bismillah
IJTIHAD Politik Kontemporer
KUNINGAN (MASS) – Bahwa secara bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran.
Secara istilah, Imam al-Jurzani dalam kitabnya “al-Ta’rifat“, mendefinisikan ijtihad sebagai “upaya yang sungguh – sungguh dalam mencapai suatu tujuan dengan cara mendalami dengan hati-hati penggalian dalil.’’
Dalam perspektif Imam al-Mawardi dan Imam al-Ghazali, kekuasaan ditegakkan bukan untuk meraih kulit luarnya, melainkan isinya, yaitu kemaslahatan dunia dan agama.
Dalam Kitab “Ihya ‘Ulumuddin”, Imam al-Ghazali mengatakan:
’’Kemaslahatan itu terkait agama dan dunia….Agama dan kekuasaan ibarat dua saudara yang tidak bisa dipisahkan.”
Ruang lingkup ijtihad ialah “permasalahan yang tidak diatur secara tegas dalam nash Al-Qur’an maupun Hadits, dan belum ada kesepakatan ulama tentangnya” (Ali Hasballah, “Metode Istinbat Hukum Islam Kontemporer”).
Kini ruang lingkup wilayah ijtihad tidak lagi hanya dalam persoalan ibadah dan muamalah, tetapi sudah melebar pada ranah siyasah atau politik.
Ijtihad politik kontemporer dibutuhkan untuk merespon berbagai persoalan baru yang muncul sebagai konsekwensi logis dari hubungan antara Agama dengan politik.
Politik kontemporer di Indonesia, baik dalam rangka Pilpres, Pileg, maupun seperti Pilkada serentak 2024 nampak jelas melahirkan berbagai persoalan baru yang perlu dirumuskan posisi hukumnya.
Proses politik dalam seluruh tingkatannya membutuhkan pengerahan seluruh sumber daya politik, termasuk dukungan sumberdaya pembiayaan.
Potensi persoalan utama yang muncul dari sumberdaya pembiayaan politik yang membutuhkan ijtihad politik adalah, merinci mana yang termasuk biaya politik yang tidak bisa dihindarkan dan biaya format gerakan operasi politik apa saja yang bisa dihindarkan?
Diantara rambu-rambu yang dapat dijadikan rujukan dalam ijtihad politik kontemporer adalah Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash:
“Bila seorang hakim memutuskan perkara lalu dia berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala. Dan bila dia memutuskan perkara lalu berijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala.”
Kriteria “benar” dan “salah” dalam ijtihad politik dapat diukur dari output proses politik.
Ijtihad politik adalah benar ketika berhasil keluar sebagai pemenang dalam kontestasi politik dan menjadi salah ketika kemudian kalah.
Kemungkinan kesalahan dalam proses politik terdapat pada salah satu dari dua kemungkinan: pertama; tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan dalam proses kontestasi politik, atau sebaliknya karena melakukan apa yang seharusnya hal tertentu tidak dilakukan.
Merumuskan kriteria tentang apa yang “seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan” dalam proses politik, inilah cakupan wilayah ijtihad politik kontemporer. Fokusnya adalah merumuskan titik temu kriteria benar dan salah, patut dan tidak patut dalam proses politik.
Sebenarnya ada wilayah abu-abu antara ongkos politik uang serangan dhuhur, asar, magrib, isa dan serangan waktu tertentu itu masuk di wilayah money politik (silahkan pembaca terjemahkan murtasi walmurtasi finnar ; pemberi dan penerima kedua belah pihak masuk neraka/mendapatkan hukuman). Berbeda dengan biaya proses politik perlu partai pengusung, misalnya biaya mahar untuk bendera partai, itu masalah sudah masuk katagori ijtihadi tidak bisa dihukumi money politik/Murtasi wal murtasi finnar.
Urgensi ijtihad politik ialah, karena secara teologis siapa yang akan menjadi pemenang sebenarnya sudah tertulis. (Ketentuan Allah yang Maha Kuasa : Lauhul mahfudz ; untuk yang percaya dan kepada yang tidak percaya, saya tetap menghormati), karena belum ada seorang pun yang mengetahui hasil akhirnya, maka masih ada kewajiban kita untuk berijtihad dalam proses politik khususnya saat sekarang ini di pilkada serentak 2024!
Masih jauh lebih baik berijtihad, meskipun kemudian terbukti salah, daripada karena takut salah, lalu tidak melakukan apa-apa alias tidak peduli pada proses politik.
Kesalahan dalam berijtihad masih mendapatkan satu pahala, tetapi sikap TIDAK peduli terhadap proses ijtihad politik apabila memang kini ternyata terjadi di pilkada serentak 2024, artinya
tidak mendapatkan pahala dalam konteks ijtihad politik kontemporer.
Namun, dalam praktiknya ketidak pedulian itu bukan hanya terjadi pada proses politik, tetapi terhadap kriteria kepemimpinan.
