KUNINGAN (MASS) – Alih fungsi lahan menjadi isu yang semakin penting dalam konteks pembangunan daerah, terutama berkenaan dengan pengaruh modernisasi terhadap Warisan Budaya Sunda. Dalam tradisi Sunda, konsep tri tangtu yang menghormati keseimbangan antara gunung, hutan, dan air menjadi landasan penting yang harus dijaga. Namun menurut pengamat Lingkungan sekaligus akademisi, Andri berpendapat dalam lanskap modern, prinsip-prinsip ini harus tercermin dalam tata ruang dan tata wilayah yang berkelanjutan.
Kebutuhan manusia di era modern seringkali memaksa adanya kawasan khusus untuk industri. Namun, di balik kebutuhan tersebut, sangat krusial untuk tetap memiliki area konservasi yang melindungi warisan alam dan budaya.
“Jika kita mengabaikan tri tangtu, kita harus bertanya, nilai apa yang akan kita pegang dalam pembangunan ini?” ujar Andri kala diwawancara kuninganmass.com pada Kamis (13/11/2025).
Prinsip tri tangtu tersebut menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam. Gunung, sebagai simbol kekuatan dan spiritualitas, hutan sebagai sumber kehidupan, dan air sebagai penopang segala aktivitas, adalah tiga pilar yang harus dihormati. Tanpa keseimbangan ini, ada risiko besar yang mengancam kelangsungan ekosistem dan kehidupan masyarakat.
Dalam konteks pembangunan ekonomi hijau, alih fungsi lahan tidak selalu berarti merusak lingkungan. Pemanfaatan yang bijaksana dan ramah terhadap alam seharusnya menjadi prioritas. “Semakin kita maju, semakin kita harus kembali kepada prinsip-prinsip yang menghargai lingkungan,” jelasnya.
Tak bisa dipungkiri industrialisasi menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat modern. Namun, jika tidak diimbangi dengan konservasi budaya dan alam, masyarakat akan kehilangan warisan luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang.
“Kita perlu merencanakan tata ruang yang mempertimbangkan keberadaan tri tangtu agar bisa berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan,” tuturnya.
Pengembangan area industri yang ramah lingkungan merupakan solusi yang patut diperhatikan. Misalnya, menciptakan kawasan industri berbasis agroekologi yang dapat mendukung perekonomian tanpa merusak keutuhan alam.
“Iya dalam hal ini, pembangunan infrastruktur harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih holistik serta mengutamakan konservasi lahan,” tambahnya.
Melalui edukasi dan kesadaran masyarakat, akan muncul kesepahaman melestarikan tri tangtu bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab setiap individu. Dalam hal ini, pendekatan kolaboratif antara berbagai pemangku kepentingan sangat penting untuk menjamin perkembangan ekonomi tidak mengorbankan tradisi dan lingkungan.
Kebangkitan konsep ekonomi hijau tidak hanya menuntut perubahan dalam pemanfaatan sumber daya, tetapi juga menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan. “Kita tidak hanya membutuhkan industri, tetapi juga budaya dan alam yang indispensable untuk kesejahteraan kita,” pungkasnya. (raqib)






















