KUNINGAN (MASS) – Di tengah meningkatnya beban hidup masyarakat, perhatian publik kembali tertuju pada kesejahteraan anggota DPR RI. Berdasarkan aturan resmi, seorang anggota DPR dapat menerima penghasilan lebih dari Rp100 juta per bulan. Jumlah tersebut mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan rumah, hingga tunjangan komunikasi.
Dasar hukum penghasilan wakil rakyat itu diatur dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 serta diperkuat melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015.
Menanggapi hal itu, Yogi Mochammad Iskandar Panambah, mahasiswa Fakultas Hukum asal Kuningan, menilai meski secara hukum sah, penghasilan fantastis tersebut menimbulkan pertanyaan etis.
“Besarnya penghasilan anggota DPR sah secara hukum, tapi apakah sebanding dengan realita rakyat? Kesejahteraan DPR sudah pasti, sementara kesejahteraan rakyat masih menjadi janji,” kata Yogi kepada Kuningan Mass, Senin (25/8/2025).
Kritik itu muncul di tengah situasi ekonomi yang kian menghimpit masyarakat kecil. Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat harga rata-rata beras premium di tingkat konsumen telah mencapai Rp16.088/kg, jauh di atas harga eceran tertinggi nasional Rp14.900/kg. Adapun harga beras medium naik menjadi Rp14.260/kg dari sebelumnya Rp12.500/kg.
Tidak hanya sektor pangan, dunia ketenagakerjaan pun sedang bergejolak. Berdasarkan data Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari hingga Juni 2025 tercatat 42.385 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka ini melonjak 32,19 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 32.064 pekerja.
“Di saat rakyat harus memikirkan harga beras yang terus naik, dan para pekerja cemas kehilangan mata pencaharian, anggota DPR justru tidak perlu risau soal kesejahteraan karena sudah dijamin negara. Kondisi ini jelas menimbulkan jurang yang makin lebar antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya,” ujar Yogi.
Menurutnya, persoalan tersebut tidak hanya sebatas angka, tetapi juga menyangkut rasa keadilan. Jabatan publik, khususnya DPR, adalah amanah. Setiap rupiah gaji dan tunjangan yang diterima sejatinya berasal dari rakyat, sehingga harus sejalan dengan tanggung jawab moral dan sosial.
“Besarnya tunjangan harus berbanding lurus dengan besarnya tanggung jawab. Kehadiran DPR seharusnya tidak berhenti di ruang sidang, tapi juga hadir di tengah rakyat, mendengar, merasakan, dan memperjuangkan mereka. Rakyat menunggu bukti nyata, bukan sekadar janji,” tegasnya.
Ia menambahkan, mahasiswa tidak menolak DPR hidup sejahtera. Namun, kesejahteraan anggota dewan seharusnya menjadi cerminan kesejahteraan rakyat.
“Kalau wakil rakyat hidup terjamin, maka rakyat pun seharusnya ikut merasakan. Uang rakyat seharusnya kembali untuk rakyat,” pungkasnya. (argi)
