KUNINGAN (MASS) – Pagi di Lembah Gunung Ciremai selalu datang dengan kesunyian yang meneduhkan. Kabut tipis turun menyelimuti pepohonan, udara dingin menyentuh kulit, dan suara burung masih terdengar jelas dari kejauhan. Namun di balik ketenangan itu, ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan masyarakat yang hidup di bawah lerengnya.
Mereka melihat perubahan bukan perubahan kecil, tetapi guratan besar di tubuh gunung yang sejak lama menjadi pelindung wilayah ini. Aktivitas pembukaan lahan mirip sirkuit di lereng yang curam membuat banyak orang terdiam, bukan karena tidak berani bersuara, tetapi karena takut membaca tanda-tanda alam yang pernah terjadi di tempat lain.
Di salah satu warung kecil di kaki gunung, seorang warga berkata pelan, “Kami hanya ingin tetap aman. Gunung itu bukan tempat sembarangan.”
Pembelajaran dari Aceh
Beberapa waktu terakhir, Aceh kembali mengalami bencana longsor akibat hujan deras yang terjadi berhari-hari. Rumah-rumah warga terdampak, akses jalan sempat terputus, dan aktivitas masyarakat terganggu. Peristiwa itu mengingatkan kita bahwa daerah berlereng memiliki batas ketahanan. Ketika hujan turun terus-menerus, tanah yang kehilangan pegangan pohon akan mudah bergerak.
Otoritas setempat bahkan menyampaikan bahwa cuaca ekstrem dan perubahan tutupan lahan menjadi dua faktor yang memperbesar kerentanan. Peristiwa itu menjadi peringatan bahwa alam selalu memberi tanda sebelum mengambil langkah yang lebih besar.
Apa yang terjadi di Aceh bukan sekadar kejadian lokal melainkan pelajaran nasional. Sebuah sinyal bahwa daerah rawan harus dijaga dengan lebih serius, dan keputusan pembangunan harus menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas tertinggi.
Harapan dari Lembah Ciremai
Warga Kuningan kini menyampaikan harapan yang sederhana namun sangat penting: mereka memohon Presiden datang meninjau langsung lembah ini. Bukan untuk memihak pada siapa pun, tetapi untuk melihat sendiri kondisi ekologis yang sedang berubah.
Lembah Ciremai bukan hanya bentang alam; ia adalah tempat hidup, ruang sejarah, sumber resapan air, sekaligus benteng alami dari bencana. Kehadiran Presiden dapat menjadi titik balik, memastikan bahwa setiap rencana pembangunan di daerah rawan ini benar-benar mengikuti aturan konservasi, kajian dampak lingkungan, dan prinsip kehati-hatian.
Karena pada akhirnya, yang dijaga bukan sekadar tanah, tetapi kehidupan.
“Kalau Ciremai rusak,” kata seorang ibu dengan mata menerawang ke lereng, “yang hilang bukan hanya hutan. Tapi masa depan anak-anak kami.”
Dan dari lembah yang sunyi ini, suara itu mengalun pelan, berharap sampai ke telinga Presiden:
Datanglah, lihatlah, sebelum gunung memberi tanda terakhirnya.
Oleh: Dadan Satyavadin, Pemerhati kebijakan publik, mantan timses, relawan Dirahmati.
