KUNINGAN (MASS) – Ikhlas adalah bentuk tertinggi dari penerimaan. Saat kita ikhlas, kita tidak lagi menggantungkan kebahagiaan pada hasil atau pengakuan orang lain. Kita melangkah karena tahu bahwa apa yang kita lakukan berasal dari niat yang baik, dan apapun hasilnya, harus siap menerimanya dengan lapang dada.
Mengapa ikhlas membuat langkah terasa ringan?
Karena ikhlas membebaskan hati dari beban. Dengan ikhlas, kita mengubah cara pandang. Ikhlas juga mendewasakan kita. Kita belajar bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan, dan itu it’s okay tidak apa-apa. Yang penting adalah niat, usaha, dan sikap kita dalam menjalaninya. Tentu saja, ikhlas tidak lahir dalam sekejap. Ia butuh latihan, proses, dan ketulusan.
Salah satu contohnya adalah ikhlas dalam mendidik tanpa pamrih. Mengajar bagaikan jalan sunyi yang penuh pengabdian. Dalam prosesnya, tidak jarang seorang guru dihadapkan pada rasa lelah, kurang penghargaan, bahkan tantangan dari berbagai arah.
Namun, saat seseorang ikhlas berbuat karena panggilan hati, karena niat baik, dan karena sadar bahwa ilmu adalah titipan yang harus dibagikan.
Mengutip hadits Rasulullah saw, ” Jika seseorang telah wafat, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; sedekah yang pahalanya terus mengalir, ilmu yang dimanfaatkan (diamalkan dan diajarkan) dan anak saleh yang mendoakannya”. Berpijak pada hadits tersebut yang terus diingat ketika berbagi ilmu, “maksudnya adalah ilmu yang bertujuan mengetahui keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan kekuasaan Allah atas segala sesuatu. Inilah yang mendekatkan manusia kepada-Nya”
Semakin banyak kita menemui anak-anak atau orang dewasa saat mengajar mengaji, maka akan semakin mengenal ciptaan Allah, sangat beragam. Tiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dan cara menghadapinya tak sama. Mungkin inilah kelebihan mengajar.
Teringat apa yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga.”
Salah satu kyai pondok saya pernah berkata “Kalau mau diikuti, dunia ini tak akan ada habisnya, malah kita selalu merasa tak puas, selalu kurang. Dulu itu yang saya rasakan, sebelum memutuskan menjadi guru mengaji. Ternyata hidup yang tenang bukan karena berlimpah nya materi, tapi sebab mensyukuri apa yang ada dan ikhlas atas segala sesuatu.”
Dalam budaya Jawa, ada peribahasa yang sangat menggugah:
> *”Urip ora njaluk, mati ora daftar.”*
> (Hidup tidak diminta, mati tidak didaftar.)
Peribahasa ini mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah anugerah, bukan sesuatu yang kita minta. Demikian juga dengan kematian, ia datang tanpa bisa kita jadwalkan. Maka selama hidup ini, selayaknya kita mengisinya dengan hal-hal bermakna. Salah satunya, dengan mengajar sepenuh hati.
Saat seorang guru menanam ilmu dengan ikhlas, meski tak selalu langsung tampak hasilnya, percayalah bahwa benih itu tumbuh di dalam hati muridnya. Dan suatu hari, benih itu akan menjadi pohon kebaikan yang rindang—menjadi amal jariyah yang terus mengalir meski sang guru telah tiada.
Hidup Sekadarnya, Berbuat Sebaiknya
“Urip ora njaluk, mati ora daftar” bukan ajakan untuk pasrah tanpa usaha. Justru sebaliknya, ia mengingatkan kita untuk tidak sombong, tidak lalai, dan tidak menunda kebaikan. Karena hidup ini singkat, dan kematian itu pasti. Bukan untuk dunia semata, tapi untuk bekal ketika kelak nama kita dipanggil—tanpa sempat mendaftar. melangkahlah dengan ikhlas. Karena saat hati ringan, jalan pun terasa lapang.
Oleh: Faridatun Marifatussolihah – Hukum Ekonomi Syari’ah (MUAMALAH)
Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Husnul Khotimah
