KUNINGAN (MASS) – Kuningan dikenal damai dan terbuka terhadap keberagaman. Tapi pertanyaannya, apakah itu hasil dari visi bersama seperti masyarakat Madinah zaman Nabi Muhammad, atau justru toleransi yang membiarkan semua berjalan sendiri-sendiri? Sebuah refleksi tajam muncul dalam podcast Kuningan Mass bersama pejabat Kementerian Agama RI.
Melalui Kasubdit Bina Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Kementerian Agama RI, Dedi Slamet Riyadi, dalam podcast Kuningan Mass yang tayang Kamis (12/6), membahas keberagaman masyarakat Kuningan.
Dedi mengangkat perbandingan antara strategi Nabi Muhammad SAW dalam membentuk masyarakat madani di Madinah dengan kondisi sosial keagamaan saat ini. Menurutnya, Nabi membangun Madinah sebagai rumah bersama, bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk kelompok Yahudi, musyrik, dan berbagai etnis lainnya, melalui visi politik dan sosial yang inklusif.
“Semua kelompok saat itu disatukan oleh konsep: kamu warga Madinah, maka kamu harus membela Madinah. Bukan hanya membela Islam,” kata Dedi.
Pada konteks Kuningan, Dedi menilai keberagaman merupakan kekayaan yang harus dijaga, bukan sekadar ditoleransi secara pasif. Toleransi yang sehat, menurutnya, bukan membiarkan segala perbedaan tanpa dialog, tapi membuka ruang kolaborasi dan saling memahami.
“Toleransi itu bukan berarti membiarkan orang lain dengan keyakinannya tanpa komunikasi. Dakwah tetap jalan, syiar tetap hidup, tapi tanpa paksaan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan, banyak konflik agama yang muncul justru karena ketakutan berlebihan terhadap perbedaan, bukan karena perbedaan itu sendiri. Solusinya, menurut Dedi, bukan penyeragaman keyakinan, tapi penguatan akidah internal setiap komunitas tanpa merusak ruang publik bersama.
Dedi mencontohkan peran negara yang harus imparsial dalam menjamin kebebasan beragama, bahkan ketika menghadapi kelompok yang sering kali dianggap menyimpang oleh arus utama.
“Saya negara. Tugas saya bukan membela satu kelompok, tapi memastikan semua warga negara punya hak konstitusional yang dijamin,” tegasnya.
Keberagaman, kata Dedi, bisa menjadi magnet kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya jika dikelola secara cerdas dan terbuka.
“Kalau Madinah jadi mercusuar Islam karena keberagamannya dikelola dengan visi, maka Kuningan pun bisa jadi simbol harmoni, asal jangan dibiarkan berjalan sendiri-sendiri,” pungkasnya.
Selengkapnya, yuk tonton videonya di bawah ini :