KUNINGAN (MASS) – Akhir-akhir ini isi sosmed kebanyakan isinya curhatan umur 20-an yang bukan cuma satu dua yang mengeluh, kok mereka belum ketemu jodoh.
Salah satu membandingkan dirinya dengan teman-temannya yang “bahkan sudah bisa nikah semua”. Jadi sedih.
Memang, dorongan kanan kiri keluarga temen deket dll terkadang bikin muak. Bisa bikin ngerasa “Yaudahlah Gue Kawin Asal Aja Apa Neh!!!”
Tapi lumayan kaget sih tadi waktu ngeliat gimana anak umur 20an awal dengan yakin & sadar merasa bahwa “menikah muda” itu = “sukses”.
Meskipun prihatin, tapi saya juga bisa memahami: sebagian anak-anak ini, yang sekarang SMA – kuliahan, tumbuh besar dengan social media sebagai refleksi “realita” yang utama.
Padahal yang ditampilkan disitu, terutama Instagram, adalah potongan realita yang kebanyakan juga rekayasa.
Susah juga ya kalo hanya melihat realita sepotong lalu mempercayainya begitu aja.
Tapi bayangkan: kamu perempuan muda, dan 80% dari konsumsi media di sekitarmu menampilkan pernikahan sebagai komoditas. Yang ditulis bagusnya + indahnya aja. Kamu juga pasti akan berpikir itu kenyataannya, bukan?
Pengen menambahkan satu hal juga. Menurut aku pribadi alasan tiap orang menikah (lepas dari yang umumnya ada) mau kayak apa juga boleh aja, selama tidak ada pihak yg disakiti/dirugikan dengan sengaja.
Tapi dari cerita yg saya temukan, yang pengen nikah cepet ini merasa stress dan merasa bahwa status “menikah” itu kemudian menjadi tolak ukur mereka dalam menilai self-worth masing masing. Kecenderungannya mereka lalu minder dan terjebak pada kesedihan tersebut.
Nah, mungkin~ dengan mencoba memahami alasannya, kita jadi bisa saling support.
Support dalam bentuk sharing, siapa tahu bisa memberikan perspektif lain.
Support dalam bentuk empati, siapa tahu bisa membantu kita paham perasaan orang lain sebelum tanya-tanya soal target menikah. Support dalam bentuk nggak menghakimi, karena siapa sih yg pengen tertekan gini.
Sudah bukan masanya menikah itu masih dilihat sebagai kompetisi. Begitu juga dengan punya kerja, punya pacar, punya anak, besarin anak —the list goes on.
Mari kurangi generalisasi dan kebiasaan merasa kasihan sama yang “belum menikah”.
Jangan minder juga sebagai yang belum nikah dan gak boleh jahat sama yang belum pengen, atau tidak pengen menikah.
Tambahan yang penting:
Ukuran waktu dalam menyelesaikan lukisan masa depan tidak perlu dibandingkan dengan orang lain. Kecepatan tidak perlu dibandingkan dengan kualitas.
Ketika ada teman kita nikah muda atau belum menikah, sama-sama doakan yg terbaik buat mereka aja, sembari terus fokus ke memaknai kehidupan yang baik bagi diri kita sendiri.
Harus tetap percaya diri meski jalan hidup yang kita ambil dari hati belum tentu bisa dipahami orang lain.***
Penulis
Dahana Fitriani
warga Kuningan