KUNINGAN (MASS) – Kisah tentang Bani Israil yang dikutuk menjadi kera disebutkan dalam beberapa Ayat, seperti dalam Surah Al-Baqarah (2: 65), Surah Al-A’raf (7: 163-166), dan Surah Al-Maidah (5: 60). Peristiwa ini berkaitan dengan pelanggaran terhadap aturan Allah terkait hari Sabat (Sabtu).
Allah memerintahkan kepada suatu kelompok Bani Israil yang tinggal di dekat laut (disebut dalam tafsir sebagai “penduduk Aylah”), untuk memuliakan hari Sabat dengan tidak melakukan pekerjaan duniawi, termasuk menangkap ikan. Hari Sabat dikhususkan sebagai hari ibadah dan penghambaan kepada Allah.
Namun, Allah menguji mereka dengan cara menjadikan ikan-ikan muncul dalam jumlah besar pada hari Sabat, yang tidak terlihat pada hari-hari lainnya. Godaan ini membuat sebagian dari mereka mencoba mencari cara untuk melanggar perintah Allah tanpa merasa bersalah.
Sebagian dari mereka berusaha menyiasati hukum Allah dengan memasang perangkap ikan pada hari Jumat sore, sehingga ikan-ikan tertangkap pada hari Sabat tanpa mereka “secara langsung” menangkapnya. Kemudian, mereka mengambil ikan-ikan tersebut pada hari Minggu.
Secara teknis, mereka menganggap diri mereka tidak melanggar hukum Sabat, tetapi secara nyata mereka telah melanggar perintah Allah.
Dalam komunitas tersebut, terdapat tiga kelompok. Pertama, kelompok yang secara aktif melanggar aturan Sabat. Kedua, mereka yang menasihati agar pelanggaran dihentikan. Ketiga, mereka yang tidak melanggar tetapi juga tidak ikut menasihati, dan beranggapan bahwa menasihati kelompok pelanggar adalah sia-sia.
Ketika pelanggaran terus dilakukan, Allah menurunkan azab-Nya. Al-Qur’an menyebutkan:
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang kepada mereka, Kami katakan kepada mereka: ‘Jadilah kamu kera yang hina.’” (QS. Al-A’raf: 166).
Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya menjelaskan bahwa mereka benar-benar berubah menjadi kera sebagai bentuk azab Allah. Namun, mereka tidak hidup lama setelah itu.
Sedangkan Al-Qurtubi menyebutkan bahwa mereka yang berubah menjadi kera tidak memiliki keturunan. Perubahan ini untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.
Namun sebagian ulama mengartikan secara simbolis, yakni perilaku mereka menjadi seperti kera—hina, tidak berakal, dan hanya hidup mengikuti naluri.
Kisah ini mengajarkan pentingnya mematuhi perintah Allah tanpa mencoba mencari celah untuk melanggar atau mengakalinya. Mencari alasan untuk membenarkan dosa adalah bentuk kemunafikan yang dapat membawa murka Allah. Kelompok yang memberikan peringatan berusaha menunaikan kewajiban mereka, meskipun hasilnya tidak langsung terlihat.
Beberapa Kasus Makar Bani Israil dalam Sejarah
Tipu daya atau makar Bani Israil yang dalam kasus pelanggaran Sabat dengan mengakali perintah Allah, mencerminkan karakteristik Bani Israil yang dapat diidentifikasi sebagai kecenderungan untuk menyiasati aturan demi keuntungan pribadi dan kelompok.
Dalam sejarah, terdapat sejumlah contoh yang dapat dianggap sebagai karakteristik dari pola perilaku ini, baik dalam konteks hubungan sosial, ekonomi, maupun politik. Berikut adalah eksplorasi dan beberapa contoh kasus:
- Kasus Penyembahan Anak Sapi Emas
Setelah diselamatkan dari Firaun dan menyeberangi Laut Merah, Bani Israil menunjukkan kelemahan dalam ketaatan kepada Allah. Ketika Nabi Musa pergi ke Gunung Sinai untuk menerima wahyu, mereka menyiasati perintah monoteisme dengan membuat patung anak sapi emas sebagai sesembahan.
Mereka beralasan bahwa patung itu hanyalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, meskipun hal tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap ajaran Tauhid (QS. Al-Baqarah: 51-54).
Tipu daya: Mereka tidak langsung mengingkari Allah, tetapi menyamarkan penyembahan berhala sebagai bentuk ibadah, menunjukkan kecenderungan mencari celah untuk melanggar prinsip.
- Pengkhianatan Perjanjian dengan Rasulullah SAW
Dalam sejarah Islam, beberapa suku Yahudi di Madinah, seperti Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, dikenal sering melanggar perjanjian. Salah satu contohnya adalah pengkhianatan Bani Quraizhah selama Perang Ahzab (Khandaq).
