KUNINGAN (MASS) – Di tengah derasnya arus perubahan sosial, kita melihat fenomena baru yang mengkhawatirkan: guru semakin mudah dipolisikan, bahkan hanya karena satu sentuhan emosi yang terjadi dalam hitungan detik. Sementara itu, ratusan sentuhan kasih, ribuan jam pengabdian, dan puluhan tahun kesetiaan mengajar seolah lenyap di balik satu rekaman kamera ponsel.
Padahal, dunia pendidikan sejatinya tidak berdiri di atas kecerdasan akademik semata. Fondasi terpenting sebelum seorang anak memahami angka, kata, atau rumus adalah kecerdasan emosional. Guru yang bijak selalu mendahulukan pembentukan karakter: mengajarkan disiplin, menanamkan empati, memupuk rasa hormat. Akademik hanya dapat tumbuh tegak bila akarnya yaitu *emosi* sudah kuat.
Namun hari ini, ruang kelas kita mulai kehilangan keberanian.
Guru terpaksa bersikap seperti sensor CCTV: selalu waspada, takut salah, takut tersandung pasal. Masyarakat lupa bahwa guru adalah manusia, bukan perangkat mekanik tanpa rasa lelah atau tekanan batin. Ketika seorang guru terpeleset emosi, masyarakat sering sibuk menghakimi, bukan memahami. Padahal niat mereka bukan melukai, tetapi mendidik.
Kita perlu tegas:
Menolak kekerasan dalam pendidikan bukan berarti membuka pintu kriminalisasi tanpa konteks.
Kesalahan mendidik harus dibedakan dari tindakan kekerasan yang disengaja.
Ada ruang dialog, ada jalur mediasi, ada proses pembinaan sebelum perkara itu dibawa ke ranah pidana.
Jika setiap guru hanya menunggu waktu untuk dilaporkan, pendidikan kita akan berubah menjadi panggung ketakutan. Anak-anak tidak lagi melihat guru sebagai teladan moral, melainkan sebagai sosok yang “tidak boleh menyentuh apa pun” — bahkan ketika mereka butuh diteguhkan, dinasehati, atau diperingatkan.
Kita tidak sedang membela tindakan salah.
Kita sedang membela nalar kewajaran dalam dunia pendidikan.
Sebelum masyarakat menunjuk seorang guru sebagai tersangka, mari ingat bahwa guru adalah penjaga masa depan. Mereka bukan sekadar pengajar, tetapi pembentuk karakter. Dari tangan merekalah lahir generasi yang kelak bekerja, memimpin, dan berkontribusi bagi Kuningan.
Maka hari ini, saat emosi publik mudah dimainkan oleh potongan video dan narasi sepihak, kita harus kembali pada kebijaksanaan:
Hargai guru bukan karena mereka sempurna, tetapi *karena tanpa mereka, tidak ada masa depan yang bisa kita banggakan.*
SELAMAT HARI GURU
Oleh: Dadan Satyavadin, Pemerhati Kebijakan Publik, mantan Timses, Relawan Dirahmati





















