KUNINGAN(MASS)- Kenaikan harga kedelai impor, saat ini menjadi hambatan bagi para produsen tahu dan tempe di Indonesia.
Hal ini akan berimbas meningkatnya harga jual tahu tempe secara signifikan. Selain itu , dampak pandemi Covid-19 juga menyebabkan pasar global kedelai saat ini mengalami guncangan akibat tingginya ketergantungan impor.
Peluang ini pun dimanfaatkan Kementan untuk meningkatkan pasar kedelai lokal dan produksi kedelai dalam negeri yakni dengan mengandeng Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia ( Gakoptindo) , Gabungan Kelompok Tani serta investor dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Ini dilakukan , untuk meningkatkan kemitraan produksi maupun memaksimalkan pemasaran serta penyerapan kedelai lokal milik petani .
Kementan pun memfasilitasi nota kesepahaman ( MoU) antara Gakoptindo dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) serta investor, dengan Ditjen Tanaman Pangan, yang berlangsung di Kantor Kementerian Pertanian, pada Senin (4/1/2021).
Sementara salah satu yang mengikuti MoU tersebut adalah Gapoktan Cinta Asih Desa Cibulan Kecamatan Cidahu.
Sekadar informasi Desa Cibulan merupakan wilayah yang berpotensi sebagai penghasil kedelai di Kabupaten Kuningan .
Dan cukup produktif untuk dapat berkontribusi dalam penyediaan kedelai lokal, untuk memenuhi kebutuhan para pengrajin tahu tempe, baik di Wilayah Ciayumajakuning, maupun di Indonesia pada Umumnya.
Hadir pada acara Rapat Koordinasi dan MoU pengembangan serta pembelian kedelai nasional , Menteri Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan, Direktur AKABI, Direktur PPHTP, Ketua Gakoptindo Pusat,dan beberapa Investor, untuk sama sama membuat kerjasama dalam percepatan penyerapan kedelai lokal.
Sehingga kebutuhan para pengrajin tahu tempe sebagai pelaku UMKM tetap eksis dalam meningkatkan pemulihan ekonomi Nasional pada kondisi pandemi COVID-19 yang masih belum berakhir.
Pada kesempatan tersebut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menegaskan , bahwa produksi kedelai dalam negeri harus dipacu untuk pemenuhan permintaan domestik, sehingga ke depan dapat dipenuhi secara mandiri.
Pasalnya, kebutuhan kedelai setiap tahun makin bertambah dan pemerintah terus berupaya menekan impor kedelai yang hingga saat ini masih tinggi.
“Kondisi ini menyebabkan pengembangan kedelai oleh petani sulit dilakukan. Petani lebih memilih untuk menanam komoditas lain yang punya kepastian pasar,” ujanrya.
Tapi pihaknya terus mendorong petani untuk melakukan budi daya. Program aksi nyatanya kami susun dan yang terpenting hingga implementasinya di lapangan . Sekali lagi kami akan fokus melipatgandakan produksi atau ketersediaan kedelai dalam negeri. Produksi kedelai dalam negeri harus bisa bersaing baik kualitas maupun harganya melalui perluasan areal tanam dan sinergi para integrator, unit-unit kerja Kementan dan pemerintah daerah,” tandas Syahrul.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Suwandi menambahkan, faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga kedelai impor yakni ongkos angkut yang juga mengalami kenaikan. Waktu transportasi impor kedelai dari negara asal yang semula ditempuh selama 3 minggu juga menjadi lebih lama yaitu 6 hingga 9 minggu.
“Saat ini harga kedelai tembus Rp 9.200 sampai lebih dari Rp10.000 per kg, padahal harga normal komoditas tersebut biasanya berada di angka Rp6.500-Rp7.000 per kg,”
Suwandi menambahkan tingginya impor kedelai bukan semata-semata karena faktor produksi. Namun demikian, hal tersebut terjadi karena disebabkan kondisi kedelai merupakan komoditas nonlartas (dilarang dan dibatasi) atau bebas impor berapapun volumenya tanpa melalui rekomendasi Kementan.
Harga kedelai yang saat ini terjadi kenaikan cukup signifikan sekitar 35 persen merupakan dampak pandemi COVID-19, terutama produksi di negara-negara produsen seperti Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Rusia, dan Ukraina.
“Harga kedelai impor yang selama ini digunakan oleh perajin tahu tempe di negara asal sudah tinggi, sehingga berdampak kepada harga di Indonesia menjadi lebih tinggi lagi,” kata Suwandi. (agus/rls)