KUNINGAN (MASS) – Peserta pemilu baik capres-cawapres, parpol, caleg, calon DPD dan tim kampanye perlu memperhatikan larangan kampanye penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Sebab larangan tersebut berkonsekuensi hukum mulai dari ancaman penjara sampai pembatalan peserta pemilu.
“Polemik yang saat ini berkembang terkait dengan aturan yang tidak pernah berubah. Dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada. Aturannya sama, bahwa peserta pemilu (capres-cawapres, parpol, calon DPD, Caleg, tim kampanye) dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,” tegas Komisioner Bawaslu Kuningan, Abdul Jalil Hermawan, Senin (15/10/2018).
Larangan ini diatur dalam UU 7/2017 pasal 280 ayat (1) huruf h. Sanksinya pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta sesuai dengan bunyi pasal 521. Menurut Jalil, sanksi tersebut bersifat akumulatif yakni dikenai dua sanksi sekaligus.
“Karena ada kata “dan” diantara dua jenis sanksi itu, bukan “atau” yang berimplikasi alternatif, atau dijatuhi hanya salah satu sanksi saja,” jelasnya.
Tidak berhenti di situ. Sanksi pidana ini diikuti dengan sanksi administratif berikutnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 285. Yaitu berupa pembatalan sebagai caleg, atau pembatalan sebagai calon terpilih. Syaratnya, setelah sanksi pidana itu berkekuatan hukum tetap.
Namun dalam penjelasan Pasal 280 juga ada semacam “dispensasi” atau “diskon” atas larangan ini. Yaitu jika tanpa atribut kampanye, dan atas undangan tuan rumah.
“Apakah kandidat (capres, cawapres, caleg, calon DPD) sama sekal i tidak boleh datang ke tempat pendidikan dan tempat ibadah? Tentu saja boleh. Misalnya, caleg datang ke suatu lembaga pendidikan untuk menghadiri rapat wali murid (karena anaknya sekolah di situ) atau wisuda istrinya. Atau, dalam suatu perjalanan, seorang capres mampir ke sebuah masjid karena sudah masuk waktu sholat,” paparnya.
Artinya, imbuh Jalil, tidak semua kegiatan kandidat di tempat pendidikan dan tempat ibadah lantas disebut kampanye.
“Sepanjang tidak menyampaikan ajakan atau kalimat-kalimat lain, bahasa tubuh, simbol-simbol, dan aktivitas (misal menyebar bahan kampanye) yang menunjukkan atau menyiratkan adanya ajakan untuk memilih atau tidak memilih salah satu peserta pemilu, menurut saya kedatangan mereka itu sama sekali tidak masalah,” pungkasnya. (deden)