Meski sebelumnya telah berjanji untuk membantu mempertahankan Madinah dari serangan Quraisy, tapi mereka justru berkhianat dengan membuka peluang bagi musuh untuk menyerang dari dalam.
Tipu daya: Mereka memanfaatkan situasi genting untuk mencari keuntungan dengan berpihak pada Quraisy, meskipun sebelumnya telah membuat perjanjian damai dengan Rasulullah SAW.
- Praktik Riba dalam Sistem Keuangan
Riba (bunga pinjaman) merupakan praktik yang diharamkan dalam ajaran Taurat. Namun, sebagian dari mereka mencari celah dengan mempraktikkan riba secara terselubung atau melalui kontrak yang rumit.
Dalam tradisi Yahudi kuno, riba diizinkan terhadap orang non-Yahudi, meskipun dilarang di antara sesama Yahudi. Hal ini melahirkan sistem keuangan yang mengeksploitasi orang luar, seperti yang tercatat dalam sejarah Eropa abad pertengahan.
Tipu daya: Mereka menggunakan pembenaran teologis untuk membedakan perlakuan antara Yahudi dan non-Yahudi, sehingga praktik riba tetap berjalan meskipun bertentangan dengan hukum Taurat.
- Deklarasi Balfour dan Konflik Palestina
Pada tahun 1917, melalui Deklarasi Balfour, gerakan Zionis berhasil memperoleh dukungan Inggris untuk pembentukan “tanah air” Yahudi di Palestina.
Dalam prosesnya, mereka menggunakan berbagai cara untuk mengubah status tanah Palestina, termasuk membeli tanah dari pemilik Arab dengan cara licik dan, setelah itu, mendukung pendirian negara Israel yang melibatkan pengusiran besar-besaran penduduk asli Palestina pada tahun 1948 (Nakba).
Tipu daya: Menggunakan perjanjian politik, manipulasi, dan tekanan internasional untuk mengklaim hak atas tanah yang telah dihuni bangsa lain selama berabad-abad.
- Praktik Double Standards dalam Kebijakan Internasional
Dalam konteks modern, kebijakan Israel sering dianggap mengandung elemen tipu daya, terutama dalam hubungan internasional. Sebagai contoh, mereka sering menyerukan perdamaian sambil melanjutkan pembangunan permukiman ilegal di wilayah Palestina yang diduduki.
Hal ini bertentangan dengan hukum internasional, tetapi mereka menggunakan alasan keamanan dan hak historis untuk membenarkan tindakan tersebut.
Tipu daya: Memanfaatkan narasi korban Holocaust untuk mendapatkan simpati dunia, sambil melanjutkan tindakan agresif terhadap Palestina.
Tipu Daya sebagai Karakteristik Yahudi
Dalam Al-Qur’an dan tafsir, perilaku mencari celah hukum sering dikaitkan dengan sifat yang suka membantah dan melawan perintah Allah. Hal ini terlihat dalam kasus Sabat, penyembahan anak sapi, dan pelanggaran perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW.
Pola ini berulang dalam berbagai fase sejarah, menunjukkan kemampuan mereka untuk beradaptasi, sering kali dengan menyiasati aturan atau situasi yang ada.
Dalam geopolitik modern, pola ini dapat dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan dominasi dan keuntungan, bahkan dengan mengorbankan pihak lain.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pola perilaku tersebut tidak hanya menjadi bagian dari sejarah masa lalu, tetapi juga dapat diamati dalam dinamika kontemporer.
Kisah Bani Israil dalam Al-Qur’an, khususnya tentang tipu daya hari Sabtu (makr as-sabt), adalah pelajaran abadi tentang bagaimana manusia dapat tergelincir dalam kesesatan ketika bermain-main dengan aturan Allah.
Dalam Surat Al-A’raf (7:163), Allah mengisahkan kaum Bani Israil yang diberi perintah untuk menghormati hari Sabtu sebagai hari ibadah, namun mereka melanggarnya dengan cara licik: menggunakan tipu muslihat untuk menangkap ikan yang hanya muncul pada hari Sabtu.
Secara teknis, mereka mungkin merasa tidak bersalah karena tidak langsung menangkap ikan pada hari tersebut, tetapi secara moral, mereka jelas telah melanggar perintah Allah.
Kisah ini bukan hanya sejarah, melainkan peringatan kepada umat Islam untuk tidak mudah tertipu oleh logika manipulatif dan tipu daya yang sering kali mengatasnamakan kebaikan.
