KUNINGAN (Mass) – Ketika MoU yang hendak ditandatangani oleh Kejari Kuningan dan para kepala desa batal, maka dipastikan akan memicu banyak pertanyaan. Terlebih alih tugas Kasi Datun (Perdata dan Tata Usaha Negara) Kejari Kuningan, Redy Zulkarnaen ke Jambi, berbarengan dengan batalnya penandatangan MoU tersebut. Jangan-jangan ada konflik internal yang tajam antara Redy dengan atasannya Kepala Kejari, Raswali Hermawan.
Untuk mengobati rasa haus terhadap informasi tersebut dibutuhkan keterangan langsung dari Kajari, Raswali Hermawan. Beruntung, kuninganmass.com berhasil menemui petinggi Korp Adhyaksa Kuningan Rabu (10/5/2017). Di ruang kerja Kasi Intel, Wawan Kustiawan, Kajari Raswali mau menerima dan menjelaskan duduk permasalahan kepada portal ini.
“MoU itu dipending dulu, bukan batal. Nanti kita akan bicarakan lagi dengan pimpinan yang lebih tinggi,” kata Raswali dengan nada agak tinggi dalam mengawali percakapan.
Dirinya tidak beranggapan MoU tersebut tidak baik. Menurut dia, MoU baik-baik saja tergantung dari niatnya. MoU juga harus disesuaikan dengan program TP4D (Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah).
Soal angka Rp3,5 juta dari masing-masing desa yang diisukan sebagai dana operasional MoU, justru Raswali mengaku tidak mengetahuinya. “Wah saya gak tahu itu. Darimana itu. kalau masalah itu sih tanya saja ke yang bersangkutan,” sergah Raswali.
Ia menegaskan, untuk penandatanganan MoU sebenarnya tidak dipungut biaya. Dasarnya UU Kejaksaan No 16/2004. Sedangkan untuk tindakan hukum yang membutuhkan peran JPN (Jaksa Pengacara Negara), menurutnya bersifat tentatif dan membutuhkan surat kuasa khusus dari desa.
“Ketika ada permohonan, digugat misal, kita bisa mendampingi kalau diberikan surat kuasa khusus oleh desa. Nah kalau ada biaya misal daftar ke Pengadilan, itu ditanggung pemohon. Tapi kalau untuk JPN mah gratis. Perkaranya juga hanya perdata dan tata usaha negara. Kalau pidana tidak bisa,” jelasnya.
Berkaitan dengan hal itu, Raswali kembali mengatakan perlu membicarkannya dengan pimpinan lebih atas. Jika sudah dibicarakan, baru bisa ditindaklanjuti. Beberapa hal yang perlu dituangkan dalam MoU, perlu dibicarakan agar tidak salah persepsi. Untuk itu, penyatuan persepsi dulu yang harus didahulukan.
Dalam menanggapi alih tugas Redy ke Jambi, menurut dia, rotasi menjadi sesuatu yang wajar dan biasa. Kepindahan Redy ke Jambi meski baru menjabat 1 tahun 3 bulan, bukan karena ada masalah. Rumor terjadi selek (konflik internal) antara dirinya dengan Redy, dibantah Raswali.
“Itu dibesar-besarkan saja. Kaya dulu kepindahan kasi pidsus (Novan). Rotasi itu wajar. Toh di sana (Jambi) juga punya jabatan kan. Jadi gak masalah,” jelas dia.
Kaitan dengan permasalahan desa, dalam beberapa pekan ke belakang terjadi penggeledahan kantor Desa Cimara Kecamatan Cibeureum sekaligus rumah pribadi kadesnya. Pandangan negatif muncul atas tindakan penggeledahan Tim Pidsus Kejari atas kasus dugaan penyelewenangan dana desa di Cimara. Bahkan ada yang menganggap Kejari arogan, niru-niru KPK tapi beraninya hanya kepada kelas teri semacam kades.
Sejauhmana tindaklanjut kejari pasca penggeledahan? Raswali mengatakan, tahap penyidikan masih berproses. Saat ini pihaknya masih mencari bukti lebih otentik lagi. Baru setelah itu masuk pada penetapan tersangka yang namanya sudah dikantongi.
Kaitan dengan penggeledahan yang dilakukan, ia bersikukuh bahwa tindakan tersebut sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur). Kalaupun ada yang merasa dirugikan atas penggeledahan tersebut hingga berniat melakukan upaya pra peradilan, Raswali mempersilakan.
“Itu hak mereka. Silakan saja. Kalau kita sih sudah professional sesuai SOP,” tegasnya.
Sebetulnya, selain kasus Cimara pihak Kejari menerima cukup banyak laporan kaitan dengan kasus dugaan di desa. Namun laporan tersebut tidak semuanya diterima. Menurut dia, penelitian dan telaah harus dilakukan, jangan sampai hanya sekadar fitnah.
“Gak langsung menggeledah seolah-olah Kejari arogan dalam menangani desa. Gak seperti itu. Laporan diteliti dulu, ditelaah, lakukan full data. Kalau laporannya gak bener, buat apa. Kasihan kan orang jadi teraniaya. Kecuali ada temuan, bukti-bukti misal kekurangan volume, ada mark up, masa yang kaya begitu kita biarkan,” tutur Raswali.
Hingga akhirnya, Raswali sempat ditanya portal ini seputar kasus lama yang kini tenggelam. Sebut saja kasus dugaan penyelewenangan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas dan Panas Bumi tahun 2013 dan 2014 yang dulu sempat heboh. Bahkan sejumlah pimpinan DPRD Kuningan dipanggil untuk dipintai keterangan. Total dananya mencapai sekitar Rp 70 milyar.
“Itu mah laporan lama. Kemudian sudah dilaporkan ke Kejati untuk meminta pertimbangan. Semua kita laporkan ke Kejati (termasuk DBHCHT),” ungkap Raswali.
Angka Rp70 milyar, menurut dia, itu merupakan angka total DBH Migas dan Panas Bumi. Sejauh ini belum temu bukti, baru tahap penyelidikan. Hanya saja dirinya sempat mengatakan, semua pekerjaan sudah dilaksanakan.
“Semua pekerjaan sudah dikerjakan, lalu bukti-bukti kesalahannya ada dimana?,” kata Raswali.
Adanya dugaan 0,5 persen dari total dana yang seharusnya digunakan untuk pendidikan dasar, ia mengembalikan pada pertimbangan Kejati. “Itu nanti kita minta pertimbangan dari atasan, ada gak 0,5 persen itu. yang jelas pekerjaan semua dikerjakan,” jawabnya.
Kabar dugaan penggunaan dana tanpa SP2D (surat perintah pencairan dana) dan disalurkan bukan lewat bank persepsi (bank yang ditunjuk menkeu), Raswali berujar tidak mungkin. “Ada semua (SP2D). Kalau masalah bank persepsi kan itu baru katanya,” ucap Raswali.
Kalau tidak cukup bukti, tambahnya, maka penyelidikan bisa dihentikan. Untuk menghentikannya perlu adanya surat. Ia menyebutkan, batas penyelidikan selama 20 hari yang bisa diperpanjang. Surat penghentian tersebut diakui Raswali belum keluar namun sudah dilaporkan ke Kejati. (deden)