KUNINGAN (MASS) – Kami menyampaikan kritik keras terhadap praktik penyalahgunaan birokrasi pemerintahan di era Bupati Dian Rahmat Yanuar (DRY), di mana ASN dan tim protokoler diarahkan secara sistematis menjadi buzzer politik di media sosial, atas dasar instruksi atau perintah atasan.
Alih-alih melayani masyarakat secara netral dan profesional, aparatur sipil negara kini dipaksa menjadi alat amplifikasi pencitraan pemerintah, bahkan ikut menyerang balik kritik publik. Ini bukan sekadar strategi komunikasi — ini adalah bentuk manipulasi kekuasaan yang mencederai demokrasi dan mencoreng etika pemerintahan.
ASN Bukan Humas Politik, Tapi Pelayan Publik
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dengan tegas mengatur ASN wajib netral, tidak berpihak, dan tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis.
Namun yang terjadi di Kuningan ASN didorong aktif memposting, menyebar, dan membela setiap aktivitas Bupati di media sosial, bahkan di luar jam kerja.
Beberapa ASN junior tertekan dan takut jika tidak mengikuti arahan posting, karena dinilai “tidak loyal”, Kritik warga di media sosial sering dibalas oleh akun-akun ASN yang sejatinya bukan tugas pokok mereka. Apakah ini bentuk loyalitas? Atau pemaksaan terstruktur untuk menjaga citra penguasa?
Demokrasi Membusuk Jika Kritik Diubah Jadi Musuh, Jika semua kritik dianggap serangan, dan semua ASN dijadikan perisai digital kekuasaan, maka kita sedang menyaksikan Matinya ruang dialog yang sehat, Tumbuhnya iklim ketakutan di internal birokrasi, Dan digunakannya jabatan sebagai alat propaganda, bukan pelayanan.
Hentikan penggunaan ASN dan tim protokoler sebagai buzzer politik lokal. Kembalikan fungsi media sosial Pemkab sebagai kanal informasi, bukan medan pembelaan pejabat. Evaluasi etika komunikasi publik di bawah kendali Bupati DRY.
Bentuk tim independen etik dan pengawasan netralitas ASN Kuningan
Demokrasi Butuh Kritik, Bukan Komando Like & Share, Kami tidak mempersoalkan Bupati punya tim media, tapi ketika birokrasi digiring jadi pasukan medsos, maka yang terjadi bukan pemerintahan tapi penguasaan wacana.
Rakyat tidak butuh pegawai negeri yang jadi pembela kekuasaan.
Rakyat butuh aparatur yang berdiri netral, profesional, dan melayani siapa pun tanpa instruksi politik.
Oleh: Genie Wirawan Rafi, Aktivis HMI