Kompas Kosmologi Nusantara Ditengah Badai Vuca

Bismillah

KUNINGAN (MASS) – BAHWA ditengah arus zaman yang ditandai oleh kekacauan dan ketidakpastian; apa yang kini dikenal dengan istilah VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity), Indonesia menghadapi tiga darurat nasional yang saling terkait dan memperdalam krisis multidimensi yang tengah melanda.

Bukan sekadar statistik, tetapi gema kegentingan yang mengetuk hati nurani anak bangsa indonesia.

Darurat pertama adalah adanya degradasi ekologis.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2024) mencatat bahwa 75% Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia kini sudah berada dalam kondisi kritis.

Kerusakan alam ini tidak sekadar berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada keberlanjutan kehidupan komunitas yang bergantung padanya dalam kehidupan keseharian.

Dalam kosmologi Bali, konsep Tri Hita Karana—tiga dasar hidup dan kehidupan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan—menawarkan kerangka nilai yang mendalam.

Prinsip ini bukan sekadar filosofi, tapi telah menjadi praktik kolektif masyarakat adat, yang bahkan memberi hak veto atas izin tambang yang dianggap merusak tatanan ekosistem spiritual dan ekologis mereka.

Darurat kedua adalah polarisasi sosial, ditandai dengan turunnya Indeks Kebinekaan sebesar 30%.

Ketegangan identitas dan kegagalan dialog antargolongan semakin menciptakan jurang sosial yang menganga dan pudarlah nilai luhur Kebutuhan persatuan.

Di jantung Kalimantan, kosmologi Huma Betang dari suku Dayak mengajarkan pentingnya hidup dalam satu rumah panjang—berbeda kamar, tapi satu atap.

Melalui ritus lelampah—ritual perjalanan bersama untuk memulihkan harmoni—terbangun platform dialog yang melampaui debat dan merawat rasa sebagai ruang kebangsaan sejati.

Darurat ketiga menghantam jiwa generasi muda: krisis makna.

Sebuah laporan nasional menyebut 65% Gen Z mengalami depresi eksistensial.

Di tengah limpahan informasi, mereka kehilangan arah, sudah nampak dari mereka tercerabut dari akar jati dirinya sebagai generasi penerus bangsa ,untuk kemudian komunitas generasi milenial yang mana kedepan bisa mampu mengurus bangsa besar seperti Indonesia?

Kosmologi Merapu dari Sumba, dengan spiritualitas ziarah leluhur dan praktik ziarah diri, menawarkan inspirasi pedagogis yang dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan.

Bukan sekadar teori, melainkan perjalanan reflektif yang memulihkan keterhubungan anak muda/generasi milenial dengan warisan hidup yang agung dan penuh makna.

Dalam menghadapi krisis-krisis ini, penguasa Indonesia alias Nusantara ini, sejatinya segera memiliki pisau bedah (Sistem) kebijakan yang tajam, konsisten melaksanakan nilai luhur penegakkan hukum dan keadilan, welas asih: memelihara kearifan lokal yang terbukti tangguh menavigasi zaman.

Dalam konteks darurat korupsi, kosmologi Jawa menghadirkan filsafat Semar—tokoh punakawan yang mengkritik kekuasaan dengan jenaka, tidak menghujat, namun tajam dapat menyentuh hati nurani penguasa.

Filsafat ini berkelindan dengan nilai Siri’ Na Pacce dari Bugis: merasa malu terhadap pengkhianatan terhadap rakyat, malu melakukan kebohongan publik dan merasakan sakit hati ketika kemudian melihat penderitaan orang lain.

Kemudian implementasinya bisa berupa praktik “puasa jabatan”, yakni mewajibkan pejabat publik tinggal selama tiga hari di desa miskin dan bekerja bersama masyarakat desa dan akhirnya bisa memahami hidup dan kehidupan masyarakat desa yang sebenarnya.

Itu semua sebuah terapi struktural yang membumikan rasa empati sekaligus menahan syahwat kekuasaan dan diharapkan tidak menjadi rakus kekuasaan.