Dalam konteks umat Islam, kisah ini mengajarkan beberapa poin penting:
- Hati-hati terhadap Kaum yang Memutarbalikkan Hukum Allah
Kaum Yahudi pada masa lalu dikenal sebagai umat yang sering memanipulasi ajaran Tuhan demi keuntungan duniawi, sebagaimana terlihat dalam kisah ini. Allah memberikan pelajaran bahwa tipu daya yang melibatkan manipulasi syariat akan membawa kehancuran, sebagaimana mereka akhirnya dikutuk menjadi “kera yang hina.”
Pesan ini mengingatkan umat Islam agar mewaspadai pihak-pihak yang mencoba memutarbalikkan ajaran Islam, baik melalui penafsiran yang keliru maupun eksploitasi hukum agama untuk kepentingan tertentu.
- Mengenali Tipu Daya sebagai Strategi Permanen
Kaum Yahudi dalam sejarah sering menggunakan tipu daya untuk melemahkan musuh mereka, termasuk umat Islam. Dalam konteks modern, hal ini tercermin dalam berbagai strategi global yang melibatkan manipulasi politik, ekonomi, dan budaya untuk melemahkan solidaritas umat Islam.
Kisah ini mengajarkan bahwa tipu daya adalah alat yang terus digunakan, dan umat Islam harus meningkatkan kewaspadaannya.
- Jangan Tergelincir dalam Logika Licik
Sebagaimana Bani Israil tergelincir karena berpikir mereka dapat “mengakali” Allah, umat Islam juga harus berhati-hati agar tidak mengadopsi cara berpikir yang serupa.
Ketika umat Islam mulai berkompromi dengan prinsip Agama demi keuntungan duniawi, mereka sedang berjalan di jalur yang sama dengan Bani Israil.
- Konteks Eskatologi
Dalam perspektif Eskatologi, Syekh Imran sering mengingatkan umat Islam tentang dominasi Dajjal dan sekutunya, yang sangat terkait dengan kebangkitan kaum Yahudi modern.
Kisah tipu daya hari Sabtu dapat dijadikan refleksi untuk memahami bahwa strategi licik seperti ini masih digunakan dan dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk modern yang lebih halus.
Kesimpulan dan Implikasi
Pesan moral dari kisah ini adalah peringatan keras bagi umat Islam untuk tidak hanya mematuhi syariat secara literal, tetapi juga memahami dan menjaga intisari moralnya. Selain itu, kisah ini mengajarkan umat Islam untuk selalu waspada terhadap tipu daya kaum Yahudi, baik dalam bentuk nyata maupun terselubung.
Waspada bukan berarti paranoid, tetapi membangun kesadaran kritis, penguatan akidah, dan solidaritas dalam menghadapi berbagai ancaman yang dapat melemahkan iman dan persatuan umat.
Relevansi kisah kelicikan kaum Yahudi pada kasus hari Sabat ini terhadap tipu daya Israel di Palestina saat ini, adalah pola manipulasi hukum dan dalih moral untuk menghalalkan tujuan politis yang tidak adil dan menindas.
Dalam kasus hari Sabat, mereka melanggar esensi perintah Allah dengan tipu daya meskipun secara lahiriah tampak mematuhi aturan.
Pola ini tercermin dalam tindakan Israel yang menggunakan hukum internasional atau klaim sejarah secara selektif untuk membenarkan penjajahan, pembangunan permukiman ilegal, dan pengusiran warga Palestina, sementara esensi keadilan dan hak asasi manusia mereka abaikan. Umat Islam harus mewaspadai strategi ini agar tidak terjebak dalam narasi yang membenarkan kezaliman.
Refleksi: Siasat Hari Sabat dan Strategi Geopolitik Israel
Fenomena Israel menggunakan negara dan kelompok-kelompok umat Islam tertentu untuk mendukung kepentingannya, dapat dijelaskan sebagai strategi geopolitik yang memanfaatkan prinsip “divide and conquer” (pecah belah dan kuasai).
Strategi ini mencerminkan upaya Israel untuk melemahkan solidaritas umat Islam, baik secara politik maupun ideologis, guna memastikan dominasi mereka di Timur Tengah, khususnya terkait atau melalui konflik Palestina.
Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai siasat ini:
- Eksploitasi Perpecahan Ideologis
Israel memanfaatkan perbedaan ideologi dalam Islam, seperti antara Sunni dan Syiah, atau antara kelompok Salafi, Sufi, dan Islam modernis, untuk menciptakan ketegangan di antara umat Islam.
Konflik Sunni-Syiah didorong melalui dukungan terhadap kelompok tertentu dalam perang proxy (seperti di Suriah atau Yaman). Dengan begitu, fokus umat Islam dialihkan dari isu Palestina ke konflik internal.
