KUNINGAN (MASS) – Di tengah dinamika dunia pendidikan yang makin kompleks, harapan baru lahir dari terpilihnya Ida Suprida, M.Pd sebagai Ketua PGRI Kabupaten Kuningan periode 2025–2030. Komitmennya untuk menjaga netralitas politik, memperkuat perlindungan hukum bagi guru, serta mengawal revisi kebijakan pendidikan nasional patut diapresiasi. Dalam situasi yang kerap membingungkan, suara yang jernih dan berpihak pada profesi guru seperti ini sangat dibutuhkan.
Namun di saat yang sama, satu persoalan serius tengah mencuat dan menyentuh inti kepemimpinan pendidikan di daerah ini: penundaan penempatan Guru Penggerak sebagai kepala sekolah, meskipun seluruh tahapan pelatihan dan seleksi telah mereka lalui dengan tuntas.
Program Guru Penggerak adalah program nasional yang disiapkan secara sistematis oleh Kementerian Pendidikan, dengan tujuan menghadirkan pemimpin pembelajaran yang adaptif dan kompeten. Mereka dipilih melalui seleksi ketat, dibimbing oleh fasilitator profesional, dan dibekali visi kepemimpinan yang kuat. Di Kabupaten Kuningan, proses ini telah selesai pada akhir tahun 2024. Para guru tersebut tidak hanya siap bertugas, tetapi juga telah mengorbankan waktu, pikiran, dan energi demi menjalankan amanah negara.
Namun, hingga hari ini, mereka masih menunggu. Keputusan penempatan yang seharusnya bisa segera dikeluarkan, justru tertahan. Situasi ini menjadi lebih rumit ketika Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 terbit pada 8 Mei 2025 dan diundangkan pada 14 Mei 2025. Regulasi baru ini mengatur mekanisme baru dalam pengangkatan kepala sekolah dan pengawas, yang membuat proses yang telah dijalani sebelumnya harus diulang atau disesuaikan kembali.
Apa yang seharusnya menjadi keberhasilanhasil kerja panjang dari para guru yang berdedikasi justru berubah menjadi ketidakpastian. Guru yang sudah siap menjadi pemimpin di sekolah harus kembali antre, mendaftar ulang, dan berkompetisi di jalur seleksi baru yang lebih terbatas kuotanya. Ini bukan hanya menyia-nyiakan upaya mereka, tetapi juga merugikan sekolah-sekolah yang sangat membutuhkan kepemimpinan definitif.
Fakta bahwa banyak sekolah di Kuningan masih kekurangan kepala sekolah semestinya menjadi alasan kuat bagi pemerintah daerah untuk bergerak cepat. Kekosongan jabatan ini bukan hanya persoalan administratif. Ia memengaruhi jalannya manajemen sekolah, mutu layanan pendidikan, dan iklim belajar mengajar. Ketika keputusan ditunda, maka konsekuensinya dirasakan langsung oleh guru, siswa, dan orang tua.
Dalam konteks ini, kita berharap PGRI sebagai organisasi profesi terbesar tidak hanya berdiri sebagai penjaga marwah guru, tetapi juga hadir sebagai jembatan solusi. Komitmen Ketua PGRI untuk membela dan memperjuangkan nasib guru adalah angin segar, dan semoga bisa diperluas dengan ikut serta mengadvokasi kejelasan nasib para Guru Penggerak yang telah menjalankan amanah negara dengan sepenuh hati.
Kita percaya, pendidikan tidak boleh berjalan dalam keraguan. Kepemimpinan sekolah tidak boleh dikorbankan oleh kelambanan administrasi. Jika Kabupaten Kuningan ingin benar-benar melesat, maka segala bentuk ketidaktegasan dan penundaan dalam pengambilan keputusan harus segera dihentikan.
Karena pada akhirnya, slogan “Kuningan Melesat” akan tinggal sebagai ironi, jika keputusan yang menyangkut masa depan sekolah dan kepemimpinan guru justru dibiarkan tersendat. Tidak ada yang bisa melesat jika mesin utamanya—pendidikan—masih berjalan lambat. Tidak cukup dengan narasi indah dan baliho penuh semangat, jika dalam praktiknya kebijakan krusial justru ditunda tanpa kejelasan. Melesat bukan soal retorika, melainkan keberanian untuk mengambil keputusan yang tepat pada waktu yang tepat.
Jika Kuningan sungguh ingin melesat, maka sekarang waktunya membuktikan: bergerak cepat, berpihak pada guru, dan menjadikan pendidikan sebagai prioritas nyata bukan sekadar komitmen dalam dokumen visi-misi.
Oleh: M. Agung Tri Sutrisno
Pemuda Kecamatan Kuningan
