Connect with us

Hi, what are you looking for?

Kuningan Mass
Maman Supriatman

Netizen Mass

Hidup Bersama Al Qur’an: Meraih Makna Dibalik Huruf

KUNINGAN (MASS) – Kisah Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali di bulan Ramadhan bukan sekadar angka atau kecepatan lidah. Itu adalah cermin dari hidup yang terpaut erat dengan Kitabullah—di mana tilawah menjadi napas, tadabbur menjadi denyut nadi, dan pengamalan menjadi jejak langkah.

Hidup bersama Al-Qur’an tidak berhenti pada ritual bacaan semata. Ia merambah ke dalam setiap tarikan niat, gerak tangan, dan desah hati yang berusaha mengejawantahkan nilai-nilai Ilahi dalam realitas keseharian.

Inilah perjalanan spiritual yang tidak hanya menghafal dan melafalkan, tetapi menghidupkan makna di balik huruf.

Dari Tilawah ke Transformasi: Al-Qur’an sebagai DNA Amal

Setiap amar ma’ruf nahi munkar yang disampaikan melalui dakwah lisan atau tulisan, atau keteladanan adalah bentuk “khatam” lain yang tak terhitung.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Ketika seorang guru mengajarkan kebaikan, ia sedang menghidupkan QS. Ali Imran: 104. Saat tangan bersedekah diam-diam, ia menggemakan QS. Al-Baqarah: 261. Bahkan silaturahmi yang menyambung rasa adalah praktik nyata dari QS. An-Nisa: 1.

Memperbaiki kualitas hubungan keluarga adalah tadabbur hidup atas QS. Ar-Rum: 21. Menjadi tetangga yang peduli adalah tafsir praktis dari QS. An-Nisa: 36. Produktivitas kerja yang diikat dengan keikhlasan dan integritas adalah jihad kontemporer yang merespons QS. Al-Jumu’ah: 10.

Dalam setiap ruang ini, Al-Qur’an tidak hanya dibuka di mushaf, tetapi dibentangkan sebagai peta perjalanan menuju Allah. Di sini, Al-Qur’an tidak lagi sekadar dibaca, tetapi dicerna, dan menjadi energi untuk bergerak.

Jika Imam Syafi’i menggunakan Ramadhan untuk maraton tilawah, kita pun bisa menjadikan Ramadhan sebagai “Madrasah Al-Qur’an”, _Syahrul Qur’an_, momentum untuk menata ulang relasi dengan Al-Qur’an secara holistik.

Bukan hanya tentang berapa kali khatam, tetapi seberapa dalam nilai tauhid, kasih sayang, dan keadilan dalam surah-surah Makkiyah-Madaniyah itu mengalir menjadi darah daging.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Seperti kata pepatah sufi: “Al-Qur’an diturunkan untuk dihentakkan oleh lidah, diresapi oleh akal, dan diinjakkan oleh kaki (diamalkan).”

Al-Qur’an sebagai Peta Transisi

Dalam tradisi Jawa, Kalabendu adalah zaman kegelapan ketika manusia terperangkap dalam sikap _alpa_ (lalai) dan _kebat kliwat_ (keserakahan berlebihan).

Sementara Kalasuba adalah era cahaya, saat manusia kembali pada fitrah kesucian melalui _eling_ (kesadaran) dan tanggap (respons bijak). Itulah ‘Idul Fitri. Al-Qur’an adalah kompas yang memandu transisi ini.

1. Pemulihan Diri: Dari Gelap Menuju Cahaya

Advertisement. Scroll to continue reading.

Seorang pecandu narkoba yang bangkit dari jurang adiksi, lalu membangun komunitas rehabilitasi, sedang menghidupkan QS. Az-Zumar: 53:

“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.”

Langkahnya adalah bukti bahwa kalabendu (kegelapan adiksi) bisa bertransformasi menjadi kalasuba (cahaya pemulihan) melalui taufik-Nya.

2. Dari Konflik ke Harmoni: Memadamkan Api Permusuhan

Di tengah konflik antarwarga, seorang tokoh masyarakat yang menggelar jama’ah silaturahmi sambil membacakan QS. Al-Hujurat: 10:

Advertisement. Scroll to continue reading.

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu.”

Ia sedang menulis Kalasuba di tengah Kalabendu permusuhan, mengubah api dendam menjadi air maaf.

3. Krisis Ekonomi & Solidaritas Sosial

Ketika pengusaha kaya memilih membagi 30% keuntungannya untuk membantu UMKM terpuruk, ia mengaktualisasikan QS. Al-Hasyr: 9:

“Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam kesusahan.”

Advertisement. Scroll to continue reading.

Di sini, kalabendu kesenjangan ekonomi mulai tersibak oleh cahaya kalasuba keadilan sosial.

Mushaf Amal: Saat Ayat Menjadi Darah Daging

Setiap amar ma’ruf nahi munkar adalah bentuk “khatam” yang tak terhitung.

