita semua: Apakah rakyat hanya akan jadi penonton dari drama batin kekuasaan, atau justru menjadi penentu arah baru birokrasi yang lebih sehat dan bermartabat?
Oleh: Hanup Alzahra, aktivis perempuan asal Kelurahan Kuningan