KUNINGAN (MASS) – Indonesia sebagai negara yang majemuk tentunya memiliki banyak keberagaman. Salah satunya keberagaman agama di Indonesia. Pendek katanya seringkali kita dengar di Indonesian diakui 6 agama di negara ini. Sebagai mahassiswa yang nyantri. Tentunya topik pembahasan mengenai moderasi beragama menjadi menarik. Mari kita mulai dari pengertian moderasi, agama serta moderasi beragama.
Tentunya kita mengetagui tentang negara kita sendiri yaitu Indonesia yang memuat banyak sekali keberagaman yang terdiri dari suku, bangsa, bahasa, agama dan budaya. Moderasi beragama diterangkan secara bahasa, berasal dari bahasa latin Moderatio yang maknanya kesedangan (tidak kelebihan tidak kekurangan).
Secara istilah, moderasi merupakan sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem dan tidak radikal. Beragama berati menganut atau memeluk sebuah agama. Kemajemukan Indonesia tidak bisa hanya disikapi dengan prinsif keadilan, melainkan juga dengan prinsif kebaikan.
Bisa kita simpulkan bahwasanya moderasi beragama iyalah suatu sistem yang menyatukan sebuah perbedaan, dengan merukunkan tradisi, adat budaya dan agama yang ada dengan sebuah keadilan dan kebaikan. Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama.
Menjadi moderat bukan berati cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Sebuah kekeliruan ketika kita beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, dan tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran dan kewajiban agamanya.
(Rumusan Masalah atau Isu Moderasi Beragama)
Berawal menjadi seorang santri Ponpes Modern Al-Ihya Cigugur, Kuningan Jawa Barat. Yang mana ruang lingkup Masyarakat di desa tersebut dengan bermacam-macam Agama, tidak hanya satu atau dua agama, melainkan bermacam-macam agama di daerah tersebut bisa hidup berdampingan, saling interaksi dengan sangat baik layaknya masyarakat yang menjaga keasrian budaya dan kultur lokal nya.
Dari peristiwa tersebut saya mendapat pengalaman yang sangat berharga, saya hidup di daerah tersebut selama 3 tahun lamanya. Saya datang sebagai identitas Agama Islam, yang menjadi santri di daerah tersebut, saya datang dengan dengan berupaya menyesuaikan diri dari sebuah perbedaan yakni Agama dan Budaya daerah tersebut.
Daerah yang saya maksud yaitu daerah Mayasih, kecamatan Cigugur, Kabupaten kuningan Jawa Barat. Melirik sebuah keunikan di daerah tersebut, saya bisa hidup berdampingan dengan Agama-agama yang berbeda. Yang mana sebuah toleransi sebuah perbedaan di junjung tinggi, kita bisa saling menghargai, menghormati, dan saling berinteraksi walaupun dari agama dan budaya yang berbeda.
Keunikan dari desa tersebut selain hidup berdampingan layaknya tetangga, ada keunikan lain yaitu dalam satu rumah atau satu keluarga isinya bisa 3-5 agama yang di anut. Mulai dari agam Islam, Protestan, Katolik, konghutcu bahkan ada yang lebih unik yaitu Agama Budaya Sunda Wiwitan, yang mana menjadi agama budaya sebagai masyarakat pribumi daerah tersebut.
Semuanya bersatu, berhimpun dan menjalankan kemasyaratan dengan menjujung tinggi Moral kemanusiaan. Contoh nya dengan suasana dan kultur daerah yang dominan mata pencaharian sebagai Petani, peternak (Sapi, domba, Babi), dan pedagang. Itu tidak menjadi hambatan atau permasalahan dari suatu perbedaan yang ada.
Bahkan ada beberapa masyarakat muslim yang berpropesi menjadi seorang penjul daging babi yang dikhususkan dipasarkan kepada orang-orang non muslim yang bisa mengonsumsinya, adapun masyarakat non muslim yang berjualan makanan-makanan yang layak dikonsumsi untuk masyarakat yang beragama muslim. Begitupun dari segi beribadah atau ritual spiritual dengan kepercayaan masing-masing tanpa ada rasa ketersinggungan. Begitu indahnya sebuah perbedaan dengan menjujung tiggi moral kemanusiaan, yang mana kita bisa hidup berdampingan dengan saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Melihat sebuah keunikan yang menjadi ciri khas dari pribumi daerah tersebut yaitu Agama Budaya atau sebuah kepercayaan lokal yaitu SUNDA WIWITAN, penghayat Sunda Wiwitan Cigugur, kuningan. Merupakan kepercayaan lokalitas yang ajaran nya mengikuti nilai-nilai tradisi leluhur. Jejak sejarah dari Sunda Wiwitan bisa di lihat dari sebuah bangunan yang bernama Paseban, bisa disebut juga sebagai Cagar Budaya Paseban Tri panca Tunggal yang telah berdiri sejak tahun 1840 hingga sekarang masih digunakan untuk kegiatan masyarakat adat daerah tersebut.
