KUNINGAN (MASS) Alhamdulillah, kita patut bersyukur bisa kembali memperingati sebuah bentuk respek dan apresiasi Pemerintah terhadap output dan outcome dunia pendidikan Islam Indonesia, yaitu hari SANTRI. Tahun ini hari santri nasional megusung tema: BERDAYA Menjaga Martabat Kemanusiaan. Sebagai penggiat pemberdayaan pada Gerakan Kuningan Berdaya, penulis mencoba turut sumbang opini untuk hari Santri 2022.
Menurut Wikipedia, Santri secara umum adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Santri biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Biasanya, santri setelah menyelesaikan masa belajarnya di pesantren, mereka akan mengabdi ke pesantren dengan menjadi pengurus.
Menurut bahasa, istilah santri berasal dari bahasa Sanskerta, “shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata cantrik yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, pada mulanya sebagai konsekuensinya ketua pondok pesantren memberikan tunjangan kepada santri tersebut.
Pendidikan Itu Seni Membentuk Manusia
Pendidikan yang identik dengan aktivitas belajar mengajar sesungguhnya adalah sebuah proses akumulatif dalam kerangka membina generasi. Bahkan dalam perkembangannya pendidikan juga diartikan sebagai seni membentuk manusia. Selanjutnya, karena yang akan dibina adalah sebuah generasi baru yang relatif harus lebih baik maka mengharuskan begitu banyak pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Inilah yang kemudian dikenal dengan pemangku kepentingan (stakeholder) dunia pendidikan.
Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah membuat bumi kita menjadi global village dimana dunia seakan begitu sempit. Pola hubungan antar manusia di antar negara menjadi borderless world, dimana arus informasi, modal dan jasa begitu sangat bebas keluar masuk tanpa batas. Membuat bumi yang kita huni hari ini begitu sangat dinamis atau bahkan cenderung agresif. Perubahan akhirnya menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagai salah satu entitas dunia pendidikan Indonesia, lembaga pendidikan Islam dan atau pesantren tentunya merasakan peluang sekaligus tantangan dimaksud.
Tantangan Dunia Pendidikan Islam
Kenyataan di atas inilah yang membuat para santri kita hidup pada sebuah zaman di mana pengetahuan berkembang pesat dan merubah sendi-sendi kehidupan kita secara fundamental dan sangat cepat. Durasi perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kita berlangsung begitu kilat, karena faktor-faktor perubahnya bekerja simultan dan cepat. Ini menimbulkan kegamangan dan disorientasi dalam dunia pendidikan.
Tentunya, kita tidak mendidik para santri kita untuk hidup pada zaman yang telah kita lalui atau yang telah dilalui orang lain atau peradaban lain. Pun, para santri hari ini tidak terlahir untuk memikul obsesi-obsesi orang tuanya. Mereka dilahirkan untuk kehidupan mereka sendiri. Tugas kita hanyalah memfasilitasi mereka untuk mengenal dunia dan kehidupan di mana mereka ditakdirkan menjalaninya. Pendidikan bertujuan menyiapkan mereka untuk menghadapi zaman mereka sendiri. Sebuah dinamika zaman yang terus berubah.
Basis Integritas Sebagai Keunggulan Santri
Namun, faktanya kita tidak punya kendali atas zaman yang kelak akan dilalui para santri kita. Kita tidak punya kendali atas perubahan-perubahan itu. Mungkin sekali kita bahkan sudah tidak ada, ketika mereka mengalami perubahan-perubahan besar itu. Tapi juga fakta bahwa semakin cepat dan sering suatu perubahan terjadi, semakin kita membutuhkan pegangan hidup yang bersifat permanen, yang tidak ikut berubah dalam perubahan-perubahan itu.
Jadi yang dibutuhkan para santri kita adalah pegangan permanen itu, sesuatu yang akan menjadi basis integritas mereka. Yaitu keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai agama. Inilah keunggulan para peserta didik bernama santri, yang bisa hidup dalam satu lingkungan pembentukan pegangan permanen itu. Agama mengajarkan mereka hakikat-hakikat besar dalam kehidupan mereka tentang:
- Asal usul mereka,
- Tujuan hidup mereka,
- Nilai-nilai yang harus membimbing hidup mereka,
- Faktor-faktor permanen yang membentuk kualitas hidup mereka, yaitu :
- Penerimaan Allah,
- Manfaat sosial,
- Pertumbuhan berkesinambungan (continuos improvement).
Basis integritas dimaksud adalah tentu Islam yang rahmatan lil alamin, yang kuat secara aqidah namun moderat secara social (problem solver, solidarity maker). Islam yang komprehensif namun proporsional yang berusaha kita famhamkan. Ini sekaligus menjawab kekhawatiran kita tumbuhnya radikalisme dan intoleransi dikalangan Pesantren dan atau santri santrinya. Sebagaimama kita ketahui bersama bahwa pemahaman yang berlebihan dan infiltrasi destruktif menjadi penyebab lahirnya radikalisme dan intoleransi, dimana ini bisa menjangkit semua agama tidak hanya Islam dan Umat Islam.
