KUNINGAN (MASS) – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani: “Apakah semua harus dari uang negara?” saat menyinggung gaji guru dan dosen, bukan sekadar kata. Itu adalah bisikan pahit yang melecehkan—bahwa para guru, cahaya masa depan bangsa, seakan menjadi beban fiskal belaka.
Sebagai mahasiswa yang bergelora idealisme, kami menolak keras reduksi semacam itu. Guru bukan biaya semata—mereka adalah investasi abadi, bukan beban sesaat.
Apa Kata Data? Fakta Tak Bisa Dibantah
Anggaran Pendidikan 2024 mencapai Rp 665 triliun—sekitar 20 % dari total APBN—sebuah rekor tertinggi sejauh ini.
APBN 2025 bahkan menanjak ke Rp 724,3 triliun, tetap di kisaran 20 % dari APBN, meskipun di tengah efisiensi beberapa program seperti beasiswa dan TPG non-PNS.
Di sisi lain, mayoritas guru honorer hidup di bawah garis kesejahteraan:
(-) 74 % guru honorer memperoleh gaji di bawah Rp 2 juta per bulan, dan 20,5 % bahkan hanya di bawah Rp 500 ribu per bulan.
(-) Rata-rata, guru honorer bertanggung jawab membiayai keluarga—89 % mengaku penghasilan mereka tidak cukup.
Parahnya, walau hidup dalam perjuangan ekonomi, 93,5 % guru tetap ingin mengabdi hingga pensiun—kesetiaan yang tak bisa dibayar dengan retorika kosong.
Apakah kita sudah lupa sejatinya sejarah yang dibangun oleh guru dan intelektual?
Bukankah Pasal 31 UUD 1945 menegaskan negara wajib membiayai pendidikan,?
Jika mengurangi peran negara dalam menggaji guru adalah “efficient,” maka koruptor dan proyek mercusuar adalah hiperfisikalisasi belaka yang menambah luka bukan solusi, ucapnya.
Suara Akademisi dan Ahli bahkan mengatakan seperti Prof. Anies Baswedan (Mendikbud era sebelumnya) dengan tegas menyatakan: “Jika kita menginginkan pembangunan berkelanjutan, titik awalnya adalah guru.”
Menganggap guru sebagai beban sama saja memutus akar masa depan. Adapun Amartya Sen, Nobel Ekonomi, menempatkan investasi pendidikan sebagai kunci perkembangan ekonomi. Menyudutkan peran negara dalam menggaji pendidik adalah merusak fondasi modal manusia generasi mendatang.
Melihat dan membaca Suara dari Lapangan Kuningan: Kondisi Nyata yang Tak Bisa Diabaikan
(-)Ibu Elly Mekawati, guru honorer di MI Situgede, Kecamatan Subang, menempuh perjalanan menantang—8 km perbukitan setiap hari—untuk mengajar. Honor yang diterimanya hanya Rp 200–300 ribu per bulan, dibayar per tiga bulan sekali, dan terkadang harus ditalangi kepala sekolah.
(-)Pa Irvan, guru honorer MI di Kuningan—gajinya hanya Rp 200 ribu per bulan, dirapel 6 bulan sekali menjadi Rp 1,2 juta. Baru-baru ini, ia menerima BSU Rp 600 ribu, yang sangat berarti untuk menutup biaya pajak motor dan kebutuhan sehari-hari.
(-)Kepala Disdikbud Kuningan menyatakan bahwa, karena keterbatasan APBD, gaji honorer yang mendapat SK legalitas pun masih di bawah UMK (UMK Kuningan sekitar Rp 1,6 juta). Legalitas meski dibutuhkan—tetapi tidak menyelesaikan persoalan kesejahteraan.
Kuningan Mass
(-)Formasi PPPK di Kuningan hanya sebanyak 1.041, namun dinilai minim dibanding kebutuhan riil, terutama untuk mapel seperti PJOK. Banyak honorer yang telah lolos seleksi masih belum mendapatkan penempatan—menambah frustrasi.
Tuntutan Tegas PC IMM Kuningan
Meminta klarifikasi publik resmi dari Sri Mulyani: hentikan kesan bahwa guru adalah beban; raih kembali kepercayaan publik.
Mendesak agar 20 % APBN untuk pendidikan benar-benar digunakan untuk kesejahteraan guru (khususnya honorer), bukan hanya program pencitraan.
Mengajak mahasiswa, masyarakat sipil, dan lembaga pengawas untuk bersama-sama mengawal alokasi anggaran pendidikan agar berpihak pada pendidik, bukan pada narasi kosong.
“Negara yang meminggirkan guru sedang menulis surat undangan kehancurannya sendiri.”
Oleh: Roy Aldilah – Kepala Bidang Hikmah Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Kuningan
