KUNINGAN (MASS) – Politisi senior yang juga Ketua Fraksi Golkar H Yudi Budiana, angkat bicara soal gonjang-ganjing nunggaknya Pemda pada pelaksana proyek sebagai wanprestasi, kurang lebih frasa ini cocok pada gagal bayar.
Hal itu, diutarakan Yudi dalam podcast di channel Kuningan Mass pada Senin (16/1/2023) kemarin. Yudi, menerangkan kasus tersebut sesuai backgroundnya di bidang hukum.
“Saya coba lihat (melalui) persfektif hukum,” ujar mantan Ketua DPRD tersebut.
Menurutnya, dalam hal ini antara Pemegang Anggaran (PA) melalui PPK (Pejabat Pembuat Komitment) dan pelaksana/penyedia kerja, sejak awal terikat kontraktual.
Ada hak, kewajiban sampai kalender kerja (entah itu 60, atau 120 hari misalnya) yang saling mengikat satu sama lain. Bahkan, di dalam perjanjian kerjanya itu, ada sanksi apabila telat dalam melaksanakan pekerjaan sebesar 1/1000 dari nilai kontrak.
“Gimana kalo PPK yang tidak melakukan kewajiban, wanprestasi, cidera janji, cidera prestasi?” kata Yudi.
Meski bukan hanya terjadi di Kuningan, Politisi Golkar itu mengaku khawatir karena gagal bayar ini justru menimbulkan gejolak bagi para pelaksana proyek.
Dengan tidak ada penyelesaian ini, lanjut Yudi, khawatir justru memancing mereka ke ranah hukum seperti somasi yang terjadi di Cirebon, bahkan class action, meskipun memang itu terkait perdata.
“(Dijanjikan sampai Maret/April) Sepihak, Ini kan kontraktual. Kalo tidak ada penyelesaian minimalnya ada pertemuan,” imbuhnya.
Yudi menyarankan, pertemuan itu harus melibatkan penyedia pekerjaan dan TAPD atau SKPD yang masih nunggak. Pertemuan itu dilakukan untuk membuat semacam MoU, Adendum baru.
Dari apa yang diketahuinya, dalam kontrak kerjasama sebenarnya sudah mengatur bagaimana jika salah satu pihak wanprestasi. Penyedia kerja, sanksinya 1/1000 dari nilai proyek perhari.
Sementara, jika yang wanprestasi adalah PPK sanksinya senilai bunga berjalan. Karena kontraktual yang mengikat ini, lanjut Yudi, harusnya ada adendum baru.
“Kalo saya, cenderung (cocok menggunakan istilah) gagal bayar, wanprestasi. Kita (jangan) alergi diksi,” sebutnya.
Menurutnya, Pemda jika bisa tidak perlu sampai sanksi. Karena kalo itu terjadi, lanjut H Yudi, seperti sudah jatuh tertimpa tangga.
Lebih jauh, Yudi ditanya perihal proyek yang beraumber dari DAK (Pusat) dan BP (Provinsi) tapi masih gagal bayar padahal dananya sudah turun.
“(Padahal) yang saya tau, dulu (saat pejabat lama) dipisah (proyek yang sumber dananya dari Pusat dan Provinsi),” kata Yudi.
Meski mungkin hal itu tidak berkonsekuensi hukum, namun dirinya khawatir jika sampai Inspektorat Provinsi atau pemeriksa keuangan dari Pusat datang ke Kuningan, akan bertanya ini uangnya kemana?
Sekali lagi, Yudi mengingatkan ke Pemda jangan ugal-ugalan soal hutangnya ke penyedia proyek. Tidak seperti utang pribadi yang tidak terikat kontraktual, secara sepihak bisa saja menjamin akan bayar.
Yudi juga menyayangkan, dalam kasus ini Keplaa Bappenda seperti “dikorbankan” karena PAD yang jadi alasan gagal bayar. Padahal, secara target dan presentasi mulai dari perencanaan, Bappenda dianggap Yudi sudah bekerja optimal sesuai target awal.
“Saya curiga hanya untuk ballancing, siapa yang merubah Pendapatan sampai Kepala Bappenda minta maaf begitu,” kata Yudi.
Di akhir, podcast ditutup dengan membahas JLTS yang ternyata masih ada yang tidak terealisasi.
Yudi juga menutup statementnya dengan mengutip 3 istilah hukum soal kegagalan pembayaran. Gagal bayar/wanprestasi, PKPU dan Pailit.
Wanprestasi, debitur tidak melakukan pembayaran sesuai yang dijanjikan (nominal atau waktu). Lalu PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bolehnya menunggak karena tidak mampu bayar) dan Pailit/bangkrut.
Menurutnya, sejauh ini pemerintah masih mengaku mampu membayar. Karenanya tidak masuk PKPU atau Pailit, tapi wanprestasi/gagal bayar. (eki/deden)
Podcast selengkapnya tonton disini :