KUNINGAN (MASS) – Pernyataan anggota Komisi XII DPR RI, H. Rohkmat Ardiyan dalam rapat berama DEN (Dewan Energi Nasional) yang mendorong percepatan pemanfaatan panas bumi (geotermal) dengan merujuk pada potensi 40-50% cadangan global adalah benar, namun narasi ini gagal menyentuh tiga hambatan mendasar yang justru menahan transisi energi hijau di Indonesia.
Jika geotermal adalah fondasi ketahanan energi, mengapa perkembangannya stagnan? Jawabannya terletak pada dilema ekonomi, risiko lingkungan yang tidak terbahas, dan kelemahan regulasi yang belum tuntas di Senayan.
Dilema Ekonomi: Modal Besar Vs Keengganan PLN
Anggota DPR Rohkmat Ardiyan menyebut bahwa pengembangan geotermal terhambat oleh skema investasi dan modal besar, serta membutuhkan “keberpihakan kebijakan pemerintah.”
Masalah utama geotermal bukanlah ketersediaan modal, melainkan Harga Jual Beli Listrik (HJB). Investasi panas bumi memang jangka panjang dan berisiko tinggi (high-risk, high-capital). Namun, Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pembeli tunggal seringkali enggan membeli listrik dari geotermal pada harga yang menarik bagi investor.
- Harga Jual yang Tidak Kompetitif: Biaya eksplorasi dan pengeboran geotermal sangat mahal, membuat HJB listriknya relatif lebih tinggi dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang sudah matang atau tenaga surya/angin yang semakin murah.
- Keberpihakan yang Keliru: Mendorong keberpihakan kebijakan seharusnya berarti menetapkan harga keekonomian yang wajib dibeli PLN (misalnya melalui skema Feed-in Tariff yang kuat), bukan sekadar imbauan. Selama DPR dan Pemerintah tidak berani memaksa PLN untuk menghapus subsidi tersembunyi bagi batu bara, investasi geotermal akan terus mandek.
Risiko Lingkungan yang Tidak Disebut: Ancaman Kawasan Konservasi
Geotermal dianggap energi bersih karena emisinya rendah. Namun, Rohkmat Ardiyan tidak menyinggung masalah lingkungan yang paling sensitif, yaitu lokasi sumber daya panas bumi.
Sebagian besar potensi geotermal terbesar Indonesia, termasuk di Ciremai (Kuningan), berada di Kawasan Konservasi (Hutan Lindung atau Taman Nasional). Regulasi saat ini, khususnya UU No. 21 Tahun 2014, memang mengizinkan kegiatan panas bumi di kawasan hutan.
Namun, izin tersebut selalu memicu penolakan keras dari masyarakat adat dan pegiat lingkungan karena berisiko:
- Deforestasi: Pembukaan lahan untuk pengeboran, jalan akses, dan pembangunan pembangkit akan merusak tegakan hutan, yang berarti mengganggu fungsi penyerapan air dan mitigasi bencana.
- Perubahan Fungsi Ekosistem: Pengeboran bisa mengubah struktur geologi, yang berpotensi memengaruhi sumber mata air di kawasan tersebut. Hal ini menjadi dilema akut bagi daerah yang menggantungkan air baku dari gunung konservasi (seperti kasus PDAM Kuningan yang memanfaatkan Ciremai).
Jejak Kerusakan Konkret di Lapangan
Narasi tentang geotermal sebagai energi bersih seringkali dipertanyakan oleh dampak nyata di lokasi proyek:
- Dieng, Jawa Tengah: Geotermal yang dioperasikan PT Geo Dipa menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius. Warga di dusun dekat PLTP mengeluhkan bau gas seperti telur busuk yang mudah tercium. Kualitas air juga memburuk, terasa asin, sebagian berbau, dan berwarna kekuningan.
- Baturraden, Gunung Slamet: Proyek PLTP ini memicu penolakan masif karena kekhawatiran merusak keanekaragaman hayati dan mengancam sumber mata air. Meskipun proyeknya gagal atau terhenti, jejak kerusakan eksplorasi dan gangguan kawasan sudah terlanjur terjadi.
- Mataloko, Kabupaten Ngada: Proyek geotermal ini menjadi contoh pengembangan yang tidak berjalan mulus dan mengalami kegagalan, meninggalkan pertanyaan tentang efisiensi investasi dan pengelolaan lahan.
Pemanfaatan geotermal harus didahului dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang transparan dan melibatkan masyarakat secara penuh, bukan sekadar menggunakan izin konservasi sebagai alat percepatan.
Tantangan Regulasi: Mandeknya Peran DPR dan DEN
Rohkmat Ardiyan menyoroti peran strategis Dewan Energi Nasional (DEN) dalam mengawal pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2025.
Peran strategis DEN dan pengawalan transisi energi adalah tugas utama DPR RI melalui fungsi legislasi dan pengawasan. Jika pengembangan geotermal masih terkendala regulasi dan skema investasi, maka:
- Kegagalan Regulasi: DPR harus menjelaskan mengapa Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang seharusnya menjadi payung hukum utama, hingga kini masih tertahan atau belum memberikan kepastian harga yang kuat.
- Keberpihakan Daerah Semu: Klaim bahwa daerah akan menerima Dana Bagi Hasil (DBH) yang signifikan adalah benar. Namun, apa gunanya DBH jika lingkungan yang menjadi sumber air dan mata pencaharian utama daerah (hutan konservasi) harus dikorbankan? Prioritas haruslah konservasi dan ketersediaan air bersih, baru kemudian DBH.
Kesimpulan Kritis: Pilihan Ciremai dan Prioritas Nasional
Narasi tentang potensi geotermal adalah cita-cita yang indah, tetapi gagal membumi di hadapan realitas harga, risiko lingkungan, dan lemahnya payung hukum.
DPR RI, termasuk Bapak Rohkmat Ardiyan, harusnya fokus pada dua hal krusial: pertama, menyelesaikan RUU EBET dengan skema harga yang benar-benar wajib dan menarik bagi investor; dan kedua, membuat regulasi yang melarang eksploitasi di zona inti kawasan konservasi yang menjadi penyangga bencana dan sumber air bagi rakyat.
Setelah melihat jejak kerusakan konkret di Dieng, kegagalan di Baturraden, dan masalah di Mataloko, pertanyaannya kini adalah:
“Apakah kita masih tetap mau memaksakan proyek geotermal di Ciremai—yang notabene adalah benteng terakhir Kuningan dari krisis air dan bencana—demi menjamin ketahanan energi di atas kerusakan lingkungan yang telah terbukti di banyak tempat?”
Oleh: Maun Kusnandar/Ciremai Resilience Initiative