Pengenalan bahkan penguasaan pegangan permanen ini akan membekali para santri kita untuk memiliki basis integritas dan identitas yang luhur. Sehingga dengannya bakat, minat dan intelejensia para santri itu terbingkai kuat dalam nilai dan adab yang luhur. Inilah basis pembentukan santri dengan core value nya yang kuat.
Life Skills Santri
Apabila mereka belajar tentang dasar pegangan permanen itu dengan benar, maka sesungguhnya mereka telah tumbuh pada pusat kehidupan yang benar dan pasti. Tapi itu saja tidak cukup. Mereka juga membutuhkan beberapa keterampilan dasar yang diperlukan untuk bertahan dan bertumbuh pada semua situasi. Agar mereka memiliki peluang untuk menjadi insan yang bermanfaat bukan menjadi beban untuk orang lain. Ini menjadi tugas bersama kita, Santri menjadi kontributor peradaban yang signifikan.
Inilah life skills yang dimaksud. Sebagiannya merupakan keterampilan intelektual, sebagiannya lagi merupakan keterampilan emosional, dan sebagiannya lagi merupakan keterampilan fisik. Dan atau keterampilan berbasis keunikan dan diferensiasi individual pada bakat, minat dan intelejensi anak.
Para santri harus bisa kita difasilitasi untuk menguasai dua kompetensi yaitu kompetensi teoritis dan kompetensi eksekusi. Kemampuan konseptual dan eksekusi ini harus dibentuk sejak dini agar selanjutnya mereka memiliki kapasitas yang memadai untuk menjalani hidup baik dan berkontribusi pada kehidupan secara optimal.
Membangun Tradisi Ilmiah
Gagasan besar tradisi ilmiah adalah bagaimana agar lembaga pendidikan Islam dan atau pesantren menjadi semacam komunitas pembelajar atau learning organization yang sistematis. Dimana lembaga penaung, pendidik dan peserta didik menjadi objek pembelajaran yang sesungguhnya. Ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur tidak sekedar untuk dikuasai tapi lebih dari itu harus menjadi karakter atau sesuatu yang sifatnya fungsional dan memudahkan proses hidup.
Kita sadar bahwa pengetahuan bukan barang yang harus kita miliki. Pengetahuan adalah sebuah fungsi. Ia adalah cahaya yang menerangi ruang kesadaran batin kita. Sebagai sebuah fungsi kita harus mempelajari semua pengetahuan yang membantu kita berubah menjadi lebih baik. Belajar adalah proses menggunakan pengetahuan sebagai penuntun perjalanan mendekati kesempurnaan secara konstan. Belajar adalah proses menjadi secara konstan. Karena menjadi merupakan proses yang tidak pernah berakhir, maka belajar adalah satu-satunya proses kehidupan yang tidak pernah selesai.
Santri sebagai manusia adalah gabungan yang rumit antara ruh, emosi, akal dan fisik. Para santri adalah senyawa kehidupan yang rumit dan kompleks. Mereka berubah, berbentuk dan bermetamorfosis melalui proses-proses yang juga kompleks, di mana pengetahuan hanyalah salah satu aspeknya.
Dalam konteks itu, maka semua pengetahuan yang mereka butuhkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik harus mereka pelajari. Sebaliknya, semua pengetahuan yang tidak mempunyai fungsi spesifik dalam kehidupan riil mereka sesungguhnya tidak perlu mereka pelajari. Dengan begitu, pengetahuan atau keterampilan itu bekerja dalam kehidupan mereka, sebagai sumber pencerahan hidup bukan sebagai beban.
Tradisi ilmiah diukur melalui sikap seseorang terhadap pembejalaran, pengembangan intelektual berkesinambungan, penggunaan cara berpikir ilmiah dalam penyelesaian masalah, pembentukan keterampilan intelektual seperti bahasa oral dan tulisan, aktualisasi intelektual berkesinambungan, dorongan berkarya yang konstan.
Dan tradisi ilmiah harus dapat menghantarkan para santri kita melakukan transformasi pembelajaran. Pelajaran matematika, misalnya, harus bisa membuat mereka dapat berpikir logis. Pelajaran sejarah memberi mereka kesadaran dan emosi akan identitas kolektif. Pelajaran bahasa membantu mereka berbahasa atau berkomunikasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Belajar adalah proses berubah secara konstan!!!
Membangun Kultur Prestasi
Animo dan obsesi berprestasi harus dikelola sebagai sebuah budaya atau tradisi yang kompetitif. Budaya ini memungkinkan proses perbaikan atau pembelajaran berkesinambungan mendapatkan dukungan yang signifikan. Sehingga komunitas pembelajar ini tidak cepat berpuas diri atas apa yang dicapai namun selalu menemukan tantangan-tantangan baru yang akan meningkatkan level kapasitasnya. Kultur berprestasi membuat kita bertumbuh secara konstan.
