Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْهِجْرَةَ خَصْلَتَانِ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَهْجُرَ السَّيِّئَاتِ وَالأُخْرَى أَنْ تُهَاجِرَ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Sesungguhnya hijrah itu dua macam. Pertama, kamu meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Kedua, kamu berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. (HR Ahmad)
Mulai pekan ini kita akan memasuki Tahun Baru Hijriyah, yakni 1445 H. Momen yang sering dijadikan sebagai momen hijrah, karena peristiwa Hijrah Rasulullah saw, Hijrah Rasulullah juga menjadi awal perhitungan tahun Hijriyah, yang sejak itu menjadi kalender resmi umat Islam. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra. menyatakan:
بَلْ نُؤَرِّخُ لِمُهاجَرَةِ رَسُوْلِ الله، فَإِنَّ مُهَاجَرَتَهُ فَرْقٌ بَيْنَ الْحَقِّ وَاْلبَاطِلِ
Akan tetapi, kita akan menghitung penanggalan berdasarkan hijrah Rasulullah, karena sesungguhnya hijrah beliau itu telah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan (Ibn Al-Atsîr, Al-Kâmil Fî at-Târîkh, 1/3).
Sejarah hijrah Rasulullah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam, karena hijrah ini menandai awal kekuasaan Islam dan perkembangan pertama umat Muslim sebagai sebuah negara. Selain itu, hijrah juga memiliki makna spiritual yang dalam, karena Rasulullah dan para pengikutnya harus meninggalkan rumah dan harta benda mereka di Mekah demi agama Islam bisa ditegakkan di Madinah.
Hijrah Rasulullah ke Madinah mengakhiri periode perjuangan beliau di Mekah, di mana terjadi banyak penentangan dan penindasan terhadap umat Muslim. Di Madinah, Rasulullah mendapatkan dukungan yang lebih besar dari penduduk setempat dan dapat membangun masyarakat Muslim yang lebih kuat.
Kaum Muslim saat ini masih berada dalam kondisi tidak diterapkannya Islam secara sempurna, artinya saat ini umat masih berada dalam sistem kehidupan sekuler padahal penduduknya mayoritas muslim di negeri ini. Baik terkait sistem ekonomi, sistem hukum, sistem peradilan, sistem politik dan pemerintahan, sistem pendidikan maupun sistem sosial, dan lain-lain. Seharusnya kaum Muslim harus berani berhijrah, yakni meninggalkan sistem kehidupan sekuler ini, menuju sistem kehidupan yang shahih, yakni sistem kehidupan Islam. Selama kaum Muslim tidak memiliki tekad dan keberanian untuk berhijrah, yakni meninggalkan sistem jahiliah ini, menuju sistem Islam, maka nasib mereka tidak akan pernah berubah.
Makna Hijrah
Makna hijrah yang dinyatakan oleh Al-Jurjâni (w. 471 H) dan al-Qurthubi (w. 671 H) yang menyatakan:
الهِجْرَةُ وَهِيَ الخُرُوْجُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إِلَى دَارِ الإِسْلاَمِ
Hijrah adalah keluar atau berpindah dari negara yang diperangi (negara kufur) ke Negara Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 5/349; Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, 1/83).
Hijrah semacam inilah yang dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. dari Makkah (yang saat itu merupakan Dârul Kufur [negeri kufur]) menuju Madinah (yang saat itu telah berubah menjadi Dârul Islam (Daulah Islam/Negara Islam).
Hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa penting yang mengubah wajah umat Islam saat itu. Umat yang awalnya tertindas dan teraniaya di Makkah selama 13 tahun, setelah hijrah ke Madinah dan menegakkan tatanan masyarakat yang islami dalam sebuah negara, berubah menjadi umat yang mulia, kuat dan disegani.
Hijrah Saat ini
Hijrah tetaplah relevan hingga Hari Kiamat. Yang terputus hanyalah hijrah dari Makkah ke Madinah pasca Makkah ditaklukkan dan menjadi Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 3/350).
Dalam situasi sekarang, hijrah bisa kita lakukan dengan berpindah dari suatu tempat yang kita khawatirkan menggoyahkan keimanan kita, sementara kita tidak sanggup berupaya mengubahnya, menuju tempat yang dipenuhi suasana keimanan; meninggalkan pekerjaan yang banyak kemaksiatannya beralih ke pekerjaan yang halal; meninggalkan keadaan yang bisa membuat kita melanggar aturan Allah, menuju keadaan yang mempermudah kita mendekatkan diri kepada-Nya.
Esensi dari hijrah Nabi saw, yang perlu diteladani, adalah hijrah meninggalkan sistem jahiliah saat ini, yakni sistem sekuler, menuju sistem Islam. Karena sistem Islam ini tidak bisa tegak tanpa kekuasaan, maka semestinya perjuangan umat bukan sekadar diarahkan untuk menjadikan sosok Muslim yang shalih sebagai penguasa. Lebih dari itu mestinya perjuangan umat Islam diarahkan memilih dan mengangkat penguasa Muslim yang shalih, yang kekuasaannya benar-benar digunakan untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah. Bukan malah sebaliknya, kekuasaan yang diraih itu digunakan justru untuk melanggengkan dan makin memperkokoh sistem sekuler yang notabene adalah sistem jahiliah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Penulis : Ummu Nadiatul Haq
(Aktivis Muslimah)