KUNINGAN (MASS) – Pertama kali dalam sejarah PC PMII Kuningan dinahkodai perempuan.
Keputusan itu keluar setelah terpilihnya Evi Novianti sebagai formateur dalam Konfercab ke-13 PMII pada Minggu (18/7/2021).
Evi sendiri merupakan perempuan asal Desa Sukaharja Kecamatan Cibingbin Kuningan.
Dara manis ini sebelumnya adalah kader PMII yang aktif. Bahkan sudah menjadi ketua, mulai dari tingkat rayon FKIP, Komisariat Uniku dan sekarang di tingkat cabang.
Sebelum dilantik nanti, kuninganmass.com mewawancarai Evi dalam sebuah podcast ‘Mari Bicara’ yang akan tayang di channel Youtube.
Dalam wawancara tersebut, Evi banyak bercerita perihal perjalannya sejak MTs nyantri di salah satu pondok.
“Dulu mondok di Windusengkahan dari MTs, ya dulunya karakter santri a, semangatnya ngaji ilmu agama. Belum ada keinginan aktif di organisasi,” ucap perempuan yang baru saja menamatkan kuliah strata 1 jurusan Pendidikan Matematika tersebut.
Masuk kuliah di Uniku, di semester 2, Evi bergabung PMII.
Dirinya mengaku, bertahan untuk terus berproses karena organisasi ternyata menarik.
Selain mengenal dunia yang berbeda dari kepesantrenan, di organisasi juga mengaku suka dengan budaya dan diskusi yang terbangun.
“Belum, sekarang belum kerasa ada beban (sebagai ketua dan malah ada kebanggan). Banyak yang mengucap selamat,” ujarnya soal jadi perempuan pertama yang jadi pucuk pimpinan disana.
Biasanya, karena sebelumnya terus dipimpin laki-laki, kata Evi, perempuan meski punya kualitas, akan aktif dan mungin bisa menahkodai KORPRI (Korps Putri PMII).
Tapi kemarin, pada Konfercab Evi memilih berani maju dan mencalonkan diri. Hingga akhirnya terpilih dengan 6 suara dari total 9 suara keseluruhan.
“Di PMII itu, tempat mengembangkan diri, soft skill,” imbuhnya.
Dijelaskan Evi, bekal keilmuan islam dan keilmuan lainnya, bisa terintegrasi dengan ilmu untuk mengkomunikasikannya.
Dan di sanalah, pembelajaran organisasi diperlukan. Belum lagi, masih kata dia, belajar melatih mental dan menumbuhkan rasa percaya diri.
Meski selama kuliah cukup aktif di organisasi, perempuan yang menggunkan warna baju pink itu mengaku kehidupan pribadinya tidak terganggu.
Apalagi, organisasi juga budayanya tetap ‘anak muda’ banget. Tetap nongkrong dan kumpul-kumpul misalnya.
Bedanya, di organisasi itulah isi obrolannya bisa sangat serius. Bisa juga untuk kemanfaatan dan pengembangan keilmuan.
Malahan, dianggapnya lebih seru karena bertemu orang yang berbeda-beda.
“Waktu itu, ya emang kuliah agak keganggu, maksudnya banyak ijin. Tapi alhamdulillah (lulus tepat waktu),” ujar perempuan yang kini sudah diterima program magister di UNY.
Disentil kembali soal kehidupan pribadinya terganggu atau tidak oleh kesibukan organisasi, Evi menegaskan tidak.
Bahkan, saat diwawancara terlontar pertanyaan soal kehidupan asmara, sembari tertawa Evi menjawab tentu tetap ada.
“(Lebih mudah) Karena kan kita eksis, lebih dikenal, membuka ruang,” ujarnya sembari ikut tertawa bersama.
Di sela wawancara, penyuka seblak ini ditanya kembali perihal arah gerak PMII kedepan.
Dirinya mengungkapkan, ingin organisasi yang dipimpinnya bisa berkontribusi untuk daerah. Bahkan, ingin juga jadi ‘teman kritisnya’ pemerintah.
“Menyesuaikan kondisi, kita juga ingin bentuk satgas covid-19. Karena di PB udah, di kita belum. Jadi nantinya, kader kita bisa jadi relawan di puskes, juga mengkampanyekan vaksin. Satu lagi, kita pengen melakukan pemberdayaan desa, khususnya bidang ekonomi,” akunya.
Terakhir, dirinya juga berpesan untuk semuanya bahwa saat ini sudah saatnya perempuan berani menjadi pemimpin. Perempuan, harus diberi kesempatan, dan mengambil kesempatan.
Diakuinya, masih banyak diskriminasi dan budaya patriarki bahkan dirasakan di ruang lingkup keluarga dan masyarakat.
“Perempuan saat ini sudah banyak yang berada di wilayah strategis. Saat ini, perempuan adalah subjek pembangunan. Perempuan, punya potensi untuk mandiri dan berkarya,” tutupnya di akhir. (Eki)
