KUNINGAN (MASS) – Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap: Pertama, diturunkan sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar (QS. Al-Qadar: 1-5).
Kedua, diturunkan secara berangsur selama masa kenabian (+-23 tahun) kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Wahyu pertama yang diturunkan di Gua Hira adalah Surat Al-‘Alaq: 1-5.
Peringatan Nuzulul Qur’an (turunnya Al-Qur’an) mengacu ke tahap pertama atau kedua?
Menurut para ulama, peringatan Nuzulul Qur’an umumnya mengacu pada turunnya Al-Qur’an tahap kedua.
Namun, terdapat perbedaan pandangan terkait hal ini, tergantung konteks penafsiran dan tradisi. Berikut penjelasannya:
Pandangan mayoritas Ulama menyatakan bahwa peringatan Nuzulul Qur’an mengacu ke tahap kedua, yaitu turunnya Wahyu Pertama.
Alasannya, peristiwa ini menandai awal kenabian dan dimulainya penurunan Al-Qur’ran secara bertahap.
Alasan Konteks ibadah: Peringatan ini lebih bersifat simbolis untuk mengingat perjuangan Nabi dalam menyampaikan Al-Qur’an dan transformasi spiritual umat manusia.
Namun sebagian ulama (seperti Ibnu Abbas dan lainnya) menafsirkan QS. Al-Qadr: 1-5 dan QS. Ad-Dukhan: 3 sebagai penurunan Al-Qur’an sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadr: 1).
Secara bahasa, ada perbedaan makna inzal dan tanzil. Inzal (turun sekaligus) merujuk ke tahap pertama.Tanzil (turun bertahap) merujuk ke tahap kedua.
Imam As-Suyuthi (dalam Al-Itqân) menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dua tahap:
– Sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Inilah hakikat malam Lailatul Qadar.
– Bertahap dari langit dunia ke Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril, sesuai konteks peristiwa.
Peringatan Nuzulul Qur’an dalam konteks masyarakat lebih sering merujuk pada tahap kedua, karena kaitannya dengan sejarah kerasulan dan pengajaran Al-Qur’ran sebagai pedoman hidup.
Sementara tahap pertama bersifat metafisik dan tidak terkait langsung dengan peristiwa manusiawi.
Kesimpulannya, mayoritas ulama dalam konteks peringatan Nuzulul Qur’an dikaitkan dengan tahap kedua (wahyu pertama di Gua Hira).
Namun terdapat minoritas ulama yang menghubungkannya dengan tahap pertama (turun sekaligus ke langit dunia). Tetapi ini lebih bersifat teologis dan kurang populer dalam tradisi peringatan Nuzulul Qur’an.
Kekosongan Spiritual Manusia Modern
Di tengah gemerlap teknologi dan kemajuan material, manusia modern justru terperangkap dalam labirin kesepian yang tak terobati.
Lihatlah: mereka duduk di sudut kafe mewah dengan gawai canggih, namun matanya kosong, jarinya tak henti menggulir layar, mencari validasi lewat like dan comment, yang hanya meninggalkan dahaga jiwa.
Mereka membeli barang-barang mahal untuk mengisi lubang di hati, tapi yang bertambah hanya kecemasan. Stres menjadi teman makan malam, depresi mengintai di balik tawa paksa, sementara scroll tak berujung di media sosial hanyalah pelarian dari pertanyaan mendasar: Untuk apa semua ini?
Allah menggambarkan fenomena ini dalam firman-Nya:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit…” (QS. Thaha: 124).
Inilah ironi zaman: manusia mampu menaklukkan bulan, tapi gagal menaklukkan egonya; bisa menghubungkan jutaan data lewat internet, tapi putus hubungan dengan Sang Maha Pencipta.
Mereka lari ke therapy session, wellness program, atau digital detox, namun tetap merasa hampa; seperti kapal tanpa jangkar, terombang-ambing di lautan materialisme.
Al-Qur’an datang sebagai penawar. Bukan sekadar kitab kuno, melainkan peta Navigasi Ilahi yang menjawab kegelapan jiwa.
Firman-Nya:
“Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram?” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Apa akar masalahnya?
Allah berfirman:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke liang kubur.” (QS. At-Takatsur: 1-2).
