KUNINGAN (MASS) – Di era digital, perhatian audiens menjadi “mata uang” paling mahal. Setiap hari, masyarakat disuguhi ratusan hingga ribuan konten promosi, baik di televisi, billboard, maupun media sosial. Di tengah derasnya arus informasi itu, brand dituntut mencari cara paling efektif untuk membuat iklan mereka menonjol. Menariknya, salah satu strategi yang kian populer adalah menghadirkan kucing sebagai bintang utama.
Fenomena ini dikenal dengan istilah catvertising. Awalnya, kucing hanya ditampilkan dalam iklan produk makanan hewan. Namun kini, tren itu meluas ke berbagai sektor: mulai dari iklan makanan cepat saji, minuman, e-commerce, hingga layanan jasa pengiriman. Kucing tidak lagi sekadar menjadi ikon perawatan hewan, melainkan berubah menjadi simbol keakraban, hiburan, dan kedekatan emosional dengan konsumen.
Lantas, mengapa kucing begitu ampuh dalam dunia periklanan digital? Pertama, karena kucing memiliki daya tarik visual yang sulit ditolak. Wajah polos, ekspresi natural, dan tingkah laku lucu mereka secara instan mampu mencuri perhatian dalam hitungan detik sesuatu yang sangat dibutuhkan di era banjir konten. Kedua, kucing menimbulkan keterhubungan emosional. Banyak orang mengasosiasikan kucing dengan rasa nyaman, hangat, dan lucu, sehingga brand yang menampilkannya seolah ikut “menumpang” dalam perasaan positif tersebut.
Ketiga, kucing sangat viral. Konten bertema kucing terbukti menjadi salah satu jenis konten paling banyak dibagikan di media sosial. Hal ini memberi keuntungan ganda bagi brand: selain pesan iklan tersampaikan, jangkauannya juga meluas melalui interaksi organik dari audiens. Tidak heran jika kampanye yang melibatkan kucing lebih sering menjadi perbincangan dibanding iklan dengan konsep konvensional.
Apalagi, Indonesia dikenal memiliki komunitas cat lovers yang sangat besar dan aktif, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Ribuan akun Instagram, Facebook group, hingga forum daring berisi pecinta kucing menunjukkan betapa kuatnya basis audiens ini. Bagi brand, hal ini adalah peluang emas: iklan dengan kucing tidak hanya menjangkau khalayak umum, tetapi juga mampu menyasar komunitas yang sudah memiliki ikatan emosional kuat terhadap hewan ini.
Namun, tren ini juga mengajarkan kita sesuatu tentang komunikasi di era digital. Penggunaan kucing bukan sekadar gimmick visual, tetapi strategi komunikasi persuasif. Brand sadar bahwa dalam masyarakat digital, emosi lebih mudah menggerakkan audiens ketimbang sekadar logika. Kehadiran kucing menjadi medium untuk menyampaikan pesan yang sederhana, ringan, namun mengena.
Akhirnya, fenomena catvertising menunjukkan bagaimana dunia komunikasi dan pemasaran terus beradaptasi dengan kebutuhan audiens. Kucing bukan hanya “penghibur layar”, melainkan simbol dari strategi komunikasi yang mengutamakan kedekatan emosional. Di tengah kompetisi ketat merebut perhatian publik, kucing seolah menjadi “senjata ampuh” yang mampu menjembatani pesan iklan dengan hati konsumen.
Jika dilihat dari perspektif ilmu komunikasi, fenomena ini bisa dipahami melalui teori komunikasi massa dan komunikasi persuasif. Pertama, kehadiran kucing dalam iklan berfungsi sebagai attention getter elemen yang mampu menarik perhatian audiens dalam waktu singkat. Kedua, kucing menjadi simbol emosional yang bekerja pada level pathos, yakni membangkitkan rasa simpati, empati, dan kegembiraan.
Selain itu, dalam kerangka uses and gratifications theory, audiens tidak hanya menonton iklan sebagai bentuk konsumsi informasi, tetapi juga mencari hiburan dan keterhubungan emosional. Kucing sebagai figur iklan memberi “kepuasan ganda”: iklan terasa lebih menghibur sekaligus menyampaikan pesan produk. Bahkan dalam konteks komunikasi digital, kucing memfasilitasi partisipasi audiens karena mendorong interaksi berupa komentar, share, hingga pembuatan ulang konten (remix culture).
Dengan demikian, catvertising bukan hanya soal hewan lucu di layar, tetapi representasi strategi komunikasi modern yang menggabungkan hiburan, emosi, dan interaktivitas. Brand yang cerdas menggunakan kucing tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun relasi jangka panjang dengan audiens melalui simbol kedekatan emosional yang universal.
Oleh: Silvi Aris Arlinda, S.I.Kom., M.I.Kom – Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi