KUNINGAN (Mass) – Ketimbang banyak mudharatnya, MoU antara Kejari dan para kepala desa se Kuningan lebih baik batal sekalian. Tinggal bagaimana para kades tersebut mendalami hukum secara komprehensif baik secara mandiri maupun dibantu pemerintah agar tidak terjadi kesalahan. Pemerintah Kabupaten Kuningan memiliki kewajiban dalam hal pembinaan kepada para kades sesuai amanat regulasi yang telah dibuat.
Secara implisit itulah yang disuarakan sejumlah kades dalam menyikapi kekurangkondusifan penyelenggaraan pemerintahan di desa. Tiap institusi pemerintahan dibiayai negara untuk menjalankan tugasnya dan uang negara tersebut adalah uang rakyat.
Disamping suara implisit, terdapat pula suara para kades yang diungkapkan secara eksplisit. Salah satunya dilontarkan Kepala Desa Cihideunghilir Kecamatan Cidahu, H Uri Hasan Basri. Pria yang puluhan tahun bekerja di kejaksaan tersebut merasa bersyukur penandatanganan MoU antara kades dan kejari dibatalkan.
“Kita bersyukur MOU antara Kejari Kuningan dengan para Kepala desa se Kabupaten Kuningan urung dilaksanakan. Karena setelah saya teliti dan dipelajari secara seksama khususnya di pasal 3 ayat (1) draf MOU tersebut bisa menimbulkan multi tafsir yang berbahaya,” ungkap Uri kepada kuninganmass.com, Kamis (11/5/2017).
Multi tafsir di sini yaitu bukan hanya masalah perkara perdata dan Tata usaha negara saja yang mendapat bantuan hukum dari jaksa Kejari Kuningan, tetapi seluruh perkara termasuk perkara pidana. Menurut Uri, penafsiran yang seperti ini yang sampai ke telinga para kepala desa.
Siapa yang menafsirkan seperti ini, ia mengatakan, tentu yang ingin merusak citra Kejaksaan atau yang penting uang masuk urusan belakangan. Bagi orang yang mencintai kejaksaan tentu ingin melindungi jangan sampai hal ini terjadi.
“Sehingga klausal dari pasal 3 (1) tersebut minta dirubah dan dikonsultasikan dengan Kajati Jabar dan Jam Datun Kejaksaan Agung RI. Kekhawatiran timbul apabila ada kuwu yang kena kasus pidana lalu didakwa di Pengadilan, dakwaan di eksepsi dan dinyatakan dakwaan batal demi hukum karena ada MOU tersebut, kan repot,” ujar Uri.
Di sisi lain dengan penfsiran yang keliru dari isi MOU tersebut akan menimbulkan dampak negatif lainnya. Seperti para kuwu akan seenaknya menggunakan dana desa karena menganggap ada jaminan bantuan hukum dari jaksa. Padahal tugas JPN (Jaksa Pengacara Negara) sebetulnya hanya bisa mewakili atau memberi bantuan hukum untuk kasus-kasus Perdata dan Tata Usaha Negara.
Pasca Geledah Cimara
Masih bertalian dengan permasalahan desa, Kasi Pidsus Kejari Kuningan, M Zainur Rochman sempat dikonfirmasi seputar perkembangan penyidikan kasus yang melibatkan Kades Cimara Kecamatan Cibeureum. Diawali dengan klarifikasi tindakan penggeledahan dan penyitaan barang bukti di kantor desa sekaligus rumah pribadi kades yang dianggap arogan.
“Apa yang kami lakukan itu dasar hukumnya jelas. Pasal 32 KUHAP, disitu bunyinya ‘Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau pakaian atau badan menurut tatacara yang ditentukan’,” jelas Zainur.
Pada pasal 33 ayat 1, lanjutnya, dengan surat ijin penggeledahan dari ketua pengadilan setempat penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah yang diperlukan. Surat ijin dari pengadilan, menurut Zainur sudah dikantongi sehingga tidak ada pelanggaran aturan di sana.
