KUNINGAN (MASS) – Akhir-akhir ini kita menyaksikan permainan kekuasaan sangat kentara terus mencoba merekayasa arah politik elektoral agar hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 sesuai dengan selera penguasa yang sedang bertakhta.
Sangat miris memang. Kekuasaan yang dititipkan dengan tulus oleh rakyat Indonesia kepada Presiden Jokowi lebih kurang sembilan tahun lalu, pada akhirnya digunakan untuk melanggengkan ambisi kekuasaan, dengan cara-cara yang tidak lagi menghormati kedaulatan rakyat. Etika politik ditabrak, rambu-rambu moral demokrasi diabaikan.
Sejarah membuktikan bahwa Indonesia pernah tercatat mengalami kesulitan keluar dari siklus penyalahgunaan kekuasaan seperti pada masa Orde Baru yang membuat sejarah negeri ini akhirnya hanya didominasi oleh cerita penguasa-penguasa yang berusaha untuk tetap berkuasa dengan menghalalkan segala cara.
Kekuasaan dimainkan dan direkayasa untuk membuat kebebasan politik masyarakat kehilangan pengaruh di dalam menentukan arah politik negeri ini.
Lihat saja, sejak awal Presiden Jokowi dengan santai mengabaikan banyak prinsip-prinsip etika politik, terutama terkait dengan keputusan membiarkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka ikut ke dalam arena kontestasi Pilpres 2024.
Keputusan membiarkan, bahkan mendukung, tindakan Gibran tersebut sebenarnya secara moral adalah pelanggaran etika politik paling besar yang dilakukan Presiden Jokowi, karena membuka jalan bagi lahirnya dinasti politik baru di negeri ini yang didukung langsung tanpa tedeng aling-aling oleh jejaring kekuasaan yang sedang berkuasa saat ini.
Pelanggaran etika tersebut menjadi justifikasi bagi presiden untuk melakukan pelanggaran etika lainnya sampai pemilihan umum selesai, termasuk soal pernyataan “off side” presiden yang mengatakan bahwa presiden boleh ikut berkampanye, boleh memihak dan sejenisnya, meskipun tidak memakai fasilitas negara.
Pertanyaannya, apakah pernyataan Presiden Joko Widodo ini dapat dibenarkan baik dari sudut pandang hukum maupun etika?
Pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu. Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya? Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri.
Presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat. Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu.
Presiden adalah pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan untuk semua kontestan. Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat.
Sumpah jabatan penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada Pancasila dan UUD tahun 1945. Kesetiaan ini harus diwujudkan dalam segala aktivitasnya.
George W. Bush atau Bush Yunior tak pernah terlibat dalam kampanye John McCain untuk melawan Obama tahun 2008.
Obama pun sama. Obama tak pernah menunjukkan sikap keberpihakan secara terbuka untuk Hillary Clinton, karena ia mengetahui bahwa statusnya sebagai kepala negara, kepala Pemerintahan, dan panglima tertinggi, tak akan benar-benar bisa dilepaskan. Etika politiknya memang demikian.
Masalahnya dengan pernyataan Presiden Jokowi tersebut adalah bahwa ada banyak fasilitas negara yang tidak bisa lepas dari seorang presiden, dalam kondisi apapun, termasuk kondisi kampanye menjelang pemilihan umum.
Nah, karena banyak fasilitas negara yang melekat atau tidak bisa dilepaskan dari seorang presiden, dalam kondisi apapun, karena itulah mengapa seorang presiden tak boleh memihak dan berkampanye.
Artinya, tidak mungkin melepaskan “Jokowi” secara personal dari jabatannya sebagai presiden, karena ia masih menjabat.
Penggunaan kata presiden boleh berkampanye saja sudah salah secara etika dan etimologis, apalagi mempraktikkannya secara terang-terangan.
Lalu, belum usai soal kontroversi presiden boleh berkampanye, Jokowi kembali menggemparkan publik dengan pemberian bantuan sosial (Bansos) dadakan atas nama mitigasi risiko tekanan ekonomi. Angkanya mendadak naik, waktunya dikebut.
Bantuan sosial (Bansos) yang seharusnya enam bulan, dikebut dalam sekali pencairan. Secara etika, kebijakan semacam ini adalah pelanggaran etis yang akut dan sangat serius. Tak ada angin tak ada hujan, kebijakan berubah mendadak.
Walhasil, kebijakan bansos berpeluang menjadi instrumen “pork barrel politic”, yakni memakai anggaran negara untuk program dan kebijakan sosial kesejahteraan, baik dalam skala lokal maupun nasional, yang menguntungkan salah satu paslon secara elektoral. Di sinilah masalah itu muncul dan mulai dipersoalkan oleh banyak pihak.
Karena itulah mengapa Cawapres Mahfud MD yang berpasangan dengan Capres Ganjar Pranowo mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menkopolhukam RI. Sudah semestinya para paslon Capres dan Cawapres harus nonaktif dari segala jabatannya di pemerintahan, agar tidak terjadi “spill over” elektoral dari kebijakan pemerintah yang menggunakan anggaran negara.
Itu pula kenapa seorang presiden, yakni presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, seharusnya berposisi netral, agar pemilihan umum berada pada level playing field yang sama untuk semua paslon alias tidak ada calon yang menjadi “free rider” atas kebijakan bansos pemerintah.
Pendeknya, Jokowi sebagai presiden sama sekali sudah abai pada etika politik di dalam negara yang tercatat sebagai negara demokrasi terbesar kedua di Asia setelah India, demi memastikan keberlanjutan kekuasaannya kepada paslon yang ia inginkan, di mana anak sulungnya menjadi calon wakil presiden.
Apa yang dipertontonkan Presiden Jokowi, sudah mulai ditiru oleh anaknya di dalam dua kali debat cawapres. Etika politik dalam berdebat dengan orang yang lebih tua dilewati begitu saja.
Sikap Gibran terlihat sangat merendahkan lawan debatnya yang notabene jauh lebih tua dan lebih senior. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Tentu tidak ada kata terlambat kalau mau memperbaiki diri. Presiden bisa menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
Mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara (TNI/Polri/ASN). Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara.
Meminta dan mendesak kepada segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi dengan mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.***
Kuningan, 1 Februari 2024
Uha Juhana
Pembina Relawan
Ganjar Mania Kuningan