Banyak yang peduli pada proses politik tapi tidak peduli pada kriteria kepemimpinan politik.
Dalam perspektif ini, maka proses politik harus difungsikan sebagai sarana pendidikan politik untuk mentransformasikan kepedulian terhadap proses politik secara rasional.
Bahwa kepedulian terhadap proses politik adalah satu paket dengan kepedulian terhadap kriteria kepemimpinan politik sebagai bagian dari Sunnah Strategis (Dilakukan berpahala, tidak dilakukan tidak berdosa) dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama dan kemakmuran bersama.
Artinya bisa juga rakyat banyak wajib menikmati proses politik, pendidikan politik, maslahat dan manfa’at politik menjadi hadirnya suasana aman dan nyata pula rakyat menjadi makmur !
Paling tidak, untuk bisa makan bersama keluarga, sehingga rakyat tidak hidup menderita !
Kemudian daripada itu, sebagai lanjutan substansi penulisan ini, bagaimana menjelaskan fenomena “kemenangan” dan “kekalahan” di tengah semakin menghilangnya esensi tujuan berpolitik dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan?
Jawabannya? Kita ambil rujukan yang terdapat pada kaidah organisasi dan manejemen dari Khalifah Ali bin Abi Thalib bahwa :
“Kebenaran yang tidak terorganisasi/terorganisir dengan baik, akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi/terorganisir dengan rapi”.
Meskipun pasti benar bahwa jika kebenaran datang maka kebatilan akan lenyap (QS. Al-Isra: 81). Namun kemenangan itu bukan tanpa syarat. Syaratnya ialah kebenaran itu haruslah dikelola dengan benar.
Tentu saja, jika kebatilan yang dikelola secara benar dapat mengalahkan kebenaran yang tidak dikelola secara benar, maka apalagi kebenaran yang dikelola secara benar, sangat bisa mengalahkan kebatilan meskipun sama-sama dikelola secara benar.
Hal ini karena Sunnatullah tidak bekerja secara terisolasi terlepas dari Sunnatullah lainnya. Sunnatullah lain yang terkait dengan syarat kemenangan itu terdapat dalam Ayat ini:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. al-Shaff: 4).
Kebenaran itu harus diperjuangkan dalam suatu tatanan yang rapi, perencanaan yang matang, tahapan dan skala prioritas yang jelas, SDM yang berkualitas, pengorganisasian yang kuat, serta eksekusi yang konsisten dan terukur.
Diantara kelebihan orang Yahudi adalah, mereka bukan saja sangat ahli dalam membuat perencanaan jangka panjang, tetapi juga sangat konsisten dalam mengeksekusi apa yang sudah direncanakan.
Apa yang terjadi di Palestina bisa dilacak jejak perencanaannya setidaknya sejak prolog Perang Dunia I, dan apa yang saat ini mereka lakukan di Gaza, adalah bagian dari eksekusi perencanaan jangka panjang dengan tujuan akhirnya (dari perspektif eskatologi Yahudi) adalah menguasai dunia dari Yerusalem.
Kendatipun israel melakukan tindakan hina, nista dan biadab !
Sayangnya mereka (Teroris Israel Anti Islam) sangat mengetahui betul kelemahan umat islam, persis seperti disinyalir dalam sebuah Hadits tentang penyakit akhir zaman, yaitu al-wahn, hubbud dunya wa karahiyatul maut, cinta dunia dan takut mati (HR. Abu Daud, 4297; Ahmad 5: 278).
Dengan al-wahn inilah mereka mencabik- cabik dunia Islam, organisasi Islam, umat Islam, dan kini apakah mungkin sudah masuk ke partai-partai politik, sehingga akibatnya bisa saja semakin MENJAUH dari barisan/shaf yang rapi dan bangunan organisasi yang terorganisir kokoh kuat dan bermartabat.
Terimakasih kepada DR. HM. Supriatman, MA – UIN Cirebon : Penulis buku Kosmologi Islam) yang senantiasi memberikan motivasi kepada saya untuk mendalami filsafat islam dalam konteks ijtihad politik kontemporer.
Bahwa saya mengulangi ungkapan ; siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah itu sudah tertulis di lauhul mahfudz.
Tetapi karena kita belum mengetahui takdirnya, maka masih wajib berikhtiar dengan “Strategis”. Untuk memperjuangkan para calon kepala daerah dengan memahami “unsur unsur upaya strategis”.
Memahami salah satu langkah operasi politik strategis itu adalah masuk wilayah nilai luhur ijtihad politik kontemporer.
Namun demikian apapun yang KITA hadapi tetaplah menjungjung tinggi “Semangat Persatuan Indonesia” bahwa “Padamu Negeri Jiwa Raga Kami”.
Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in
Awang Dadang Hermawan
*) Pemerhati intelijen, sosial politik dan SARA