KUNINGAN (MASS) – Isu terkait galian lahan di kawasan Jalan Lingkar Timur Kuningan kembali menjadi sorotan publik. Meskipun disebut telah mengantongi rekomendasi dan bukan merupakan aset daerah, persoalan ini membuka kembali luka lama tentang lemahnya pengawasan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengelola tata ruang dan izin pemanfaatan lahan.
Fenomena ini sejatinya bukan kasus tunggal. Pola yang sama tampak jelas dalam polemik pendirian tower di Desa Muncangela, dimana bangunan tower sudah gagah berdiri dan siap beroperasi tanpa kejelasan administrasi perizinan dan tanpa melibatkan seluruh masyarakat dalam proses perizinan. Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi pengawas sekaligus pelindung kepentingan publik, justru tampak abai dan lamban bertindak.
Dalam kasus galian di lingkar timur, argumen bahwa lahan tersebut bukan aset daerah seolah dijadikan tameng pembenaran, padahal setiap aktivitas yang berdampak pada lingkungan dan tata ruang publik tetap memerlukan izin dan pengawasan ketat. Sama halnya dengan tower di Muncangela, di mana ketiadaan sosialisasi dan inkonsistensi perizinan menjadi bukti bahwa pemerintah daerah kerap hanya hadir setelah polemik membesar, bukan sebelum pelanggaran ramai tersebar.
Sikap ini memperlihatkan adanya celah struktural dalam tata kelola pemerintahan daerah, terutama dalam hal sinkronisasi antara perizinan teknis, tata ruang, dan kepentingan masyarakat. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang menikmati keuntungan dari eksploitasi lahan dan ruang publik tampak tidak menunjukkan penghormatan terhadap etika administrasi dan partisipasi warga.
Kedua kasus ini, baik galian di lingkar timur maupun tower Muncangela,menegaskan bahwa masalah utama bukan sekadar soal izin, tetapi soal tanggung jawab moral dan transparansi publik. Pemerintah daerah harus berhenti bersembunyi di balik regulasi yang kabur dan mulai menegakkan prinsip good governance: transparan, akuntabel, dan berpihak pada masyarakat.
Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Kuningan akan terus menjadi ladang bagi praktik perizinan abu-abu, di mana kepentingan publik dikorbankan atas nama investasi.
Oleh: Komarudin Humaedi, warga Desa Muncangela






















