KUNINGAN (MASS) – Pemerintah optimistis “Indonesia Swasembada Beras Tahun 2025”. Kalimat ini terdengar indah dan merdu di telinga, layaknya suara desiran angin Surga yang membelai raga. Masyarakat pun dibuat ternganga sekaligus bertanya-tanya, “Mungkinkah impian ini menjadi nyata, mengingat begitu banyak problem seputar “perberasan” di Tanah Air kita? Salah satunya terkait dengan harga beras yang makin tidak beres.
Pemerintah berulangkali mengklaim bahwa pasokan beras nasional dalam kondisi aman. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar harga penjualan beras dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Hal ini juga diakui oleh Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman, yang menyebutkan adanya anomali di sektor pangan, yakni kondisi di mana stok beras nasional mengalami surplus, namun harga komoditas tersebut harganya tetap tinggi di pasaran (khususnya di 214 daerah di Indonesia).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi beras Indonesia hingga bulan Oktober 2025 mencapai 31,04 juta ton, surplus 3,7 juta ton, dibanding tahun sebelumnya yang hanya 28 juta ton. Adapun untuk harga beras di setiap daerah tercatat bervariasi. Di Jakarta Pusat, harga beras premium ada yang dijual Rp17.125 per kg, padahal harga yang disarankan pemerintah Rp16.800 per kg. Kenaikan harga-harga juga merembet pada komoditas pangan lainnya, seperti: telur, ayam, minyak goreng, gula pasir, dan lain sebagainya. (tirto.id, Kamis, 4/9/2025).
Kondisi ini tentunya membuat masyarakat makin ketar-ketir. Tidak heran jika publik mempertanyakan sejauh mana langkah intervensi yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan harga-harga kebutuhan pokok rakyat?
Selama ini upaya pemerintah untuk menekan harga beras sebatas pada program pengadaan dan penyaluran beras Bulog. Pemerintah dengan gencar mensosialisasikan kepada masyarakat untuk membeli beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Selain itu pemerintah juga menggelar operasi pasar secara besar-besaran di berbagai tempat di Indonesia.
Sejak awal pemerintahannya, Presiden Prabowo beserta jajarannya telah meluncurkan beberapa proyek strategis, diantaranya yaitu program “food estate”, program penyediaan input pertanian, program pembangunan infrastruktur dasar, serta mendirikan lembaga pembiakan usaha tani. Namun, berbagai program ini hasilnya belum sesuai harapan.
Faktanya, sepanjang tahun 2024 saja pemenuhan pangan rakyat dihadapkan pada kondisi yang makin memprihatinkan. Fluktuatif harga bahan pangan pokok cenderung mahal sehingga menguras pendapatan rakyat kecil yang sudah semakin merosot sejak pandemi. Data BPS menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang hidup dengan kondisi ketidakcukupan konsumsi sebanyak 8,53% dan prevalensi penduduk dengan kerawanan pangan sedang atau berat sebesar 4,5%.
Menurut data dari Global Hunger Index, Indonesia saat ini terkategori sebagai negara yang mengalami tingkat kelaparan sedang, yakni sebanyak 16.9 % yang terindikasi dari kondisi kurang gizi, anak stunting, anak bertubuh kurus, dan kematian anak. Bahkan, ada kurang lebih 23 juta warga Indonesia yang tidak mampu memenuhi asupan gizi berimbang (undernourished) setiap hari.
Fakta lain, kondisi saat ini di mana stok beras di Bulog melimpah ruah, akan tetapi harganya masih relatif mahal. Akibatnya beras Bulog menumpuk di gudang yang mengakibatkan penurunan kualitas beras. Tidak heran jika Perum Bulog seringkali kebanjiran pengaduan dari masyarakat terkait buruknya kualitas beras yang tidak layak konsumsi (berubah rasa, warna, dan bau apek).
Dengan melihat fakta di atas, kira-kira seberapa besar rakyat Indonesia bisa berharap bahwa target swasembada beras tahun 2025 ini akan mampu mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan? Jawabannya tentu tergantung seperti apa keberanian pemerintah pusat bermanuver untuk mengatasi problem seputar penanganan pangan nasional. Sebab, pada faktanya langkah stabilisasi harga beras dengan menitikberatkan pada program SPHP ternyata juga tidak efektif.
Seharusnya dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah dan juga bonus demografi yang dimiliki Indonesia, persoalan ini akan mudah diatasi. Sebab, untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, tidak bisa diatasi dengan memperbaiki produktivitas pertanian saja. Akan tetapi juga harus memperbaiki seluruh aspeknya, yaitu sistem (tata kelola) pertanian pangan mulai dari hulu hingga ke hilir.
