KUNINGAN (Mass) – Angka Rp3,5 juta saja sudah besar. Apalagi jika dikalikan dengan jumlah desa yang ada yaitu sebanyak 361 desa. Hasil kotretan yang diakurkan dengan hitungan kalkulator, totalnya mencapai Rp1,26 milyar. Bagi sebagian kalangan, akan keluar kata “Wow” mendengar angka sebesar itu.
Kendati demikian, muncul sebuah versi yang menganggap “setoran” Rp3,5 juta yang kemudian batal dilakukan tersebut bukan masuk kategori pungli. Ini disampaikan langsung oleh Kasi Datun Kejari Kuningan, Redy Zulkarnaen SH kala dijumpai kuninganmass.com Selasa (9/5/2017) siang.
“Angka 3,5 juta itu bukan dari pihak kami, akan tetapi kesepakatan para kades. Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No 025/2015 pasal 7 poin 4, permohonan legal opinion yang dimohonkan, segala biaya ditanggung pemohon. SOPnya seperti itu,” jelas Redy.
MoU kaitan dengan legal opinion sebetulnya bukan barang baru. Nyaris sejumlah instansi pemerintah maupun swasta pun menjalin kerjasama dengan Kejari lewat seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) sebagai leading sector.
Menurut Redy, MoU tersebut bertujuan untuk mendukung Intruksi Presiden RI Joko Widodo No 1/2016 yang diteruskan oleh Jaksa Agung lewat Peraturan Jaksa Agung No 025/2015. Dalam konteks desa, MoU itu bertujuan untuk mendukung percepatan pembangunan di desa-desa agar tidak ada ketimpangan atau kesenjangan sosial antara desa dan kota dengan adanya bantuan pusat berupa DD (Dana Desa) dan ADD (Alokasi Dana Desa) sekitar Rp1 milyar.
“Supaya kades tidak ragu untuk menggunakan anggarannya. Apabila ada yang tidak dimengerti, mereka bisa meminta pendapat hukum dari kita agar tak salah langkah. jadi bukan jadi beking,” terangnya.
Namun di perjalanan, Redy merasa banyak kepentingan oknum yang ingin menggagalkan MoU dengan menghalalkan berbagai cara. Jika memang ada yang merasa tidak perlu ada MoU karena dianggap suatu permasalahan yang tidak baik, maka orang tersebut dinilainya tidak mendukung program presiden dan tidak melaksanakan perintah jaksa agung.
“Siapapun. Mau kajari atau siapa, jika menganggap MoU sebuah permasalahan yang tidak baik sehingga dianggap tidak perlu, maka saya menilai tak mendukung program presiden dan tidak menjalankan perintah jaksa agung,” tegas Redy.
Kaitan dengan anggaran, ia manandaskan belum ada sampai detik ini. Lantaran dianggap tidak kondusif akibat gangguan dari oknum, maka penandatanganan MoU gagal. Sedangkan menyangkut angka, seperti yang dijelaskan sebelumnya, itu merupakan kesepakatan para kades.
“Tadi saya sebutkan berdasarkan Perja (Jaksa Agung) No 025/2015 pasal 7 poin 4 dimana biaya permohonan legal opinion ditanggung pemohon. Kemudian pada poin 5 berbunyi ‘tindakan hukum lainnya ditanggung pula oleh pemohon’,” terangnya.
Tindakan hukum di sini, dijelaskan oleh Redy secara gamblang. Apabila di desa terjadi permasalahan hukum semisal digugat oleh kelompok yang mengatasnamakan masyarakat, maka pihaknya selaku JPN (jaksa pengacara negara) dapat mendampingi desa untuk melakukan tindakan litigasi (dalam pengadilan) atau non litigasi (luar pengadilan). Tentu hal itu berdasarkan MoU dan surat kuasa khusus yang diberikan oleh desa. Dan segala biaya ditanggung oleh pemohon.
“Jadi, kalau dibilang pungli, sampai diisukan oleh lingkungan kantor saya sendiri, apabila memang mereka pelakunya, itu sangat biadab saya kira. Karena saya hanya mau bekerja dan mengabdi kepada masyarakat,” tandas Redy.
Dirinya pun merasa heran ketika baru saja menyosialisasikan rencana MoU, tiba-tiba banyak laporan terhadap desa yang bersangkutan dengan hukum. Mulai dari laporan kasus dugaan di Lebakwangi, Kertawangunan, Ancaran dan Cimara. Hingga akhirnya Kades Cimara Kecamatan Cibeureum diperiksa. “Bukan menuduh, hanya heran saja,” ujarnya.
Ternyata, kini Redy sedang berproses alih tugas ke Jambi. SK-nya sudah keluar terhitung 27 April 2017 mutasi ke Jambi, masih sebagai Kasi Datun. Padahal di Kuningan baru menjabat 1 tahun 3 bulan. Ditanya apakah mutasinya gara-gara MoU, Redy memberikan jawaban diplomatis.
“Saya gak tahu, mungkin itu kebijakan pimpinan. Yang jelas saya siap ditempatkan di seluruh wilayah RI karena sudah jadi kontrak saya kepada negara,” tegas pria yang kala itu tidak mengenakan seragam Korp Adhyaksa.
Lantas bagaimana dengan nasib para kades yang MoUnya urung ditandatangani? Redy hanya mengeluarkan pesan. Dia meminta agar para kades belajar hukum lebih dalam, pelajari KUHAP dan juga baca UU (undang-undang). Menurutnya, ini pun berlaku bagi seluruh masyarakat Kuningan, bukan hanya para kades.
“Saya kepengen masyarakat mengerti hukum agar tidak dijadikan bulan-bulanan oleh oknum-oknum penegak hukum yang mencari kesempatan bertindak di luar kewenangannya. Jangan takut ke penegak hukum kalau merasa tidak salah,” pesannya.
Menurut dia, masyarakat diberikan hak untuk melakukan pembelaan dan perlawanan. Medianya sudah ada sehingga harus dijalankan. Dikatakan, negara sudah menjaminnya yaitu equality before the law. “Setiap orang punya kedudukan yang sama di depan hukum,” pungkas Redy. (deden)