Sementara itu, darurat hoaks dan disinformasi digital membutuhkan
penanganan yang dimestikan.
Disinilah yang lebih subtil = Halus, lembut. (Kata subtil dalam bahasa Indonesia memiliki beberapa arti, yang semuanya mengarah pada sesuatu yang halus, tidak kentara ,atau cerdik) Disinilah metafora Gatoloco/Gotoloco bekerja: tokoh Satir (Satir = Adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan sindiran atau kritik terhadap seseorang, suatu peristiwa, suatu keadaan biasanya dengan cara yang lucu atau mengejek. Ringkasan A1.pen), dalam kosmologi Jawa yang mengkritik hipokrisi melalui absurditas dan humor yang mampu menyentuh qolbu.

Melalui algoritma kentongan digital, sistem dapat dilatih mengenali pola bahasa penuh sindiran atau eufemisme khas Indonesia alias Nusantara.

Sebanyak 127 peribahasa etnis bisa dikompilasi sebagai filter budaya dalam validasi kebijakan publik—sebuah pendekatan teknologi yang berakar pada kearifan tutur luhur lisan anak bangsa.

Untuk darurat oligarki, dibutuhkan strategi yang bisa lahir dari sosok jiwa-jiwa yang tidak tertundukkan.

Siti Jenar, tokoh mistik yang menolak kooptasi kekuasaan politik atas kebebasan spiritual, menjadi simbol perlawanan hening namun kokoh kuat.

Strategi ini bisa dihidupkan melalui pembentukan Koalisi Jiwa Tidak Takluk, yaitu merekrut aparatur sipil negara bukan dari kalangan elite lama, melainkan dari komponen ekologis, pemuda adat penjaga hutan, dan seniman jalanan-aktivis orang-orang yang jiwanya telah tertempa langsung oleh realitas dan pengabdian, terbiasa menjaga kesetiaan dan amanah dalam menjalankan “Tupoksinya”.

Agar semua pendekatan ini terimplementasikan secara sistemik, dibutuhkan toolkit kebijakan berbasis Tri Keseimbangan.

Ada sebuah protokol bernama Gending Dharma disusun untuk membantu para pengambil keputusan.

Langkah pertama adalah mengidentifikasi krisis dengan seksama dan menyerap kearifan lokal yang relevan—misalnya dalam menangani pencemaran Citarum dengan inspirasi dari praktik Sedekah Sungai.

Tahap kedua, konsultasi dengan para penjaga kearifan: juru penceng, sesepuh adat, tokoh spiritual dan tokoh masyarakat yang memang sudah teruji.

Ketiga, merancang kebijakan hibrid, seperti moratorium tambang berbasis Sasi Nasional, yang memadukan hukum negara dengan hukum adat.

Keempat, uji coba mikro dilakukan di wilayah adat, dan terakhir, evaluasi dilakukan dengan indikator “tanda alam”—seperti meningkatnya keanekaragaman capung atau kembalinya frekuensi ritual tradisional.

Semua upaya ini berpuncak pada satu pesan simbolik yang ditujukan kepada pemimpin negeri:

“Bapak Presiden yang terhormat,
Dibalik grafik pertumbuhan, ada jerit Sungai Citarum dan tangis anak Papua yang kehilangan hutan. Kami bawakan tiga kendi solusi:

Kendi Jawa: Strategi Semar melawan korupsi
Kendi Bali: Tata kelola Tri Hita Karana serta
Kendi Dayak: Hukum adat restorasi hutan

Keputusan Bapak Prabowo Subianto Presiden RI akan menentukan:
Akankah kita terjajah VUCA, atau justru menjadi maestro kosmologi yang menata ulang peradaban?” Untuk kemudian hal itu mampu difahami dan bisa menembus hati nurani para kepala daerah di Kabupaten/Kota serta Provinsi.

Esai ini bukan sekadar gagasan; ia adalah panggilan zaman. Di tengah badai global yang tak menentu, saat dunia mencari kompas moral baru, mungkin inilah saatnya kosmologi Nusantara tampil ke depan—bukan sebagai nostalgia romantik, tapi sebagai landasan kebijakan yang berani dan membumi.

Inilah darma/kebenaran yang terbangun, tugas sejarah yang menanti keberanian untuk dijalankan oleh siapapun pemangku jabatan, yang kini memiliki
kesempatan menempatkan sesuatu harus pada tempatnya.

Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in

Awang Dadang Hermawan

*) Pemerhati Intelijen, Sosial Politik dan Agama
##########
15 Juni 2025