KUNINGAN (MASS) – Pertanyaannya tajam: mengapa anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) justru merosot saat bencana hidrometeorologi makin sering dan makin merusak?
Anggaran yang tercatat sekitar Rp4,92 triliun pada 2024 turun menjadi Rp2,01 triliun pada 2025, lalu dalam RAPBN 2026 direncanakan hanya Rp491 miliar.
Secara kasar, itu berarti pemotongan mendekati 90 persen dibanding 2024.
Di waktu yang berdekatan, publik menyaksikan banjir besar di sejumlah wilayah Sumatera pada akhir November 2025, sampai beberapa daerah menetapkan status tanggap darurat dengan rentang waktu tertentu.
Kontras ini membuat publik mudah menyimpulkan satu hal: negara sedang mengecilkan peran BNPB, dan akibatnya bisa mengubah cara kita merespons bencana.
Namun, persoalannya bukan sekadar angka turun.
Yang lebih penting adalah logika kebijakan apa yang sedang dipakai pemerintah.
Mengapa Pemerintah Menurunkan Anggaran?
Ada indikasi kuat negara sedang menggeser cara membiayai bencana. Pemerintah mendorong skema pembiayaan yang lebih “berbasis risiko”, tidak hanya bertumpu pada belanja reguler BNPB.
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah menyebut penguatan skema Pooling Fund Bencana atau Dana Bersama Penanggulangan Bencana yang dikelola BPDLH, bahkan ada rencana alokasi investasi kepada BPDLH untuk memperkuat ketersediaan dana kebencanaan.
Cara berpikirnya begini: pagu rutin BNPB dibuat lebih ramping, lalu ketika bencana besar terjadi pemerintah menambah lewat mekanisme dana darurat, belanja lain-lain, atau penyesuaian anggaran.
Di ruang rapat anggaran, logika ini terdengar efisien karena “uang besar” disimpan di mekanisme kontinjensi.
Masalahnya, bencana tidak hanya soal “uang tersedia”, tetapi juga “kecepatan dan kesiapan.” Ini yang sering hilang dari diskusi fiskal.
Analogi Pemadam Kebakaran yang Dipangkas
Bayangkan sebuah kota memotong anggaran dinas pemadam hampir habis, lalu berkata: kalau kebakaran besar, nanti kita cari dana tambahan dan sewa bantuan.
Dalam keadaan normal, mungkin tampak hemat. Tetapi saat api menyala, menit pertama tidak bisa dibeli dengan revisi anggaran.
Ketika logistik, personel, latihan, dan sistem komando melemah, biaya sosial membengkak: korban jiwa, aset rusak, ekonomi lokal lumpuh, dan pemulihan lebih lama.
BNPB berfungsi seperti pemadam dan pusat komando. Ia bukan hanya kas bantuan, tetapi mesin kesiapsiagaan: stok logistik, sistem koordinasi, dukungan cepat bagi daerah, dan kemampuan menggerakkan sumber daya lintas kementerian.
Jika yang dipangkas adalah “mesin kesiapsiagaan”, maka kita sedang menukar biaya rutin yang relatif kecil dengan biaya darurat yang jauh lebih besar serta kehilangan yang tidak bisa dipulihkan.
Bahkan dalam dokumen fiskal, pemerintah mengakui risiko fiskal bencana: kerugian finansial akibat bencana dapat melampaui anggaran yang dialokasikan.
Artinya, bencana adalah risiko utama, bukan catatan pinggir.
Risiko Nyata Pemangkasan Anggaran
Risiko pertama adalah melambatnya respons. Ketika belanja rutin menipis, BNPB lebih bergantung pada “tambahan dana” yang prosedurnya tidak selalu secepat kebutuhan lapangan.
Dalam bencana, keterlambatan berarti korban.
Risiko kedua adalah melemahnya pencegahan dan mitigasi. Skema kontinjensi cenderung reaktif, sementara pencegahan menuntut kerja rutin: pemutakhiran risiko, latihan, kesiapan gudang, penguatan BPBD, dan sistem peringatan dini.
Risiko ketiga adalah munculnya ketidakpastian bagi daerah. BPBD membutuhkan kepastian dukungan, bukan sekadar janji “nanti ditambah”. Ketika bencana datang berulang, daerah yang paling rentan adalah daerah yang paling sering menunggu.
Apakah Ini Menjelaskan Keengganan Menetapkan Banjir Sumatera sebagai Bencana Nasional?
Secara formal, penetapan bencana nasional mengacu pada indikator dalam UU 24/2007 dan sejarahnya memang jarang ditetapkan.
BNPB juga pernah menjelaskan bahwa status tersebut bukan sekadar reaksi politik, melainkan terkait skala dampak dan kemampuan pemerintah daerah.
Jadi, pemangkasan anggaran tidak otomatis menjadi sebab tunggal keengganan menetapkan status bencana nasional.
Tetapi secara politik-ekonomi, pemangkasan yang ekstrem mudah menimbulkan persepsi: pemerintah menghindari “label” yang dianggap memicu kewajiban fiskal dan ekspektasi publik lebih besar.
Dalam situasi krisis, persepsi sering sama kuatnya dengan fakta, dan itu bisa menggerus kepercayaan.
Solusi: Skema Baru Boleh, Kapasitas Dasar Jangan Dimatikan
Jika pemerintah ingin menguatkan pembiayaan berbasis risiko seperti Dana Bersama, itu langkah modern dan patut didukung.
Tetapi syaratnya jelas: jangan membunuh kapasitas operasional BNPB. Skema kontinjensi harus cepat, transparan, dan mudah dicairkan, sementara BNPB harus punya lantai minimum anggaran kesiapsiagaan yang realistis untuk memastikan komando, logistik, dan dukungan ke daerah tetap bekerja.
Pada akhirnya, ukuran negara hadir bukan dari jargon “efisiensi”, melainkan dari seberapa cepat bantuan tiba dan seberapa banyak tragedi bisa dicegah sebelum banjir menjadi headline berikutnya.***
Achmad Nur Hidayat Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
