Israel membangun hubungan baik dengan negara-negara tertentu yang mayoritas penduduknya Sunni tetapi berseberangan dengan kelompok Syiah, seperti yang terjadi dalam normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab di bawah Abraham Accords.
- Pengaruh Ekonomi dan Teknologi
Israel menawarkan kerja sama ekonomi, teknologi, dan keamanan kepada negara-negara Islam tertentu sebagai alat diplomasi.
Mereka memanfaatkan keinginan negara-negara tertentu untuk mendapatkan akses teknologi canggih, seperti teknologi pertanian dan militer. Negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik cenderung mengurangi tekanan terhadap kebijakan Israel di Palestina.
Beberapa negara Islam tergiur oleh peluang investasi dan perdagangan yang ditawarkan Israel, sehingga mengorbankan solidaritas terhadap Palestina.
- Propaganda Melalui Media dan Narasi Internasional
Israel menggunakan media global untuk menciptakan narasi bahwa mendukung Palestina adalah tindakan radikal, sementara mendukung Israel adalah tanda kedamaian dan kemajuan. Propaganda ini sering menargetkan kelompok Islam yang:
Menggambarkan perjuangan Palestina semata-mata sebagai konflik agama yang tidak relevan dengan dunia modern. Menawarkan narasi “perdamaian” agar kelompok moderat mendukung solusi dua negara tanpa mempersoalkan hak-hak Palestina.
- Pemanfaatan Kelompok-Kelompok Islam Tertentu
Israel mendukung kelompok Islam tertentu secara langsung atau tidak langsung untuk menciptakan konflik internal. Kelompok ekstremis dibuat tampak mewakili perjuangan Islam, meskipun sebenarnya merusak citra perjuangan Palestina dengan tindakan-tindakan ekstrem yang tidak disetujui oleh mayoritas umat Islam.
Israel juga berusaha melibatkan tokoh-tokoh Islam yang berpandangan pragmatis atau apatis terhadap Palestina untuk memengaruhi opini publik dunia Islam dan internasional.
- Menyandera Kepentingan Keamanan Regional
Menggunakan ketegangan regional untuk menjustifikasi kehadirannya sebagai “mitra keamanan” bagi negara-negara tertentu.
Israel memainkan peran kunci dalam menghadapi ancaman bersama yang diklaim seperti Iran. Dengan demikian, negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain merasa perlu bekerja sama dengan Israel, bahkan jika itu berarti mengorbankan Palestina.
Implikasi dari siasat busuk ini antara lain, solidaritas umat Islam terkikis, sehingga tidak lagi bersatu karena disibukkan dengan konflik internal dan kepentingan masing-masing negara. Akibatnya, fokus perjuangan umat Islam teralihkan ke isu-isu lain, seperti konflik sektarian atau modernisasi hubungan dengan barat. Dengan melemahkan kekuatan kolektif umat Islam, Israel semakin leluasa memperluas wilayahnya, termasuk melalui penjajahan di Palestina.
Neo-siasat hari Sabat ini merupakan langkah busuk Israel yang sejatinya merupakan strategi jangka panjang untuk memastikan supremasi mereka di kawasan, dan hanya melalui persatuan umat Islam, strategi ini dapat dipatahkan.
Kelicikan, pembangkangan, keserakahan, kekerasan, dan tindakan agresif merupakan ciri-ciri utama perilaku kera sebagai strategi bertahan hidup.
Kera menggunakan kecerdikan untuk merebut sumber daya, membangkang aturan kelompok untuk keuntungan pribadi, menunjukkan keserakahan dalam penguasaan wilayah, dan bahkan melakukan kekerasan atau agresi untuk mempertahankan dominasinya.
Tidak sulit untuk menemukan sifat-sifat ini dalam kebijakan dan tindakan Yahudi Israel terhadap rakyat Palestina.
Kebijakan yang licik tampak dalam upaya aneksasi wilayah Palestina melalui perjanjian yang tidak adil, pembangkangan terhadap hukum internasional sering kali dilakukan untuk mempertahankan dominasi, serta keserakahan terlihat dalam perluasan pemukiman ilegal yang melanggar hak rakyat Palestina.
Kekerasan dan tindakan agresif, seperti serangan militer dan penghancuran rumah-rumah penduduk sipil, menggambarkan penggunaan kekuatan untuk mendominasi dan mengintimidasi.
Pola perilaku ini menciptakan siklus penindasan yang mencerminkan sifat naluriah hewani, sehingga mengikis esensi kemanusiaan yang seharusnya mengedepankan keadilan dan perdamaian.
والله اعلم
Maman Supriatman (Akademisi/Penulis Buku Eskatologi Islam)
MS 17/11/24