Jadi ini terkait dengan bagaimana kita membangun the learning culture. Bagaimana semua anggota komunitas mendapatkan spirit untuk membangun karya-karya unggulan yang tidak hanya berguna untuk komunitasnya namun dapat berkontribusi bagi peradaban bumi.
Yang ingin ditumbuhkembangkan adalah mentalitas burning desire dan spirit to be champion yang memungkinkan komunitas menapak naik menuju puncak prestasi. Dan sebagai catatan, bahwa yang harus dikendalikan adalah prosesnya bukan hasilnya. Agar kita tidak terjebak dengan nomor atau angka juara namun lebih kepada proses budayanya. Sehingga takdir juara yang diterima kelak seolah menjadi bonus atau hiburan, karena proses budayanya sudah benar sebagai the Education cultural model.
Jadi, budaya berprestasi dan semangat berkompetisi dengan begitu harus merupakan sarana atau objek pembelajaran lanjutan menuju tradisi pembelajaran berkesinambungan. Dari komunitas seperti ini kelak akan lahir pribadi yang kompetitif berbasis budaya.
Eskperimen Yang Tidak Akan Pernah Usai
Namun tetap saja perlu dicatat: lembaga pendidikan Islam dan atau Pesantren adalah eksperimen yang belum selesai bahkan tak akan pernah usai. Senapas dinamika zaman yang terus berubah. Untuk itu, meski kiprah Pesantren dalam sejarah pendidikan Indonesia begitu panjang, tapi jangan mengharap para santri kita jadi sempurna ketika ia menamatkan pendidkannya di pesantren.
Tapi itu memang tabiat dunia pendidikan: dunia eksperimentasi tanpa henti. Di sanalah proses kreatifnya berlangsung secara terus menerus karena lingkungan strategisnya juga terus berubah. Gagasan gagasan segar tentang berbagai aspek dari proses pembelajaran di pesantren harus menjadi sebuah diskursus pendidikan yang positif. Apa yang penting dalam sebuah eksperimen bukanlah hasilnya tapi justru prosesnya.
Akhirnya, apresiasi yang tinggi kita patut berikan kepada lembaga pendidikan Islam dan atau Pesantren yang sampai saat ini telah memulai menjalankan proses membentuk generasi baru yang lebih baik. Semoga disana selalu hadir :
- Niat baik,
- Kesungguhan dan kerja keras,
- Semangat perbaikan berkesinambungan menuju (obsesi) kesempurnaan,
- Kelapangan dada menerima kritik dan kerendahan hati merima pujian,
- Tidak cepat puas dengan keberhasilan-keberhasilan kecil bahkan besar,
- Anggapan yang tidak pernah hilang bahwa semua sukses dalam ikhtiar ini semata-mata merupakan rahmat Allah, bukan karena kehebatan kita.
Semoga Lembaga Pendidikan Islam dan atau Pesantren dimudahkan dan bisa konsisten menghasilkan para Santri yang BERDAYA dalam Menjaga Martabat Kemanusiaan umat manusia.
SEMUA MUSLIM Adalah SANTRI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Santri adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Santri memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga santri dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Santri sebagai nomina (kata benda) bermakna (1) orang yang mendalami agama, (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh, (3) orang yang soleh.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata santri adalah orang yang mendalami agama islam. Arti lainnya dari santri adalah orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh serta seseorang yang soleh.
Merujuk pada arti Santri menurut KBBI, maka pada dasarnaya semua kita yang beragama Islam ini adalah SANTRI. Yaitu, peserta didik yang tidak pernah usai belajar serta pelaku sejarah peradaban bumi yang ditunggu kiprah demi kiprahnya yang terbaik.
Untuk itu, mari integrasikan diri kita dengan Islam agar menjadi core value, basis identitas yang utuh dan benar. Mari terus kembangkan kapasitas agar begitu banyak orang merasakan manfaat kehadiran kita. Mari kita bangun kerjasama agar kontribusi menjadi lebih optimal. Sehingga kontributor peradaban itu menjadi karakter dan akhlak. Sebagaimana sabda Nabi, Sebaik baiknya manusia adalah manusia yang memiliki daya manfaat untuk orang lain.
Maslahat sebagai apapapun dan dimanapun kita. Menjadi birokrat (ASN), aparat hukum, aparat keamanan, akademisi, pengusaha, wirausaha, pendidik, buruh, tani, pemberdaya, masyarakat biasa, termasuk pemimpin struktural dan non struktural. Bila kita muslim mari kita tunjukan jiwa dan kepribadian kita sebagai santri. Insan insan Peradaban yang disyukuri dan dibanggakan kehadirannya dimanapun dan sebagai apapun.
Selamat Hari Santri 2022, BERDAYA Menjaga Martabat Kemanusia.
Wallhu ‘alam bish showab
Penulis : Iman Priatna Rahman
(Penggiat Gerakan KUNINGAN BERDAYA, Yayasan SINERGI Kuningan)