Sunda Wiwitan bisa dikutipkan atau di simbolkan sebagai masyarakat yang hidup dengan kesederhanaan, tinggal di daerah pegunungan, ekslusif, menjaga hutan dan terbelakang, masih mampu untuk menyesuaikan dengan zaman yang semakin berkembang. Adapun Hak-Hak adat masyarakat sunda wiwitan yang ada sejak tahun 1840-an di daerah cigugur kuningan yang menganut faham ajaran Madrais. Kepercayaan lokal tersebut tidak termasuk kedalam enam agama resmi menurut Undang-Undang di Indonesia yang di tetapkan namun dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) telah di tetapkan sebagai penghayat.
Kaya dengan Ragam Budaya
Selain dari bermacam-macam Agama yang ada, ada sebuah keunikan dalam tradisi budaya lokal daerah Cigugur, yaitu SEREN TAUN, upacara seren taun adalah sebuah ungkapan rasa syukur masyarakat sunda daerah tersebut atas suka dan duka yang mereka alami terutama dibidang pertanian selama setahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang. Seren taun dilaksanakan setiap tanggal bulan Rayagung sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender sunda. Selain ritual-ritual yang bersifat sakrak, dapat juga digelar sebuah hiburan dan kesenian di dalam nya.
Biasanya selama prosesi seren taun masyarakat daerah Cigugur terutama masyarakat sunda wiwitan, memasang banyak obor sepanjang jalan daerah cigugur yang dinyalakan setiap malam nya, sampai dengan malam puncak seren taun yang di gelar di Gedung Cagar Budaya Paseban. Yang mana upacara adat dari puncak seren taun, yang dihadiri masyarakat umum dan penggawa agama dan budaya melakukan ritual dan upacara adat tersebut.
Masyarakat yang mengahdiri acara tersebut dari mulai kalangan anak kecil sampai orang dewasa. Dalam upacara seren taun yang menjadi objek utama yaitu Padi. Padi yang dianggap sebagai simbolisasi kemakmuran karena daerah Cigugur khusus nya dan daerah sunda lainya pada umumnya daerah pertanian yang menjadi kisah klasik sastra sunda.
(Pembahasan kasus perspektif historis)
Salah satu dari sistem keyakinan atau kepercayaan lokal dalam sebuah perkembangan zaman nya, penuh dengan dinamika baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Adalah Perkembangan Agama Djawa Sunda (ADS). ADS adalah sebuah sistem kepercayaan masyarakat tradisional. Selain itu interaksi dan interseksi ADS dengan islam yang cukup intens, hubungan dialektis antara ADS dengan islam terjalin dari abad 19, dimasa pemerintahan kolonial belanda, hal tersebut dapat di ulik dari perjalanan hidup perintis dan pemimpin pertama ADS.
Kyai Madrais merupakan seorang mursyid tarekat dan pemuka agama islam di daerah Cigugur Kuningan. ADS juga pernah memiliki konflik horizontal dengan muslim ortodok, yang salahsatu akar masalah nya dipicu oleh anggapan terkait ADS merupakan sebuah kelompok sempalan islam. Dengan peristiwa tersebutlah dengan muncul-munculnya agama di cigugur kuningan, yang ada hingga saat ini dengan hidup berdampingan menjadi sorotan untuk di ulik sejarah nya. Sebagai mana yang telas saya terangkan di atas terkait agama, tradisi dan budaya yang ada sekarang menjadi sebuah bingkai yang bisa menjadi contoh kehidupan bersama dengan segala perbedaan yang ada.
Penutup: Hasil kesimpulan rumusan masalah dan pembahasan serta saran
Saya harap dari sebuah perbedaan, keberagaman Agama, Tradisi dan Budaya bisa mempersatukan kita semua, dengan memperkuat untuk menjaga tradisi leluhur yang telah di tanamkan dan di kembangkan. Perbedaan agama dan budaya selayaknya tidak menjadi hal untuk saling membeda-bedakan satu sama lain, tidak menjadi sebuah alasan untuk tidak bisa bersatu. Justru dengan adanya sebuah perbedaan itu menjadi sebuah kesatuan yang sangat indah, bukan menghilangkan perbedaan untuk kesatuan. Oleh karena itu jangan biarkan Indonesia menjadikan bumi yang penuh dengan permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik bagi umat beragama maupu antar umat beragama bisa menjadi modal dasar bangsa ini menjadi kondusif dan maju.
Penulis: Muhammad Rafly (2008301020), Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Ushuluddin dan Adab – IAIN Syekh Nurjati Cirebon