KUNINGAN (MASS) – Kuatnya karakter seorang politisi sangat ditentukan oleh gaya komunikasi politiknya. Ini juga menentukan kuatnya karakter kepemimpinan seseorang. Di Kabupaten Kuningan, secara subjektif, masih bisa dihitung dengan jari (jari tangan dan jari kaki) orang-orang yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat.
Agar tidak salah memahami komunikasi politik, ada baiknya kita simak pendapat Dan Nimmo, tokoh yang cukup terkenal dalam dunia komunikasi politik. Ia menjelaskan, komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik dan dalam konsekuensinya.
Kegiatan tersebut mencakup komunikator politik (politisi, aktivis, konsultan, profesional, marketing, juru bicara), pesan politik, persuasi, media politik, khalayak dan akibat yang ditimbulkan dalam proses komunikasi politik.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi di Kabupaten Kuningan dapat dikupas satu persatu sebagai bahan diskusi, baik atau buruknya komunikasi politik yang diperlihatkan. Apakah itu berkaitan dengan bupati, wakil bupati, ketua DPRD, bahkan para legislator lainnya. Kita sempitkan disitu karena eksistensi mereka yang melahirkan kebijakan daerah berpengaruh besar terhadap hajat hidup orang banyak.
Dari case rencana kegiatan JWK#2 (Jelajah Wisata Kuningan), publik memandang ada ketidakakuran antara bupati dan wakil bupati. Bupati seolah-olah kontra JWK, sebaliknya wabup dipersepsikan pro JWK. Simbol-simbol ketidakakuran tersebut diperlihatkan dalam pernyataannya masing-masing di media massa.
Uniknya, terbit surat berkop Bupati Kuningan yang ditandatangani Wakil Bupati perihal imbauan kepada para kepala dinas untuk memasang one way JWK#2 di kaca belakang mobil dinas mereka. Satu lagi, reklame JWK#2 telah terpasang di papan bando yang melintang di Jalan Siliwangi, fasilitas milik pemda.
Apa iya tanpa seizin bupati? Sedangkan pada hari yang sama, kepada awak media dirinya menyinggung soal Intruksi Mendagri No 6/2020 tentang penegakan protokol kesehatan untuk pengendalian Covid-19. Lantaran melibatkan kerumunan, bupati memberikan kode bahwa rencana kegiatan tersebut mengarah pada penangguhan. (https://kuninganmass.com/business/tourism/soal-jwk2-bupati-dan-wabup-tidak-akur/)
Case lain yaitu bertalian dengan pernyataan ketua DPRD yang bulan kemarin sempat menghebohkan jagat nasional. Terlepas dari vonis terbukti melanggar kode etik atau tidaknya, penggunaan diksi limbah memiliki konsekuensi dan berefek besar. Penuturan Dan Nimmo tentang komunikasi politik, relevan dalam case ini.
Peristiwa politik yang bermula dari penyikapan penanganan pandemi covid di pondok pesantren Kuningan tersebut berepisode cukup panjang, berefek pada gejolak politik eksternal maupun internal partai politik di gedung parlemen daerah.
Hanya saja, “pengadilan” terhadap ketua DPRD “terlalu fokus” hingga melupakan indikasi pelanggaran kode etik lainnya. Padahal, mungkin saja ada anggota dewan lain yang tengah “mengadili” itu merokok di tempat yang dilarang, atau mungkin pula ada oknum legislator yang terlibat proyek dengan sumber anggaran dari APBD. Ini luput dari perhatian BK (Badan Kehormatan).
Satu case lagi, sekarang ini para anggota DPRD tengah mengikuti kegiatan Study Banding ke luar pulau yang sudah barang tentu menggunakan APBD dengan nilai besar. Padahal selama ini pandemi corona memberikan batasan ruang gerak bagi siapapun, termasuk para pejabat publik.
Namun, batasan ruang gerak serta resesi ekonomi yang ditimbulkan pandemi seolah tidak ada. Yang lebih heran lagi, bupati telah menerbitkan SE (Surat Edaran) tertanggal 20 November 2020 perihal penegakan hukum protokol kesehatan dan pencegahan covid, yang tidak dipatuhi. Sebuah kelakar muncul bahwa “kesaktian” bupati terukur.
Dari sejumlah case tersebut, wajar apabila publik memandang semua itu hanyalah sebuah drama, sandiwara, dagelan, sinetron, atau apalah namanya. Edukasi politik terhadap masyarakat menjadi gagal, padahal dalam setiap kampanye para politisi kerap menyerukan sebuah idealitas yang retoris.
Politik malah akan semakin sulit dimaknai suci oleh publik akibat komunikasi politik yang dipertontonkan para politisinya. Dikhawatirkan, sikap apriori, apatis, pragamatis, oportunis, justru kian menggejala dimasyarakat yang ujung-ujungnya nanti rakyat malah akan disalahkan lagi kalau memilih golput.
Partisipasi politik adalah solusi guna menormalkan demokrasi. Partisipasi politik disini bukan hanya sekadar komen hujatan tak berdasar di medsos (kecuali berdasar) atau cukup menonton diskusi ILC dan debat kandidat di televisi. Sebuah gerakan nyata dibutuhkan agar mampu memengaruhi kebijakan politik.
Partisipasi politik diartikan sebagai aktivitas warga Negara yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan politik (Kaid & Haltz-Bach, 2008). Aksi unjuk rasa penyikapan case diksi limbah kemarin, menjadi salah satu contoh dari rentetan contoh lainnya, terlepas dari benar atau salahnya.
Program diskusi semacam ILC pun jadi salah satu contoh, termasuk menulis opini/wacana di media massa (media siber atau cetak) atau talkshow/podcast di channel youtube. Tingginya kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi politik seperti itu diharapkan membuat demokrasi di level daerah bisa tetap sehat dan mencegah krisis komunikasi politik. (Kuningan Mass, Sabtu 28 November 2020)