Guru ngaji di pelosok yang mengajar tanpa listrik sedang menghidupkan QS. Al-Alaq: 1-5, bukan dengan fasilitas mewah, tapi dengan tekad menyalakan pelita ilmu di tengah kalabendu keterbelakangan.

Ibu rumah tangga yang menjaga stabilitas keluarga, saat ia memilih diam bijak ketika emosi suami memuncak, sedang mentadabburi QS. Ali Imran: 134:

Advertisement. Scroll to continue reading.

“Dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia.”

Diamnya adalah kalasuba yang mencegah rumah tangga dari runtuhnya kalabendu konflik domestik.

Ramadhan: Momentum Kelahiran Kembali

Jika Imam Syafi’i menggunakan Ramadhan untuk maraton tilawah, kita pun bisa menjadikannya laboratorium transisi diri.

Bukan hanya tentang berapa juz yang selesai, tapi seberapa dalam nilai tauhid (QS. Al-Ikhlas), syukur (QS. Ibrahim: 7), dan kelembutan (QS. Al-Baqarah: 263) mengalir menjadi darah daging.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Lihatlah kisah Nabi Musa dalam QS. Thaha: 25-28:

“Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku.”

Doa ini adalah senjata melawan kalabendu kecemasan dan ketakutan. Di bulan Ramadhan, kita dilatih untuk “melapangkan dada” dengan puasa, tilawah, dan sedekah—mengubah kalabendu keegoan menjadi kalasuba ketulusan.

Pertanyaan yang Menggugat Zaman

Hidup bersama Al-Qur’an adalah pertanyaan sepanjang masa: Sudahkah kau jadikan ia cermin yang membongkar cela, sekaligus mercusuar yang membimbing langkah?

Advertisement. Scroll to continue reading.

Di tengah kalabendu modern—individualisme, kesepian digital, dan krisis makna—Al-Qur’an adalah penanda jalan:

Bagi yang Terjebak Materialisme: QS. Al-Hadid: 20 mengingatkan bahwa dunia hanyalah _lahwun_ (permainan yang melalaikan).

Bagi yang Dilanda Kesepian: QS. Ar-Ra’d: 28 menjanjikan ketenangan melalui zikir.

Bagi yang Kehilangan Arah: QS. Al-Baqarah: 285-286 menjadi kompas iman di tengah badai keraguan.

Bagi yang Galau Memilih Jodoh: QS. Ar-Rum: 21 adalah petunjuk.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Bagi yang Lelah Bekerja: QS. Al-Jumu’ah: 10 mengingatkan bahwa rezeki bukan tujuan akhir, tapi sarana ibadah.

Bagi yang Putus Asa: QS. Yusuf: 87 menawarkan harapan.

Kesimpulan: Menjadi Tinta yang Menulis Ulang Sejarah

Ketika cahaya kalasuba dinyalakan untuk melawan kegelapan kalabendu yang mengancam kedaulatan, atau sesak dadanya terasa ketika melihat fakta semakin tersingkapnya carut marut tata kelola kepentingan publik, mereka digerakkan oleh QS. Al-A’raf: 164-165:

“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertakwa.””

Advertisement. Scroll to continue reading.

“Maka setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang berbuat jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa kelompok yang menasihati kaumnya dalam ayat ini dianggap telah menyelamatkan diri mereka sendiri dari dosa kolektif. Sementara yang diam, meski tidak ikut berbuat maksiat, tetap mendapat risiko azab karena tidak menjalankan kewajiban nahi munkar.

Ibnu Taimiyyah dalam _Majmu’ Al-Fatawa_ menegaskan:
“Barangsiapa mampu mengingkari kemungkaran dengan hati, tetapi ia diam, maka ia telah bermaksiat dengan hatinya”, menunjukkan bahwa “sesak dada” seharusnya menjadi reaksi alami hati yang beriman.

Seperti kata Ibn Athaillah: “Bacalah Al-Qur’an seakan ia turun untukmu hari ini, dan hidupilah ia seakan kau adalah tinta yang menulis ulang Kitab itu dalam bahasa perbuatan”.

Di akhir Ramadhan nanti, pertanyaannya bukan “berapa kali kau khatamkan Al-Qur’an”, tapi “berapa ayat yang kau hidupkan?” Sebab, seperti kata Ibn Qayyim, “Orang berilmu bukanlah yang menghafal huruf, tapi yang takut pada Allah meski tak ada yang melihat.”

Advertisement. Scroll to continue reading.

Khatamkan Al-Qur’an dengan cara berbeda: jadikan ia suara hati yang membisikkan kejujuran, tangan yang menebar manfaat, dan langkah yang menapak di jalan-Nya. Bacalah seakan ia turun hari ini, lalu hidupilah seakan esok tak ada lagi kesempatan.

والله اعلم

Maman Supriatman (Akademisi) 

MS 06/03/25

Advertisement. Scroll to continue reading.

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Religious

KUNINGAN (MASS) – Guru besar madzhab syafii Al Azhar Mesir, Prof Dr Abdul Aziz Syahawi dijadwalkan datang ke Kuningan untuk mengisi Daurah Keaswajaan dan...

Advertisement