KUNINGAN (Mass) – Munculnya sejumlah dukungan terhadap proyek panas bumi (Geothermal) di Gunung Ciremai, akhirnya membuat Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kuningan Ismah Winartono angkat bicara. Bahkan, para pendukung proyek Geothermal itu dinilai betul-betul belum memahami secara rinci potensi dampak yang ditimbulkan jika proyek Geothermal dijalankan.
“Mereka yang setuju belum memahami secara rinci penjelasan dan dampak geothermal. Ketika sosialisasi saat itu, kami bertanya apa teknologi yang digunakan dlm proyek tersebut, apakah Hydraulic Fracturing atau Fracking ataukah Rottary Drilling? dan itu tidak mampu dijawab oleh pakar-pakar dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) RI,” ucap Ketua GMNI Kuningan Ismah Winartono kepada awak media, Jumat (28/10).
Bahkan, Ima sapaan akrabnya menyebutkan bahwa, saat itu muncul penegasan dari pembicara yang menyampaikan pengeboran akan dilakukan di wilayah hutan konservasi. Artinya, pengeboran berada di dalam wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai.
“Itu berarti pengeboran 2000 sampai dengan 3000 meter akan dilakukan di wilayah hutan konservasi. Apakah pihak pemerhati lingkungan dan pemda mengerti dampak dari pengeboran sedalam 2000 meter hingga 3000 meter di atas titik sumber air, seperti misalnya Balong Girang Cigugur, Cibulan dan lain-lain yang rata rata berada di ketinggian 700 meter hingga 900 meter di atas permukaan laut,” bebernya.
Oleh sebab itu, pihaknya merasa khawatir jika pengeboran di wilayah Hutan Konservasi sedalam 2000 hingga 3000 meter berpotensi mengakibatkan turunnya debit air di mata air secara dratis di kawasan itu, yang selama ini menghidupi petani dan rakyat Kuningan, Cirebon dan Majalengka. Jadi, para pendukung Geothermal itu dinilai belum benar-benar secara jelas memperhitungkan dampak seperti itu.
“Kami bersama rakyat telah melakukan riset di Kamojang, Pengalengan dan Dieng atas dampak-dampak tersebut. Jadi, kami tidak mau membebek mengikuti tanpa mendalami hal-hal terkait proyek itu,” tandasnya.
Menurutnya, dasar penolakan tersebut juga karena dalam UU Panas Bumi yang telah direvisi sejak 2014 secara substansi sangat merugikan daerah. Diantaranya, karena tidak ada prinsip bagi hasil dengan pemda setempat. Yang ada hanyalah sekedar Bonus.
“Jika prinsip bagi hasil itu besarannya jelas, karena 32 persen adalah hak pemda setempat. Namun, menurut UU Panas Bumi yang telah direvisi bonus diberikan oleh perusahaan berdasarkan kondisi keuangan perusahaan,” tegasnya.
Oleh karenanya, Ima tidak mau asal-asalan mengeluarkan pernyataan seperti ini. Sebab, atas dampak-dampak tersebut, pihaknya konsisten sejak 2012 menolak Tekno Fracking dan Rottary Drilling.
“Kami juga memahami bahwa para pendukung tidak mendalami soal-soal seperti ini secara akademis. Begitupun dampaknya untuk kesejahteraan daerah Kuningan, mungkin hal ini tidak dipelajari secara detail oleh Pak Bupati dan LSM yang Pro Geothermal, sebab wajar karena kajian seperti ini harus dikaji secara mendalam dan lama,” katanya.
Lebih jauh, Ima menuturkan, pengusaha panas bumi itu tidak membutuhkan ijin pertambangan dari Pemda baik BPLHD maupun DSDAP Kuningan. Sebab dalam UU Panas Bumi yang baru, pengusaha panas bumi hanya membutuhkan ijin jasa lingkungan dari Taman Nasional Gunung Ciremai.
“Artinya, soal bagian retribusi terbesar kembali ke Departemen Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI, dan itu bukan seperti harapan otonomi daerah dimana bagian tersebut menjadi tambahan PAD. Lantas, apa keuntungan untuk Pemda Kuningan dan Masyarakat Kuningan? bagi Hasil 32 persen, jelas tidak ada dan hal itu akal-akalan kepentingan pengusaha yang membodohi penguasa daerah dengan iming-iming komisi,” kata Ima menambahkan.
Pihaknya menilai, adanya proyek Geothermal ini justru hanya menguntungkan pihak pengusaha bukan Pemda setempat, apalagi masyarakat. Makanya, LSM dan ormas yang berdiri untuk membela rakyat jelas harus lebih memperkuat hati dan suara rakyat, bukan sebaliknya malah lebih memperkuat kaum elit.
“Statemen bagi hasil itu hanya fatamorgana, tolong tunjukkan pada kami pasal mana ada bagi hasil, yang ada hanyalah bonus yang diberikan perusahaan tanpa ada kejelasan prosentasenya untuk desa, masyarakat maupun PAD Kuningan,” imbuhnya.
Bagi yang pro terhadap proyek Geothermal lanjutnya, mungkin tidak mempelajari UU Panas Bumi yang telah direvisi. Karena itu, dirinya menyarankan agar bisa lebih dipelajari dulu, dalami lebih rinci agar bisa mengerti siapa yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan.
“Lenyapkan sterilitiet dalam gerakan, dan agar yang tidak murni terbakar mati,” pungkasnya. (andri)