KUNINGAN (MASS) – Rasanya nilai keadilan di negeri ini kian hari semakin memudar. Seiring dengan memudarnya sikap tak acuh para pemangku kepentingan di singgasana.
Setidaknya setiap minggu ada saja berita yang membeberkan kejadian-kejadian yang begitu memilukan. Terlebih menyangkut kekerasan seksual yang merenggut hak hidup dan kebebasan seseorang.
3 hari lalu, ramai diperbincangkan seorang pelaku pemerkosaan juga eksploitasi seksual berniat menikahi korban, alih-alih dipenjara. Tarik nafas panjang ketika baca berita ini, ingin marah juga menangis sekaligus. Sebegitu mudahnya manusia biadab ini menganggap masalah serius dengan jawaban “nikahi”.
Apakah pelaku ini tau konsekuensi dari menikah?? Kehidupan yang menyatukan dua orang yang begitu berbeda. mungkin bisa saja kehidupan pernikahan ini menjadi hukuman sosial juga moral pelaku dengan harus bertanggungjawab kepada keluarga.
Tetapi itu tentu saja bukan untuk meniadakan norma hukum atas suatu perbutan pidana bukan?
Apa dan siapa yang dapat menjamin jika pelaku tidak melakukan hal yang sama pasca ijab qabul? Bukankah itu lebih berpotensi terjadinya marital rape dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya yang berkepanjangan?
Oooh sungguh aku tidak bisa membayangkan seberapa banyak dampak buruk yang akan terjadi pada keluarga kecil itu.
Tolong. kita semua tidak bisa menutup mata untuk peristiwa menyeramkan semacam ini terjadi dilingkungan kita. Setidaknya kita memiliki pemimpin dan wakil yang seharusnya peduli tentang hal ini.
Aku rasa mulai sekarang setiap orang dapat dengan mudah membagian peristiwa seperti ini kepada publik tentu saja dengan tetap memperhatikan hak privasi korban juga pelaku.
Sudah banyak orang yang mulai sadar dan peduli dengan pelecehan yang terjadi ditempat umum maupun privat, lalu melaporkannya. Namun apakah ini membuat para pembuat kebijakan sadar apa yang harus mereka lakukan??
Ternyata tidak yorobuun.. tidak.
Menurut data catahu 2020 Komnas Perempuan yang diterbitkan tanggal 5 Maret 2021 mencatat bahwa selama tahun 2020 terdapat 299.911 kasus, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang tercatat sebanyak 431.471 kasus.
Hal ini dikarenakan kuesioner yang kembali menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner sejumlah 239 lembaga, sedangkan tahun ini hanya 120 lembaga.
Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020 (sumber: Catahu 2020 komnas perempuan)
Sudah menjadi rahasia umum jika kasus sejenis kekerasan seksual menjadi seperti bongkahan gunung es. Yang terlihat hanya sebatas pada seberapa orang melaporkan dan membuat catatan serta kuesioner. Sungguh ironi sekali.
Lebih tidak terhitung lagi jika para pelaku dan korban pemerkosaan ataupun kekerasan seksual lainnya di nikahkan tanpa dilakukan proses hukum. Apa yang akan terjadi yorobun??
Dari sekian jumlah data yang disajikan oleh komnas perempuan tiap tahunnya, tidak sedikitpun membuat gatal hati para mebuat kebijakan untuk segera mengesahkan produk hukum yang melindungi hak-hak korban kekerasan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan seksual diantaranya.
Sejak awal perjalanannya tahun 2016 RUU P-KS selalu mengalami pasang surut untuk mendapat restu. Masuk prolegnas lalu dikeluarkan, masuk lagi lalu dikeluarkan. Begitu seterusnya. Tapi untungnya saat ini RUU P-KS masuk dalam Prolegnas 2021. Dan para aktivis perempuan masih harus selalu memantau apa kelanjutan dari cerita panjang perjalanan RUU P-KS ini.
Kami tidak berharap wakil-wakil rakyat di daerah mengikuti jejak-jejak leluhur mereka di pusat dengan melakukan pasang surut regulasi penghapusan kekerasan seksual. Atau bahkan memang daerah tidak memiliki program legislasi daerah khususnya untuk perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan?
Untuk kasus kekerasan seksual yang terjadi Kuningan sejak tahun lalu setidaknya dilaporkan tercatat sebanyak 9 kasus. Untuk yang hanya melakukan konsultasi bisa saja puluhan bahkan ratusan.
Angka tingkat kekerasan seksual yang tercatat memang terbilang kecil, namun Ini bukan hanya sekedar angka yang dapat diabaikan,melainkan soal tanggungjawab secara hukum dan moral.
Saat ini korban kekerasan seperti buih yang dibiarkan begitu saja tanpa perhatian untuk bagaimana memulihkan mentalnya. Dibiarkan mengeluarkan biaya sendiri untuk melakukan visum sebagai bukti kekerasan, dan tidak difasilitasi rumah aman. Lalu kemana mereka harus pergi jika pelakunya berasal dari keluarga?
Mungkin ini yang harus jadi perhatian oleh pemerintah daerah Kuningan. Perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan melalui regulasi sebagai bentuk dari realisasi kabupaten ramah anak.
Telah duduk di bangku dewan perwakilan rakyat daerah 50 orang terpilih untuk mewakili suara rakyat Kuningan, yang diantaranya adalah 11 orang perempuan luar biasa yang menjadi representasi perempuan-perempuan kuningan juga menjadi ibu bagi seluruh anak di kuningan, dan ah ya 39 orang laki-laki di gedung sana layaknya ayah bagi semua anak di Kuningan, tidak bisakah sekali saja dalam setahun membicarakan issue kekerasan seksual di Gedung sana??
Setelah diamati sejak dilantiknya menjadi wakil rakyat, ternyata setidaknya terdapat 14 peraturan daerah (perda) yang dibentuk ataupun dilakukan perubahan. Tapi itu secara keseluruhan merupakan regulasi yang begitu banyak mengandung mata air, percuanan. Padahal rakyat Kuningan butuh kepekaan wakilnya. hmmm
Sekali… saja dalam setahun, tolong angkat issue kekerasan seksual di rapat komisi dan paripurna. sebagai salah satu bukti, bahwa kalian tidak mengabaikan masyarakat.
Yooook bisa yoook……….. bikin prolegda dan bahas kekerasan seksual di Gedung rakyat kuningan yoook.****
Penulis : Nida Nurkholillah
Aktifis Perempuan Kuningan