KUNINGAN (MASS) – Mantan Ketua PMII Kuningan, Evi Novianti, baru saja yang mengisi materi yang diselenggarakan oleh LSM Women’s Empowerment Indonesia pada malam kemarin (2/7/2023) kemarin.
Evi, menjadi salah satu pemateri bersama perempuan lainnya, Allya. Mereka, sama-sama mengisi seminar daring yang diikuti oleh berbagai kalangan, mahasiswa dan umum.
Materi yang diangkat, berkenaan dengan pesta demokrasi yang akan digelar pada tahun 2024 mendatang.
Evi, yang juga bagian dari pengurus yayasan Rumah Ramah Nusantaran (RRN) memaparkan dalam seminar itu bahwa salah satu yang perlu diperjuangkan di negara demokratis adalah peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik.
“Peran mereka cukup signifikan untuk memfasilitasi kepentingan perempuan. Peran politik perempuan merupakan suatu wujud nyata dari eksistensi perempuan dalam perpolitikan di Indonesia,” papar Evi.
Ia menjelaskan, berdasarkan hasil Pemilu tahun 2019, keterwakilan perempuan di legislatif nasional (DPR RI) hanya mencapai dengan persentase 20,8% atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI.
Ia menegaskan, hadirnya kebijakan afirmasi 30% harus menjadi peluang bagi perempuan untuk dapat berperan dan berkontribusi di ranah politik. Namun faktanya, lanjut Evi, keterwakilan perempuan di parlemen belum mendapatkan respon yang cukup bagus dari masyarakat dan juga partai politik
“Sejatinya, keterlibatan perempuan di ranah politik bertujuan mengatasi permasalahan ataupun isu-isu yang mendiskriminasikan kelompok perempuan, termasuk kasus kekerasan yang setiap tahunnya selalu meningkat signifikan. Meningkatkan partisipasi kaum perempuan di parlemen sehingga mampu mempengaruhi pengambilan keputusan dan bisa memastikan apa yang menjadi keputusan memang berpihak kepada kepentingan perempuan” jelas Evi.
Ia menyampaikan, Catatan Tahunan 2022 yang dirilis oleh Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa terjadi berbagai bentuk kekerasan yang menimpa kepada perempuan, diantaranya kekerasan fisik, psikis, seksual bahkan ekonomi.
Sedangkan, lanjutnya lagi, kekerasan yang terjadi paling tinggi berada di ranah personal dengan persentase 61%. Kekerasan di ranah publik memperoleh sebesar 37% dan kekerasan di ranah politik sebesar 2%
“Hadirnya perempuan di parlemen akan mendorong kebijakan yang diarahkan untuk
menurunkan bahkan menghentikan kekerasan, diskriminasi dan ketidakadilan yang selalu diterima oleh kaum perempuan dan anak-anak atau melahirkan sebuah regulasi yang responsif gender,” tutur Evi.
Permasalahan sekarang adalah kebijakan saat ini, sambungnya, cenderung kurang berpihak pada keadilan gender dalam kerangka desentralisasi. Ia, kemudian mengungkit penjelasan dari Komnas Perempuan Republik Indonesia yang mengatakan bahwa masih banyak regulasi yang ada cenderung memiliki substansi diskriminatif bagi kaum perempuan.
“Untuk itu, perlunya mendorong perempuan untuk ikut serta berperan dan berkontribusi di ranah politik maupun di parlemen. Keterlibatannya akan terlaksananya pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional sehingga terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program yang berperspektif gender,” jelasnya. (eki)