KUNINGAN (MASS) – Saat ini, moderasi beragama menjadi tantangan globalisasi di era digital, terutama konten di media sosial. Pasalnya, hadirnya media sosial menyebabkan kehidupan sosial masyarakat, terutama generasi muda banyak menghabiskan waktunya di dunia maya.
“Ini menjadi tantangan bagi perguruan tinggi keagamaan Islam khususnya, salah satunya bagi IAIN Cirebon,” ungkap Nuruzzaman ketika menjadi narasumber pada seminar nasional ‘Moderasi Beragama dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi di Era Digital’ di IAIN Cirebon, Sabtu, 15 April 2023 lalu.
Isu moderasi beragama memang terus menjadi perhatian. Apalagi saat ini, sebagian besar pengguna media sosial adalah kalangan anak muda. Apabila melihat potensi besar mereka, semua itu bisa menjadi aset berharga untuk menyemai keberhasilan. Itulah sebabnya program moderasi beragama begitu masif menyasar kawula muda.
Proyek moderasi beragama saat ini gencar pula diaruskan melalui media. Pemuda sebagai pengguna dunia maya turut berperan mempercepat pemahaman tersebut masuk menyebarkan pemikiran kepada pemuda lainnya.
Ditambah dengan adanya liberalisasi agama atau moderasi beragama yang terus diaruskan media. Semua ini menjadikan akidah para pemuda makin dangkal dan sangat rapuh. Akhirnya, kenakalan remaja makin tinggi dan mengkhawatirkan. Narkoba, seks bebas, aborsi, geng motor, eljibiti, dan sebagainya, menjadi problem akut yang sulit diselesaikan.
Isu radikalisme pun terus dimainkan untuk menutupi ceruk permasalahan bangsa, kemudian media justru menghadirkan moderasi beragama sebagai solusinya. Media pun menjadi atmosfer pemahaman moderasi beragama agar terus terpelihara di benak para pemuda.
Walhasil, generasi yang mempunyai konektivitas tertinggi pada gawai hanya tersodorkan konten fasad dan mudarat yang tidak bermanfaat. Industri hiburan di bawah asuhan kapitalisme hanya memberikan kesenangan jasadi yang berujung pada pelalaian terhadap tugasnya sebagai hamba Allah SWT. Inilah yang mencabut para pemuda dari sebaik-baik manusia, yaitu yang paling bermanfaat bagi sesama.
Selain media, lembaga pendidikan seperti kampus pun ditarget menjadi lembaga otoritas untuk menggaungkan moderasi beragama. Ini semua mengkonfirmasi ada upaya membelokkan kampus sebagai lembaga mesin pencetak agen off change, menjadi lembaga pengokoh moderasi.
Padahal, semestinya lingkungan pendidikan menjadi tempat yang baik untuk membina iman para pemudanya. Namun, pendidikan sekuler menjadikan para pemuda tidak mengenal agamanya sendiri. Saat para pemuda itu jauh dari agamanya, disodorkanlah Islam versi Barat, yaitu moderasi beragama.
Program moderasi beragama sejatinya adalah agenda Barat untuk membendung kebangkitan Islam. Terlebih bagi pemuda, sebab pemuda punya potensi luar biasa yang mampu menggetarkan dunia apabila kembali pada agamanya. Oleh sebab itu, Barat memiliki kepentingan yang sangat besar untuk membajak potensi pemuda muslim.
Inilah upaya Barat dalam meredam kebangkitan Islam. Musuh Islam benar-benar paham, tatkala para pemuda kembali pada agamanya, hal demikian merupakan kekuatan besar yang dapat menghancurkan peradaban Barat.
Maka dari itu, kita harus menyelamatkan generasi dari moderasi beragama. Pemuda harus menyadari akan bahaya moderasi Islam sebaliknya mendapat gambaran jelas mengenai Islam secara utuh, yakni Islam kafah. Tidak lain agar para pemuda tidak terjebak dengan upaya barat merusak generasi.
Walhasil, upaya memahamkan pemuda haruslah dari segala arah sebab jauhnya pemuda dari Islam adalah persoalan sistemis. Mulai dari lingkungan pendidikan, media, hingga keluarga, semua harus melindungi generasi dengan memberikan pemahaman yang benar tentang Islam.
Para pemuda haruslah keluar dari keterpurukan agar tidak hanya menjadi konsumen semata. Pemuda hendaknya bangkit dan memahami bahwa media adalah medan dakwah yang harus juga kita arungi agar jagat maya dipenuhi oleh para pemuda saleh yang membersihkan dunia digital dari segala bentuk kemaksiatan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis : Tawati (Aktivis Muslimah Majalengka)