Connect with us

Hi, what are you looking for?

Kuningan Mass

Social Culture

Mbah Dalem Cageur, Potret Sejarah Penyebaran Islam dan Pelopor Pembuatan Waduk

KUNINGAN (MASS) – Nama Desa Cageur Kecamatan Darma Kuningan cukup dikenal karena kabutnya yang banyak di pagi hari.

Namun kali ini, perjalanan Kuninganmass.com ke desa tersebut, bukanlah untuk melihat fenomena kabut atau embun, melainkan untuk menelusuri jejak peningalan sejarah berupa makam salah satu tokoh yang ternama disana, Mbah Dalem Cageur.

Penelusuran jejak sejarah kuninganmass.com kali ini, tidak sendirian. Kru kami diantar banyak sekali anak muda yang juga ikut penasaran pada sejarah dan peduli pada pemeliharaanya.

Selain itu, ada juga seorang kuncen sekaligus perangkat desa yang ditugaskan secara ‘sah’ mengurus cagar budaya tersebut yakni Didi Setiadi.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Letak makam sendiri tak begitu jauh dari sisi jalan raya. Dari arah Darma ke Selajambe, cukup terus mengambil arah selatan dan berhenti setelah melewati lapangan sepakbola Desa Cageur.

Setelah itu lalu belok ke arah kiri, melewati gang selebar satu sampai satu setengah meter. Perjalanan tentu tak semudah dan secepat menggunakan kendaraan.

Meski terbentang jalanan selebar dua meteran, tapi karena ada semacam ‘batas suci’, kita harus berjalan sepanjang satu kilometer kurang lebih, dari tempat terakhir memparkir kendaraan.

“ Itu, makam Mbah Dalem Cageur. Kalo dulu, ada istilah sesepuh, jangan sebut namanya untuk penghormatan. Jadi dikenal sebagai Mbah Dalem Cageur saja. Tapi belakangan, banyak orang juga yang nyebut, namanya Mbah Dalem Cageur ini, Eyang Satari,” ujarnya beberapa waktu lalu sembari menunjuk makam tersebut.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Diceritakan Didi, Eyang ini, merupakan tokoh yang mengislamkan wilayah-wilayah yang kini disebut Desa Cageur. Bukan hanya itu, wilayah Dayeuh Kolot dan Tarikolot juga konon, mendapat pengajaran Islam dari Mbah Dalem Cageur.

Nama Cageur sendiri, yang kini digunakan sebagai nama desa, ternyata memiliki sejarah lisan yang unik. Pasalnya, nama Cageur merupakan Bahasa Sunda yang berarti sehat, waras.

Nama itu, dinisbatkan pada sebuah kejadian, dimana dulu, ada seorang memiliki penyakit yang tidak kunjung sembuh.

Namun pada akhirnya, atas pertolongan Allah bisa sembuh setelah menggunakan air kajayaan yang tempatnya berada di sekitar lokasi makam.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Dijelaskan Didi, Air Kajayaan tersebut merupakan bukti sejarah yang dimiliki wilayah Cageur. Air yang berada sekitar 100 meter dari makam, dan lokasinya ada di bawah, disebut-sebut sebagai bekas berwudhu-nya Eyang di masa lalu.

“Itu yang disana (sebelum masuk wilayah makam, red), musholanya mbah dalem Cageur,” ujarnya setelah menunjukan tempat-tempat yang dimaksud, pada kuninganmass.com beberapa saat sebelumnya.

Air Kajayaan sendiri, dipercaya atau tidak khasiatnya, mengundang banyak pengunjung dan peziarah bahkan dari luar kota.

Terakhir, dituturkan Didi, sekitar 6 bulan lalu, dari Purwakarta pun datang malam-malam meminta ijin pada dirinya, untuk mengambil manfaat dari air kajayaan tersebut.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Selain terdapat makam Mbah Dalem Cageur, terdapat juga makam lainnya disana, yakni makam Nyimas Pulo Damar dan makam Damar Wulan.

Bahkan terdapat juga makam murid Mbah Dalem Cageur yang tempatnya tidak jauh dari sana, Makam Eyang Raksa.

Konon, terdapat juga di sekitar lokasi, tempat yang dipercayai sebagai tempat persinggahan Prabu Siliwangi.

Selain sejarahnya yang panjang sebagai penyebar agama Islam, Mbah Dalem Cageur juga diceritakan sebagai pelopor Waduk Darma.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Pada mulanya, Mbah Dalem Cageur, seperti yang diceritakan Didi, membuat bendungan yang di masa depan dikenal sebagai Waduk Darma.

Konon, setelah adanya insiden anaknya tenggelam di bendungan, bendungan pun diudar kembali. Namun, bendungan dibangun kembali menjadi waduk seperti saat ini, di zaman yang berbeda dari Mbah Dalem Cageur.

Dituturkan Didi Waduk Darma saat ini adalah inisiasi berikutnya di zaman kolonial.

Kembali soal situs bersejarah yang berada di lahan perhutani tersebut, makamnya terawat dengan sangat baik. Apalagi ternyata, ada jadwal khusus pembersihan makam dari dua kuncen yang berbeda di hari Senin dan Kamis.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Keberadaan semakin terawat juga oleh para pemuda setempat yang sering berkunjung dan melakukan kerja bakti. Suasana yang masih rimbun dan sejuk, memang menarik minat banyak orang untuk berkunjung dan ‘niis’.

Konon, makam yang sudah terawat sejak lama ini, memiliki alam yang lebih rimbun lagi pada masa lalu. Dulu, sepanjang jalan yang dilewati penuh dengan lumut hijau yang menyerupai karpet panjang dari ujung jalan masuk hingga makam.

Lumut yang hidup itu, disebabkan tidak masuknya cahaya matahari karena tertutup rimbunnya pepohonan yang berusia ratusan tahun.

Meski begitu, saat ini, sudah banyak pepohonan yang lapuk dimakan usia, sehingga cahaya matahari pun mulai masuk dan lumut disana, tidak setebal masa lalu. (eki)

Advertisement. Scroll to continue reading.
Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Advertisement