Dimulai dari proses awal pengadaan dan perluasan lahan pertanian untuk rakyat, pengadaan bibit unggul, pupuk dan pestisida yang terjangkau harganya, proses penanaman dan pemanenan yang efektif, hingga sampai ke proses pemasaran (pendistribusian). Selama ini rantai tata niaga pertanian terkesan berbelit-belit, rumit, panjang dan distorsif, sehingga menyebabkan biaya operasional membengkak. Akibatnya harga komoditas pangan pun menjadi lebih tinggi, sehingga masyarakat banyak yang tidak mampu menjangkaunya. Sayangnya, solusi sistemik ini justru belum dilirik oleh pemerintah.
Solusi sistemik di atas tidak mungkin dapat ditempuh ketika negara menerapkan sistem kapitalis sekuler seperti sekarang ini. Sistem kapitalis dirancang bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk kepentingan para oligarki yang kongkalikong dengan para penguasa.
Dalam sistem Kapitalis, penguasa hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pelayan yang bertugas mengurus urusan rakyat. Mereka berkuasa untuk menumpuk harta dan meraih kesenangan duniawi. Para pemimpin dalam sistem batil ini abai terhadap masalah yang dihadapi rakyatnya. Bahkan, kebijakan yang diambil penguasa seringkali tidak pro rakyat. Urusan birokrasi seolah dibuat seribet mungkin, sehingga rakyat kesulitan untuk meminta hak-hak dasar mereka, seperti: pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Sistem Islam memiliki regulasi praktis untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Pada aspek produksi pertanian pangan, Islam mengatur tentang hukum pertanahan, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya, “Barang siapa yang menghidupkan “tanah mati” (tanah yang terbengkalai) maka tanah tersebut untuk dirinya, dan tidak ada hak orang yang memagari tanah setelah tiga tahun.” (H.R. Abu Yusuf dan Abu ‘Ubaid)
Hadis ini menjadi dasar aturan syariat Islam tentang kepemilikan tanah. Yang dimaksud dengan menghidupkan tanah mati artinya: menggarap, menanami, membangun, atau memanfaatkan tanah yang sebelumnya tidak ada pemiliknya. Tujuannya adalah untuk kemaslahatan umat (rakyat), yakni untuk menjamin ketahanan pangan masyarakat, menyejahterakan rakyat, dan mewujudkan pemerataan (keadilan) sekaligus mencegah adanya kepemilikan tunggal. Sehingga kepemilikan (kekayaan) tidak hanya bergulir di tangan segelintir orang saja.
Kebijakan dalam sistem Islam ini sangat yang menguntungkan rakyat. Sebab, masyarakat miskin pun masih punya kesempatan untuk mengolah lahan, dan bisa menikmati hasilnya.
Selain itu negara Islam juga memprioritaskan pembangunan infrastruktur pendukung untuk distribusi hasil pertanian, khususnya di daerah terpencil. Hal ini disediakan oleh negara sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat. Adapun salah satu sumber pendanaan negara yaitu berasal dari pengelolaan harta milik umum, seperti: perairan (laut, danau, sungai, air terjun, dll), hutan (padang rumput, aneka tanaman langka, dll), serta barang tambang (emas, perak, batubara, nikel, tembaga, bijih besi, migas, dll). Dengan pengelolaan yang dilakukan secara mandiri maka hasilnya akan maksimal dan bisa dibagikan kembali kepada rakyat, dalam bentuk bantuan langsung maupun pinjaman tanpa bunga. Dalam hal ini para petani juga mendapatkan bantuan dari negara untuk peningkatan sarana produksi pertanian, permodalan, dan pemasaran.
Sehingga, persoalan yang sering muncul di tengah masyarakat sekuler kapitalis yaitu daya beli masyarakat rendah tidak akan terjadi. Para petani pun bisa tersenyum lega karena bisa mendapatkan keuntungan dari hasil jerih payahnya mengolah lahan pertanian. Dengan aturan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka segala problematika masyarakat akan mudah diatasi dengan baik. Persoalan harga beras pun akan “beres”. Tidak dipermainkan oleh oknum pejabat maupun oleh spekulan asing, karena negara yang menerapkan sistem Islam akan menjalankan sanksi yang tegas kepada mereka yang berani melanggar hukum.
Wallahualam bissawwab.
Penulis : Sumiyah Umi Hanifah
Pemerhati Kebijakan Publik
