KUNINGAN (MASS) – Sebagai warga Kuningan, saya membaca dengan saksama jawaban Bupati terkait polemik open bidding (OB) Sekda. Dari awal membaca, saya langsung melihat kontradiksi yang begitu nyata. Alih-alih memberi penjelasan yang berpihak kepada kepentingan publik, jawaban-jawaban beliau justru memperlihatkan bagaimana pola pikir yang membawakan penuh pembenaran.
Jawaban Bupati Kuningan di salah satu video exsklusif, terkait OB Sekda memperlihatkan rangkaian kontradiksi logika.
Pertama, beliau menyatakan: “Saya tidak merasa menggunakan dana open bidding itu.” Pernyataan ini kontradiktif. OB adalah kebijakan kelembagaan, bukan urusan personal. Uang yang dipakai adalah uang rakyat. Mengaku “tidak merasa menggunakan” tidak bisa menghapus fakta adanya anggaran daerah yang sudah keluar.
Kedua, beliau menambahkan: “Bayangkan kita juga tidak bisa dipaksakan hanya bukan hanya tidak bisa dipaksakan menggunakan uang Rp300 juta untuk menggunakan produk itu. Tapi apalah artinya nanti konsekuensi logis dari produk itu ya membuat apa? Pemborosan lebih besar.” Pernyataan ini defensif. Jika OB yang sah justru menghasilkan “produk gagal,” pertanyaannya adalah: apa yang salah dengan mekanisme seleksi? Bukankah OB dirancang agar menghasilkan pejabat profesional yang layak?
Ketiga, argumen beliau bahwa “Sekda itu adalah hal yang strategis yang harus memang memahami visi misi bupati” menunjukkan orientasi yang sempit. Sekda bukan sekadar perpanjangan tangan bupati, melainkan jabatan administratif yang netral dan profesional. Jika tolok ukur yang dipakai hanyalah keselarasan dengan visi bupati, maka OB kehilangan makna meritokrasi.
Keempat, dalam analoginya beliau mengatakan: “Restoran itu punya koki dengan seorang pemiliknya. Tiba-tiba koki itu tanpa diduga membuat menu baru, ketika dijual ternyata tidak ada yang beli. Nah, jangan salahkan konsumennya, ini kokinya yang membuat menu baru tanpa sepengetahuan owner.” Analogi ini menyederhanakan realitas. Sekda bukan “koki liar.” Ia dihasilkan dari proses seleksi resmi yang melibatkan panitia dan aturan. Jika hasilnya dianggap keliru, maka tanggung jawab ada pada penyelenggara proses, bukan pada “menu” yang dihasilkan dan jika proses penyelenggara OB sekda bermasalah maka tinjukan kepada masyarakat setiap titik yang dianggap bermasalah dengan pijakan konstitusi, karena pemerintah daerah itu bukan rumah makan.
Kelima, beliau juga menyebut: “Bukan persoalan hari ini pemborosan yang terjadi pada tahun sebelumnya, tapi saya menyelamatkan agar tidak mau lagi terjadi pemborosan tata kelola yang salah untuk tahun-tahun berikutnya.” Pernyataan ini paradoks. Untuk menghentikan pemborosan, justru dilakukan OB baru yang otomatis kembali menguras anggaran. Bukankah ini justru pemborosan ganda?
Publik kini bisa menilai bahwa rangkaian jawaban bupati lebih banyak membangun pembenaran dari pada memberikan jawaban konsisten. Apa yang disebut sebagai “penyelamatan” justru berpotensi menambah beban anggaran dan melemahkan kredibilitas tata kelola. Pemerintahan yang sehat mestinya berbicara dengan konsistensi dan kejujuran, bukan dengan pembenaran.
Oleh: Sadam Husein, aktivis Kuningan.









