KUNINGAN (MASS) – Perjalanan Muhammad Ibnu Fadhil dalam menemukan Islam bukanlah perjalanan yang singkat dan mudah. Sebelumnya, telah dibahas bagaimana seorang mantan penginjil itu menghabiskan waktu 2 tahun 6 bulan untuk mencari kebenaran sebelum akhirnya mengikrarkan syahadat di Masjid Kesultanan Maulana Hasanuddin, Banten. Namun, ada satu hal menarik dalam perjalanannya, ia justru mulai tertarik dengan Islam bukan karena membaca Al-Qur’an terlebih dahulu, melainkan karena mendapat doktrin bahwa Islam adalah agama yang keras.
Berangkat dari rasa ingin tahu, ia memutuskan untuk mendalami Islam lebih jauh. Dari sana, ia menemukan sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan apa yang selama ini ia yakini. Islam bukanlah agama kekerasan, melainkan agama yang penuh dengan kasih sayang dan kedamaian.
Sebelum memeluk Islam, Muhammad Ibnu Fadhil aktif sebagai penginjil dan memiliki tugas menyebarkan ajaran Kristiani. Dalam proses tersebut, ia sering mendapat pembekalan dari seniornya mengenai Islam. Namun, yang menarik, pembekalan tersebut justru lebih banyak berisi narasi negatif tentang Islam.
“Saya diberitahu bahwa Islam itu agama kekerasan, bahwa Islam mengajarkan pembalasan yang lebih menyakitkan jika seseorang disakiti. Namun, saya tidak langsung menerima begitu saja. Saya ingin tahu lebih dalam,” ujarnya dalam podcast bersama Kuningan Mass, Selasa (18/3/2025).
Rasa penasarannya membawanya untuk mempelajari Islam lebih jauh. Ia mulai membaca buku-buku Islam dan mencari referensi lain untuk menggali kebenaran dari ajaran yang selama itu dianggap keras. Dalam pencariannya, ada satu hadis Nabi Muhammad SAW yang sangat membekas di hatinya dan mengubah cara pandangnya terhadap Islam:
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Dari hadis tersebut, Muhammad Ibnu Fadhil menyadari bahwa Islam sejatinya adalah agama kasih sayang.
“Bagaimana mungkin sebuah agama yang mengajarkan cinta dan persaudaraan bisa disebut sebagai agama kekerasan?” pikirnya saat itu.
Ia pun semakin dalam mempelajari ajaran Islam dan menemukan bahwa Islam mengajarkan kelembutan dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari hubungan antar sesama manusia hingga tata cara dalam berdakwah.
Muhammad Ibnu Fadhil memahami kesalahpahaman tentang Islam sering kali terjadi karena narasi yang dibentuk oleh pihak-pihak tertentu. Media dan pengalaman individu yang tidak mendalam sering kali menjadi penyebab utama mengapa Islam dicap sebagai agama kekerasan.
“Ada orang-orang yang mengklaim membela Islam dengan cara yang tidak benar. Itu yang sering disalahartikan oleh orang luar. Padahal, Islam sendiri menekankan kelembutan dalam menyampaikan dakwah,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa di dalam Al-Qur’an dan hadis, ada banyak ajaran yang menekankan pentingnya menjaga kedamaian, bahkan terhadap orang yang berbeda keyakinan.
Seiring semakin dalamnya pemahaman Muhammad Ibnu Fadhil terhadap Islam, ia menyadari Islam bukan hanya untuk umat Muslim, tetapi merupakan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
“Islam tidak hanya mengajarkan hubungan yang baik dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam dan seluruh makhluk hidup. Itulah keindahan Islam yang selama ini tidak saya lihat sebelumnya,” jelasnya.
Dalam Islam, ada begitu banyak ajaran yang menekankan nilai-nilai kasih sayang, seperti larangan menyakiti orang lain, anjuran memberi makan fakir miskin, dan kewajiban menjaga lingkungan. Muhammad Ibnu Fadhil berharap agar masyarakat, khususnya yang masih ragu terhadap Islam, bisa mencari tahu tentang Islam dari sumber yang benar.
“Jika ingin mengenal Islam, jangan hanya melihat perilaku segelintir orang. Pelajarilah langsung dari Al-Qur’an dan hadis. Jika kita mau membuka hati dan pikiran, kita akan menemukan bahwa Islam adalah agama yang indah,” pesannya.
Kini, sebagai seorang Muslim, ia merasa bertanggung jawab untuk meluruskan kesalahpahaman tentang Islam dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian dan cinta kasih. (argi)
Tonton selengkapnya disini :
