KUNINGAN (MASS) – Kebakaran hutan di Indonesia bukan sekadar musibah alam atau kelalaian. Dalam banyak kasus, justru menjadi “pembuka jalan” bagi munculnya lahan perkebunan sawit baru. Fenomena ini terus berulang setiap tahun, seolah menjadi bagian dari pola yang disengaja dan terorganisir.
Metode membakar lahan dianggap sebagai cara paling murah dan efisien untuk membuka area perkebunan baru, khususnya di lahan gambut dan hutan sekunder. Sayangnya, praktik ini sering dilakukan secara sengaja oleh oknum perusahaan maupun masyarakat yang tergoda keuntungan cepat. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum turut memperkuat keberanian para pelaku.
Selain alasan teknis, ada pula kepentingan ekonomi-politik di baliknya. Lahan terbakar seringkali berada dalam wilayah konsesi industri sawit, atau tak lama kemudian dialihfungsikan menjadi kebun. Ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa kebakaran bukan kebetulan, tapi bagian dari skenario untuk memperluas industri perkebunan.
Di Riau, kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan terbakar hebat antara 2010–2014. Kini, sebagian besar lahan itu berubah menjadi kebun sawit. Di Kalimantan Tengah, kebakaran lahan gambut di wilayah konsesi PT KLM juga berakhir dengan penanaman sawit, meski status hukumnya belum dipulihkan.
Terbaru, pantauan 2025 menunjukkan bekas lahan terbakar di Pelintung, Dumai (Riau), kini telah ditanami bibit sawit. Padahal lahan tersebut berada di zona lindung. Ironisnya, ini terjadi di saat pemerintah menggembar-gemborkan komitmen restorasi dan pengendalian karhutla.
Kebakaran hutan dan kemunculan kebun sawit bukanlah dua fenomena terpisah. Keduanya saling terkait dan seringkali saling mendukung dalam konteks ekonomi ekstraktif yang mengorbankan lingkungan. Negara tidak boleh lagi menutup mata.
Sudah saatnya kebijakan restorasi dan penegakan hukum ditegakkan secara adil, transparan, dan tegas. Perusahaan yang terlibat harus ditindak, bukan dinegosiasikan. Jika tidak, kita hanya akan terus menghirup asap dari ambisi ekonomi yang membakar masa depan kita sendiri.
Fenomena serupa bahkan mulai tampak di tingkat lokal, seperti kebakaran lahan yang terjadi Baru baru ini di Kabupaten Kuningan. Meskipun belum terbukti, hal ini harus menjadi peringatan dini bagi semua pihak. Semoga Kuningan terhindar dari praktik pembakaran lahan seperti itu—dan tidak mengikuti jejak kelam daerah lain yang hancur karena kelengahan dan pembiaran.
Oleh: Renis Amrulloh
Ketua Umum PC IMM Kabupaten Kuningan
