KUNINGAN (MASS) – Jangan salah faham soal judul. Pernyataan tersebut bukanlah satire karena ketidaksetujuan pada pilihan mentri Pendidikan ala Presiden, justru kalimat tadi adalah harapan serius pada Mentri Pendidikan baru, mas Nadiem Makarim.
Sudah lama saya tidak bisa berharap se-liar ini pada seorang mentri yang baru dilantik. Apalagi pada mentri pendidikan yang basicnya memang pendidikan. Seperti katak dalam tempurung. Terkekang dogma dan kurikulum. Terdoktrin oleh mulianya tujuan pendidikan. Hingga memenjara anak di sekolah adalah pilihan.
Jika dibilang kecewa pada pendidikan yang saat ini ada, saya jelas kecewa. Mengutip kata-kata Cak Nun, “sekolahlah ! sampai kamu tahu sekolah itu membodohimu,” sialnya, sudah tahu dibodohi, kita tetap memilih sekolah. Entah karena harapan masa depan yang semu, entah karena tuntutan sosial, entah karena untung-untungan dapat bantuan.
Mentri pendidikan berganti tiap periode. Ada pula yang setengah periode. Semuanya hanya ngatur kurikulum. Gonta-ganti tanpa esensi. Semuanya soal administrasi. Jam mengajar dan sertifikasi. Tidak ada perubahan yang benar-benar mendasar soal pendidikan. Barangkali, kita memang tidak punya dasar pendidikan yang jelas. Kan itu sebabnya, anak pejabat sekolahnya di luar negri ? Pejabat pemerintah saja, tidak percaya pada sistem yang mereka buat sendiri. Lalu sistem pendidikannya, malah dilemparkan pada kita ? Masyarakat di strata bawah ? Kan lucu.
Sekarang, Mas Nadim dilantik jadi mentri pendidikan. Saya benar-benar merasa pengangkatan ini sebagai “gambling” terbesar. Gambling, judi, pertaruhan yang cukup besar. Mengorbankan jutaan anak sekolah dari SD sampai SLTA, ratusan ribu sekolah negri sebagai percobaan dan pertaruhan untuk seorang Nadim, yang basicnya bukan di pendidikan tulen. Saya ikut berdebar.
Tentu sesekali saya berkhayal, barangkali saja di masa Mas Nadim, yang tidak terbebani bentuk pendidikan sebelumnya, bisa merombak pendidikan secara mendasar.
Beberapa model pendidikan super ketat dan disiplin ala Jepang, Korea, Singapura, misalnya, jika diadopsi secara utuh oleh Mas Nadim, bisa saja membuat banyak praktisi pendidikan kerepotan. Pasti menuai pro-kontra. Banyak alasan tidak pengertianlah, apalah. Sikat saja mas Nadim.
Atau khayalan saya selanjutnya, mas Nadim meniru pendidikan bebas ala Finlandia, tanpa PR, jam belajar hanya sedikit, setiap guru maksimal memegang hanya 20 murid. Bagaimana, para sarjana pendidikan akan terberdayakan bukan ? Ya pasti pro-kontra juga, orang tua jadi repot kalo anaknya hanya sebentar di sekolah. Belum lagi alasan APBN yang tekor kalo investasinya pada SDM, honorer aja digaji cuman 300 ribu perbulan, gimana kalo gurunya diperbanyak ? Akh, namanya juga khayalan, sikat saja mas Nadim.
Dua diatas adalah contoh model pendidikan dengan label “terbaik” dunia. Jika dirasa keduanya tidak cocok, saya akan ajukan model pendidikan lain khayalan saya lagi pada Mas Nadim.
Pertama, saya akan berkhayal sekaligus mengingat soal pendidikan awal di Indonesia. Model pendidikan pesantren. Dimana murid dan guru bertemu dalam setiap waktu. Murid melihat dan belajar secara langsung, apa yang diajarkan gurunya. Bukan hanya teori dan pelajaran, tapi juga dalam kehidupan. Kan luar biasa, belajar hidup yang sebenarnya.
Bahkan, dalam sejarah pendidikan pesantren, dulu, belajar hidup tuh ya sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi. Bukan hanya soal filosofis, tapi belajar juga bertani, berternak, apa saja, garap sawah kyainya sendiri. Paket kumplit kan ? Pasti ini juga pro-kontra, gak ada lagi yang mau jadi guru. Alesannya, gak ada waktu “bersantuy”. Nah Mas Nadim bisa pake ini.
Khayalan saya selanjutnya, adalah pendidikan ala sekolah alternatifnya Qoryah Thayyibah, lembaga pendidikan alternatif yang ada di daerah Salatiga. Dimana konsepnya mirip dengan apa yang ada di otak saya, meski prakteknya sedikit berbeda.
Bayangkan, anak sekolah bebas memilih pelajaran minatnya sebagai pelajaran utama. Olahraga ya terus olahraga, menggambar terus menggambar. Menari terus menari. Bermusik ya terus bermusik. Menulis ya terus menulis. Dan pelajaran sekolah, semuanya hanya eskul. Kegiatan yang biasa dianggap eskul, malah jadi yang utama. Kebayangkan, anak anak selalu antusias belajar karena memang pelajarannya disukai. Mereka akan menjadi ahli di bidangnya masing-masing. Tidak ada tuntutan nilai. Hanya terus meningkatkan skill di bidangnya. Mengerikan bukan ? Melihat anak usia 15 tahun sudah bikin 12 buku dalam setahun. Nah mas Nadim, kalo mau coba-coba ini boleh nih. Ya mungkin orang-orang pendidikan banyak yang akan kehilangan jam mengajar. Tapi kan mas Nadim mau gebrakan untuk masa depan, kan ? Boleh dicobalah.
Satu lagi, yang bisa saya khayalkan nih. Gimana kalo model pendidikan berbasis kebutuhan daerah. Khususnya untuk perdesaan. Jadi di kampung-kampung ya sekolahnya pertanian atau kehutanan. Di pesisir, sekolahnya ya kelautan dan keikanan. Pokoknya sesuai potensi dan kebutuhan daerahnya lah. Jadi, anak muda kampung gak akan malu nyawa, toh itu pembelajaran di sekolah. Tapi tetep, untuk sekolah berbasis kebutuhan, harus ada kelas IT, dan kelas pemasaran. Nah kolab yang bagus kan ? Produksi oleh petani sendiri, dipasarkan sendiri, dikembangkan dengan IT. Akh, khayalan.
Nah, pokoknya begitu mas Nadim. Pada menteri-menteri sebelumnya, saya tidak bisa berkhayal “judi” terlalu banyak. Karena saya faham, mereka punya semacam ikatan yang terlanjut dalam. Dogmatis dan Pragmatis. Pada mas Nadim kan lain. Tak punya beban mental. Jadi kalo mau coba-coba, sikat aja. Bagus ya bagus beneran, ancur ya ancur sekalian. Bubarin ajalah ya, sekolah-sekolah lama mah.
Hahaha. Masih berkhayal.
Eki Nurhuda Almutaqin
Penulis adalah Mahasiswa asal Subang, Aktif juga sebagai Jurnalis
You May Also Like
Education
Pendidikan di Persimpangan Jalan Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang menghendaki kebaikan di dunia maka dengan ilmu. Barangsiapa yang menghendaki kebaikan di akhirat maka...
Education
KUNINGAN (MASS) – Jangan salah faham soal judul. Pernyataan tersebut bukanlah satire karena ketidaksetujuan pada pilihan mentri Pendidikan ala Presiden, justru kalimat tadi adalah...