KUNINGAN (MASS) – Saya pernah menyaksikan satu kenyataan sosial yang tidak pernah hilang dari masyarakat kecil di Indonesia: solidaritas. Di warung-warung kecil, di antara rak minyak goreng, mie instan, dan gula pasir, saya melihat gotong royong dalam bentuk paling sederhana namun paling tulus ,memberi hutang kepada tetangga yang sedang membutuhkan.
Bagi pemilik warung, memberi “bon” bukan soal bisnis, itu tentang rasa kemanusiaan. Tentang tidak tega melihat tetangganya pulang dengan tangan kosong. Tentang keyakinan bahwa saling menolong adalah kewajiban moral. Bahkan ketika modal mereka terbatas, hati mereka tetap luas.
Namun di balik itu muncul ironi, gotong royong paling kuat justru tumbuh di lapisan masyarakat bawah, pada mereka yang penghasilannya kecil tetapi solidaritasnya besar. Pada masyarakat yang ruang hidupnya sempit tetapi hatinya lapang.
Padahal, jika nilai yang sama ini bergerak sampai ke lapisan atas, dunia pengusaha besar, pemangku kebijakan, elite ekonomi, para pemegang kapital, Indonesia mungkin sudah jauh lebih maju.
Bahkan bisa menjadi negara super power berbasis solidaritas.
1. Gotong Royong: Modal Sosial Paling Kuat yang Dimiliki Indonesia
Negara maju sering dilihat dari teknologinya, militernya, atau industrinya. Tetapi Indonesia punya sesuatu yang jarang dimiliki negara lain: modal sosial yang amat besar.
-Saling bantu tanpa diminta
-Kepercayaan antarwarga
-Toleransi terhadap perbedaan
-Kepedulian spontan ketika ada yang kesulitan
Ini adalah energi sosial yang tidak bisa dibeli dengan uang. Dalam teori pembangunan, modal sosial adalah pilar paling penting dalam mempercepat kemajuan sebuah bangsa. Dan modal sosial itu paling murni terlihat di masyarakat kecil.
2. Mengapa Gotong Royong Lebih Kuat di Lapisan Bawah?
Masyarakat bawah hidup berdekatan, saling mengenal, saling bergantung. Kesulitan orang lain terlihat langsung di depan mata. Dari sinilah rasa empati tumbuh kuat.
Sementara saat seseorang naik kelas sosial:
-individualisme meningkat
-interaksi antarwarga menurun
-sekat ekonomi jadi lebih lebar
-rasa saling percaya menurun
Inilah mengapa gotong royong perlahan luntur di level atas, padahal justru di sanalah sumber daya besar berada.
3. Bayangkan Jika Gotong Royong Menjadi Budaya Semua Lapisan
Coba bayangkan beberapa hal ini:
Jika pengusaha besar bergotong royong membina UMKM, bukan sekadar mencari pemasok termurah…
UMKM akan naik kelas lebih cepat.
Jika birokrasi bergotong royong mempercepat urusan rakyat, bukan memperumit…
Investasi mengalir, lapangan kerja terbuka.
Jika generasi muda bergotong royong menciptakan inovasi sosial…
Ekosistem ekonomi baru akan lahir.
Jika pemilik modal bergotong royong memberikan ruang kepada bisnis kecil tumbuh…
Kesenjangan ekonomi menyempit.
Dengan gotong royong sebagai nilai utama, Indonesia punya modal untuk menjadi negara yang:
-stabil
-aman
-produktif
-solid
-mandiri secara ekonomi
Bukan hanya besar dalam jumlah penduduk, tetapi besar dalam kekuatan sosial , super power berbasis solidaritas.
4. Kisah di Warung Kecil: Cermin Masa Depan Indonesia
Kisah pemilik warung kecil yang memberi bon kepada tetangganya memang menimbulkan dilema ekonomi. Tetapi itu sekaligus cermin tentang apa yang masih bertahan dari jati diri bangsa.
Gotong royong yang lahir dari rasa “teu tega”, dari perasaan “urang sarerea”, dari kesadaran bahwa hidup ini harus ditanggung bersama adalah kekuatan yang seharusnya tidak hanya dimiliki masyarakat kecil.
Jika nilai ini dibawa ke kebijakan publik, investasi, pendidikan, teknologi, dan pemerintahan, Indonesia akan melompat jauh lebih cepat.
5. Gotong Royong adalah Jalan Cepat Menuju Negara Kuat
Ada dua cara menjadi negara super power:
1. Menguasai sumber daya besar
2. Menguasai rasa saling percaya rakyatnya
Indonesia punya nomor dua, jauh lebih kuat dari yang terlihat.
Kekuatan bangsa bukan hanya pada gedung megah dan mesin industri, tetapi pada karakter rakyatnya.
Dan karakter gotong royong sudah hidup di warung kecil, di masyarakat bawah, di ruang-ruang sederhana tempat rakyat hidup dan saling menolong.
Tugas kita adalah menaikkannya ke panggung nasional, menjadikannya budaya semua kelas sosial, bukan hanya masyarakat bawah.
Penulis : Mohamad Agung Tri Sutrisno, SH.
