Kita terlalu sibuk mengejar dunia hingga lupa menyapa Al-Qur’an, lupa merawat hubungan dengan Sang Pencipta.
Tapi Allah tak membiarkan kita tersesat. Dia turunkan Al-Qur’an sebagai syifa’ (penyembuh):
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra: 82).
Al-Qur’an sebagai Penyembuh Jiwa
Suatu hari, Umar bin Khattab, seorang yang keras hati, menangis tersentuh saat mendengar ayat:
“Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku…” (QS. Thaha: 14).
Inilah kekuatan Al-Qur’an: menyentuh jiwa yang paling keras sekalipun!
Allah berfirman:
“Wahai manusia, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit (hati)…” (QS. Yunus: 57).
Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tapi obat yang menyembuhkan kegelisahan, keraguan, dan kegelapan hati.
Metode Al-Qur’an dalam Mengatasi Krisis Spiritual
Bagaimana cara Al-Qur’an menyembuhkan jiwa?
Pertama, Tadabbur (Merenungkan Makna).
Allah berfirman:
“Ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya…” (QS. Shad: 29).
Contoh praktis:
– Baca 1-2 ayat, lalu renungkan: “Apa pesan Allah untukku hari ini?”
Kedua, Dzikrullah (Mengingat Allah):
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Setiap kali gelisah, bacalah:
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Ya Rabbku, sungguh aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qashash: 24).
Ketiga, Terapi dengan Ayat-Ayat Spesifik:
– Saat takut: QS. Al-Baqarah: 286.
– Saat sedih: QS. Ar-Rahman: 1-4.
– Saat lemah: QS. Al-Insyirah: 5-6.
Tantangan dan Solusi Praktis
Tantangan terbesar adalah konsistensi: Sibuk kerja, urusan rumah, atau sekadar malas, sering jadi alasan untuk menjauhi Al-Qur’an.
Allah mengingatkan:
“Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an…” (QS. Al-Muzzammil: 20).
1. Buat jadwal tilawah harian, meskipun hanya 15 menit.
2. Simpan mushaf kecil atau aplikasi Al-Qur’an di HP.
3. Mulai dengan surat favorit: Yasin, Ar-Rahman, atau Al-Waqi’ah.
Mari kita renungkan:
– Sudahkah Al-Qur’an menjadi “teman curhat” kita di kala susah?
– Sudahkah kita membaca tafsir untuk memahami pesan-Nya?
Kesimpulan: Al-Qur’an adalah Oasis di Gurun Spiritual
Sejarah telah membuktikan: Al-Qur’an bukanlah kitab yang mati. Ia hidup, bernafas, dan menyinari setiap zaman, termasuk era di mana manusia tersesat di balik topeng kesibukan dan kesenangan semu.
Jika dunia modern bagai gurun tandus yang menghanguskan jiwa, maka Al-Qur’an adalah oasis yang mengalirkan air keabadian.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Siapa yang berpegang pada Al-Qur’an, ia tak akan tersesat di dunia maupun akhirat.” (HR. Tirmidzi, 2906).
Mari jadikan Al-Qur’an sebagai:
– Cermin yang menyingkap kekurangan diri,
– Sahabat yang mendengarkan keluh kesah,
– Pelita yang menerangi jalan gelap.
Komitmen kita hari ini menentukan masa depan spiritual. Jangan biarkan Al-Qur’an hanya menjadi hiasan rak atau notification di layar ponsel. Bacalah, resapi, dan hidupkan ia dalam setiap langkah.
Allah berjanji:
“Ini adalah Kitab yang Kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah ia, dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155).
Maka, berdirilah bersama Al-Qur’an. Jadikan ia suara yang membisikkan harapan saat dunia berteriak kegelisahan. Sebab, di mana pun kita berada, di puncak karir atau lembah kegagalan, Al-Qur’an akan selalu menjadi Tali Allah yang mengangkat derajat jiwa.
اللهم اجعل القرآن العظيم ربيع قلوبنا، ونور أبصارنا، وحجة لنا لا علينا
“Ya Allah, jadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hati kami, cahaya penglihatan kami, dan pembela kami, bukan penuntut kami.”
Aamiin.
والله أعلم
Maman Supriatman (Akademisi)
MS 16/03/25