KUNINGAN (MASS) – Untuk menjadi seorang mualaf (orang yang baru masuk Islam), mesti memenuhi standar konstitusi. Salah satunya keberadaan saksi kompeten. Hal ini ditegaskan perwakilan FPI dalam menanggapi penjelasan Bupati H Acep Purnama MH.
“Ada standar konstitusi mualaf. Mana saksinya?. Tidak cukup hanya dengan surat pernyataan di atas materai,” kata Dadan, aktivis lulusan hukum itu.
Ia juga mengritik visi Kuningan MAS yang di dalamnya terdapat agamis. “Agamisnya sebelah mana? Ajaran sesat kok dibiarkan. Kami menilai pembinaan pemda gak efektif,” ketusnya.
Diperkuat oleh Ketua FPI Kuningan, Kyai Endin Kholidin. Pencantuman Islam pada kolom agama warga Ahmadiyah sangat disesalkan. Perjuangan kaum muslimin Kuningan sejak dulu seolah sirna begitu saja.
“Ahmadiyah itu bukan Islam. Makanya sejak dulu kita tidak terima kalau Islam dituliskan pada KTP mereka. Ini kok tanpa kita diberitahu, tiba-tiba sekarang sudah dikasih KTP dengan mencantumkan Islam,” kata Endin dengan nada tinggi.
Ia menegaskan, mekanisme penerbitan e-KTP mesti ditempuh secara benar. Peraturan Gubernur Jabar terkait Ahmadiyah sudah keluar, disamping SKB tiga menteri. Kemudian Fatwa MUI juga menyatakan ajaran Ahmadiyah sesat dan menyesatkan.
“Kami juga kaget setelah membaca media massa bahwa telah diterbitkan e-KTP untuk warga Ahmadiyah. Apalagi ketua MUI juga mengatakan di media juga, bahwa mereka yang sudah mendapatkan e-KTP menolak untuk dibina,” ungkapnya.
Untuk itu, Endin menegaskan, masuk Islamnya penganut Ahmadiyah tidak sah. Sebab tidak memenuhi standar mualaf, terutama keberadaan saksi kompeten. Ia menuntut agar e-KTP yang telah diterbitkan harus dicabut kembali.
“Kalau tidak, mereka yang sudah berKTP dipanggil ke tempat sentral seperti Masjid Syiarul Islam atau Masjid KIC. Undang juga para alim ulama dan habaib. Saksikan mereka mengucapkan dua kalimah syahadat,” tegasnya.
Dengan begitu, kata Endin, tidak akan menjadi fitnah. Aparat pemerintah, alim ulama dan semua tidak kebagian dosa dari tidak sahnya mereka masuk Islam. Sebab menurutnya, masalah tersebut adalah persoalan aqidah bukan persoalan proyek.
“Biar pak bupati selamat, seluruh aparatur pemerintahan selamat, MUI juga selamat, kita semua selamat. Jadi semua dikumpulkan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat yang disaksikan oleh para alim ulama dan habaib. Maka tidak menjadi fitnah,” tandasnya.
Kalau ternyata tetap tidak mau, Endin menyebutkan opsi ketiga. Dia meminta agar peraturan gubernur betul-betul diterapkan. Begitu juga SKB tiga menteri. Secara hukum, Islam merupakan agama yang diakui secara sah oleh negara. Islam menolak ajaran Ahmadiyah yang sesat dan menyesatkan.
“Kitab kita Al Quran, bukan Tadzkirah. Nabi kita juga Nabi Muhammad SAW, bukan Mirza Ghulam Ahmad,” kata Endin yang masih bernada tinggi.
Ia menyebutkan bahayanya pencantuman Islam pada KTP penganut Ahmadiyah yang tak sesuai standar mualaf. Mereka bisa menikah dengan orang Islam secara bebas. Mereka pun bisa berhaji.
“Jangan didik kami untuk memanipulasi data. Jangan didik kami mengkhianati syariah. Kami minta penuhi tuntutan kami itu agar kita semua selamat,” pintanya.
Setelah mendengarkan penuturan Endin, Acep mengintruksikan bawahannya untuk berpegang pada standar mualaf kaitan dengan penerbitan e-KTP warga Ahmadiyah. Sehingga perlu dipelajari kembali. (deden)