KUNINGAN (MASS) – Ditengah kesibukan dunia yang tak kunjung henti, ditengah derasnya arus informasi dan godaan kehidupan modern, kita diingatkan kembali tentang makna sejati kemuliaan seorang manusia. Bukan terletak pada harta, jabatan, atau pengaruh, namun pada ketaatan kepada Allah, kebaikan dalam amal, dan kemuliaan akhlak.
Cahaya dalam Rumah
Pengajian dan majelis ilmu adalah sumber keberkahan yang tak ternilai. Namun, ketika kita belum mampu menghadirkan jamaah atau mengikuti pengajian secara langsung, ada satu amalan ringan namun berdampak besar yaitu membaca Al-Qur’an secara konsisten di rumah.
Jadikan rumah kita bercahaya dengan tilawah Al-Quran. Setiap malam, cukupkan membaca dua halaman setelah Maghrib, dua halaman setelah Isya, dua halaman setelah Subuh, dua halaman setelah Dzuhur, dan dua halaman setelah Asar. Total sepuluh halaman dalam sehari. Ingin lebih? Silakan. Satu hari satu juz pun bisa — tinggal dibagi waktunya. Tidak perlu memaksa, yang penting istiqamah.
Rumah yang tidak dipakai untuk mengaji, hanya akan terisi oleh suara musik atau obrolan sia-sia. Lebih dari itu, akan dipenuhi oleh suasana hati yang hampa dan jauh dari keberkahan. Ingatlah, jika hati tidak terisi oleh kalam Allah, ia akan mudah terseret oleh kelalaian dan dosa. Maka menangislah jika perlu, bukan karena tagihan utang, tetapi karena jauh dari ayat-ayat-Nya.
Saling Mengenal antar Sesama
Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa bukan untuk saling membanggakan, tetapi agar kita saling mengenal dan menjalin silaturahmi. Maka jangan hanya menjadi manusia yang duduk di rumah, atau hanya sibuk di kantor.
Lakukanlah anjangsana, bersilaturahmi, hadir di pengajian, dan tumbuhkan ukhuwah islamiyah. Sebab, kemuliaan seorang manusia tidak ditentukan oleh harta, kendaraan, pengikut, ataupun status sosial, melainkan oleh ketakwaannya kepada Allah.
Nasihat Nabi SAW
Rasulullah SAW memberikan nasihat jika kita mampu mengamalkannya maka akan menjadi manusia mulia di hadapan Allah dan terhormat ditengah masyarakat. Inilah kemuliaan yang hakiki.
Pertama, bertakwalah kepada Allah di mana pun berada. Takwa bukan hanya ketika di masjid atau saat di majelis ilmu. Ia harus hadir di kantor, di rumah, di perjalanan, bahkan ketika sendiri. Rasulullah mencontohkan, bahkan seorang istri hendaknya membisikkan kepada suaminya sebelum berangkat kerja.
“Ayah, jangan lupa salat Dhuha, ya. Dan jika waktu Dzuhur tiba, segera ke masjid meskipun sedang sibuk.” Bisikan ini bisa menjadi pengingat sekaligus kekuatan ruhani yang terpatri sepanjang hari.
Kedua, hapuskan keburukan dengan kebaikan. Innal hasanaati yudzhibnas-sayyi’aat. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu dapat menghapuskan keburukan. Kebaikan kecil, seperti senyum, sedekah, membantu orang tua, atau menjaga lisan, bisa menjadi penebus dosa-dosa yang kita lakukan tanpa sadar.
Ketiga, biasakan amal kebaikan sejak dini. “Man syabba ‘ala syai’in syaaba ‘alaihi” – Barang siapa yang dibiasakan melakukan sesuatu sejak kecil, maka akan terus terbawa hingga tua.
Jika dari kecil anak-anak kita dibiasakan ke masjid, mencintai Al-Qur’an, berbuat jujur dan berakhlak mulia, maka insyaAllah kebiasaan itu akan menetap dalam hidup mereka hingga akhir hayat.
Mari kita renungkan kembali, apa sebenarnya yang menjadikan manusia mulia? Bukan jabatan, bukan gelar, bukan popularitas. Tapi ketakwaan, amal sholeh, dan akhlak mulia. Jika hari ini kita belum menjadi apa-apa di mata manusia, tak mengapa. Yang penting, kita bernilai dan mulia di hadapan Allah. Sebab itu yang abadi.
Semoga tiga nasihat Rasulullah SAW tersebut bisa menjadi pegangan hidup kita, agar setiap langkah yang kita ambil semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Amin.
Imam Nur Suharno
Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah Kuningan Jawa Barat
