KUNINGAN (Mass) – DPR dan Pemerintah sudah ancang-ancang merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Proses revisi diharapkan dapat menyasar segala aspek yang jadi kekurangan pilkada serentak 2015, sehingga hasilnya dapat menjamin peningkatan kualitas penyelenggaraan Pilkada, misalnya dengan agenda paling dekat adalah Pilkada serentak tahap kedua pada 15 Februari 2017 di 107 daerah.
Dalam rilisnya, Komisioner KPU Kuningan Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih, Asep Z Fauzi, menyampaikan, kesiapan KPU menerima dan menjalankan hasil revisi UU Pilkada. Pasalnya, hal itu sudah jadi bagian dari tugas KPU sesuai ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Hanya saja, dia berharap pembahasannya tidak sampai berlarut-larut. Sehingga Pilkada serentak 2017 dan seterusnya dapat segera menerapkannya sebagai payung hukum.
“Kami memastikan UU Pilkada memang akan segera direvisi. Kami harap hasil evaluasi Pilkada 2015 dituntaskan dalam revisi UU Pilkada oleh Pemerintah dan DPR. Ini sangat penting untuk adanya payung hukum Pilkada serentak yang bersifat jangka panjang. Meski di Kuningan baru digelar tahun 2018 bersamaan dengan Pilgub Jabar, namun payung hukumnya kan sama mengacu pada hasil revisi sekarang,” kata Asep di ruang kerja KPU Kuningan, Rabu (16/3).
Asep menuturkan revisi UU Pilkada dilakukan untuk memperbaiki regulasi yang bisa memayungi proses pelaksanaan pilkada serentak berikutnya agar berjalan lebih baik. Perbaikan regulasi itu bukan hanya untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pilkada. Tetapi juga melakukan koreksi dan penyempurnaan secara menyeluruh, jelas dan tidak multi tafsir. Tentunya berdasarkan pengalaman praktek pada pilkada tahap pertama tahun 2015 silam.
“Revisi ini juga mungkin akan memuat aturan baru. Namun yang sifatnya antisipatif ke depan juga harus diperhatikan sejak awal, agar kejadian sebelumnya seperti persoalan calon tunggal dapat teratasi tanpa harus menunggu putusan MK. Jadi, jangan sampai terjadi ketidakpastian hukum sehingga dampaknya mengganggu tahapan dan kinerja peserta plus penyelenggara. Pokoknya permasalahan di Pilkada 2015 lalu harus dijadikan cermin agar ke depannya lebih baik lagi,” tegas Asep.
Dia mengungkapkan sejumah masalah yang muncul dan perlu dilakukan penyempurnaan dalam UU Pilkada. Antara lain masalah pemutakhiran data pemilih, sengketa pencalonan, dan alat peraga kampanye. Selain itu terkait sosialisasi, penyelesaian perselisihan hasil, pengadaan logistik, hingga persoalan anggaran. Namun lebih spesifik Asep menyoroti fakta menurunnya tingkat partisipasi pemilih dalam pemungutan suara.
“Penurunan ini terjadi di hampir semua daerah yang menggelar Pilkada. Pilkada Kota Medan bahkan tingkat partisipasi pemilihnya rendah sekali, hanya 26,28 persen. Padahal secara nasional KPU dan Pemerintah menargetkan 77,5 persen. Fakta tersebut bisa saja memicu kekhawatiran akan berkurangnya legetimasi pemimpin, meskipun secara aturan tak mempengaruhi hasil pemilihan,” ucapnya.
Pihaknya berharap, regulasi Pilkada secara konseptual dapat mengantisipasi trend penurunan angka partisipasi pemilih. Sebab kata dia, tidak memilih belum tentu bagian dari sikap golput yang cenderung disengaja. Faktanya, tak sedikit pemilih yang tidak hadir di TPS karena alasan terpaksa atau ada kendala. Kendalanya baik bersifat teknis maupun non teknis.
“Seperti terkena musibah, atau tiba-tiba ada keperluan penting, atau terpaksa harus keluar kota pada hari pemilihan karena tuntutan pekerjaan, sementara yang bersangkutan tidak sempat mengurus surat pindah memilih. Dalam hal ini ada usulan agar mekanisme daftar pemilih tambahan dihilangkan, namun dibuka ruang bagi pemilih yang tidak dapat hadir pada hari pemungutan suara untuk bisa mencoblos di waktu berbeda. Ya, tapi prinsipnya KPU tidak bisa memaksa karena revisi UU Pilkada memang otoritasnya Pemerintah dan DPR,” pungkasnya.(andri/rls)