“Ketika penyidik sudah menganggap pentingnya suatu penggeledahan dengan ijin dari pengadilan, ya kita lakukan. Kemarin juga sewaktu penggeledahan kami bacakan ijin terhadap orang atau tempat. Setelah itu kita lakukan proses penyitaan terhadap barang-barang yang ditemukan terkait dengan adanya hal-hal bukti untuk tindak pidana,” terangnya.
Usai penggeledahan dan penyitaan, pihaknya membuat berita acara yang ditandatangani saksi-saksi yang ada di tempat. Jumlah saksinya minimal 2 orang. Sehingga ia menegaskan, penyidik tidak melakukan sebuah proses yang tidak fair. Step by step dibacakan, mulai dari Sprin, penyitaan, surat ijin PN, surat perintah penyitaan dan pembuatan berita acara.
Adanya tudingan langkah penggeledahan akibat pemanggilan pertama terhadap Kades Cimara tidak digubris, oleh Zainur dibantah.
“Tolong bedakan ya, saksi itu orang yang melihat, mengalami, mendengar terhadap peristiwa pidana. Kalau pada pemanggilan pertama saksi tidak hadir, maka ada yang ke 2 dan 3 hingga pemanggilan paksa. Nah saksi itu kan banyak. Tidak semua datang pada panggilan pertama,” paparnya.
Bagi Zainur, masalah itu merupakan prosedur biasa sehingga ia mempertanyakan apa yang dipersoalkan dari pemanggilan saksi. Menurut dia, antara pemanggilan saksi dan penggeledahan berbeda konteks. Penggeledahan dan penyitaan dilakukan manakala penyidik memerlukan sebuah hal terkait pembuktian. Karena dikhawatirkan barang bukti itu dihilangkan, ada penggantian atau kekhawatiran lainnya.
“Jadi gak ada niatan penyidik untuk nakut-nakutin. Semuanya prosedural. Gak betul juga kalau berkas tahun 2014 atau selain tahun 2015 dan 2016 ikut dibawa,” kata Zainur.
Dia juga mengatakan, sewaktu hendak dilakukan penggeledahan pihaknya meminta ijin kepada sekmat dan kaur pemerintahan. Bahkan mereka ikut mendampingi untuk menjaga objektivitas dan fairly-nya sebuah proses penggeledahan. 2 saksi dari mereka pun, ikut mendampingi.
“Jadi, tak arogan kami rusak. Masuk rumah ketok dulu, permisi, boleh gak. Kalau gak boleh ya ada tata cara lanjutannya,” ujar dia.
Pasca penggeledahan dan penyitaan barang bukti, berikutnya masuk pada penemuan tersangka. Ia mengaku sudah mengantongi nama tersangka, hanya saja belum mau disebutkan. Zainur menjelaskan, penyidikan adalah upaya membuat terang tindak pidana dan dalam rangka menemukan tersangka. Berbeda dengan penyelidikan, baru mencari peristiwa pidana.
“Proses itu berdasarkan pasal 6 KUHAP. Penyidik boleh melakukan upaya-upaya awal, seperti pemeriksaan saksi-saksi, penggeledahan, penyitaan, penangkapan, penahanan dan sebagainya. Itu semua instrument penyidikan untuk membuat terang dan menemukan tersangka,” bebernya.
Untuk angka kerugian negara dari kasus dugaan di Cimara, pada saat penyelidikan sudah ada perhitungan. Masuk pada tahap penyidikan, menurutnya, akan dihitung lebih komprehensif. Sedangkan untuk tersangka, dirinya belum mau menyebutkan meski mengaku sudah mengantongi.
“Pokoknya tersangka sudah kita kantongi lah. Untuk menjaga bahasa itu ‘equality before the law’. Sebuah kehati-hatian dalam menentukan proses. Bukan maju mundur tapi jaga kehati-hatian, biar prosedur itu cukup,” tandasnya.
Berdasarkan KUHAP, alat bukti itu ada 5. Sedangkan dalam kasus Cimara, sudah ada 4 alat bukti. Diantaranya puluhan surat, puluhan saksi, petunjuk dan ahli. Tinggal keterangan terdakwa yang disampaikan terakhir. Sehingga menurut Zainur, rangkaian pidananya sudah sangat jelas. (deden)