KUNINGAN (MASS) – Fenomena manusia zombi telah menjadi salah satu simbol paling kuat dalam budaya pop dunia Barat. Dari film, novel, hingga serial televisi, zombi—makhluk yang berjalan tanpa kesadaran penuh dan kehilangan identitas—terus berkembang menjadi representasi ketakutan akan masa depan yang suram.
Namun, lebih dari sekadar imajinasi horor, manusia zombi adalah potret gelap peradaban Barat modern yang tidak lagi bisa dianggap remeh.
Di dunia Barat, zombi sering digambarkan sebagai individu yang terinfeksi virus atau kondisi aneh lainnya yang membuat mereka kehilangan kendali atas diri mereka sendiri.
Mereka adalah manusia yang terpecah dari kemanusiaan mereka, berjalan tanpa tujuan, hanya didorong oleh insting untuk mengkonsumsi.
Dalam karya-karya budaya pop, seperti film Night of the Living Dead (1968) atau The Walking Dead (2010), zombi selalu digambarkan sebagai ancaman yang tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri manusia itu sendiri.
Mereka bukan hanya makhluk yang mengejar mangsa, tetapi juga simbol dari hilangnya kemanusiaan, individualitas, dan nilai-nilai moral.
Zombi bukan lagi sekadar monster horor, namun mereka mencerminkan sebuah realitas yang semakin kompleks di dunia Barat: sebuah masyarakat yang terisolasi, teralienasi, dan semakin kehilangan makna hidup.
Dalam banyak cerita, orang yang berubah menjadi zombi adalah mereka yang merasa terputus dari dunia, kehilangan tujuan, dan tenggelam dalam rutinitas yang monoton. Mereka menjadi semacam cerminan gelap dari ketidakmampuan manusia untuk beradaptasi dengan cepatnya perubahan zaman yang penuh dengan krisis eksistensial dan ketidakpastian.
Faktor Penyebab Utama
Ada banyak penyebab yang dapat menjelaskan mengapa fenomena manusia zombi begitu populer dalam kebudayaan Barat. Namun dua faktor utama yang menjadi sorotan adalah krisis eksistensial dan disfungsi peradaban.
- Krisis Eksistensial
Di dunia Barat yang semakin didorong oleh kemajuan teknologi, kapitalisme yang merajalela, dan globalisasi, banyak orang merasa terasing dari lingkungan mereka sendiri.
Struktur sosial tidak mampu memberikan rasa aman atau tujuan yang jelas. Di tengah pergeseran besar dalam ekonomi, politik, dan budaya, banyak individu merasa seperti “zombi” yang terperangkap dalam pekerjaan yang monoton atau peran yang tidak memberikan makna dalam hidup mereka.
Zombi, dalam hal ini, menjadi metafora dari rasa hampa yang dihadapi oleh manusia di dunia yang serba terhubung namun terasing.
Ketidakpastian mengenai masa depan, perubahan lingkungan yang drastis, serta ketimpangan sosial-ekonomi yang semakin lebar, menciptakan kekosongan yang hanya bisa diisi dengan konsumsi atau pencarian arti yang tak kunjung ditemukan.
- Krisis Sosial dan Disfungsi Peradaban
Di sisi lain, zombi juga mencerminkan sebuah kritik terhadap ketidakberdayaan sosial dan disfungsi dalam peradaban Barat. Dalam banyak cerita zombi, masyarakat yang terkena wabah virus atau bencana global tidak mampu bertahan lama.
Instabilitas sosial berkembang pesat, menyebabkan banyak individu kehilangan identitas dan menjadi bagian dari kerumunan yang lebih besar, tanpa keinginan atau daya untuk melawan.
Peradaban mulai runtuh, dan individu-individu tersebut terjebak dalam keadaan yang tidak lagi memiliki struktur yang jelas, meruntuhkan konsep dasar tentang tatanan sosial.
Fenomena manusia zombi di sini menjadi simbol dari disfungsi sosial yang terjadi dalam masyarakat yang semakin terpecah belah oleh berbagai masalah seperti individualisme ekstrem, keterasingan, dan ketidakseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual.
Dalam banyak cerita, para zombi adalah potret dari manusia-manusia yang terjerumus dalam siklus tanpa akhir dari konsumsi dan kekosongan, yang semakin jauh dari ideal kemanusiaan yang sesungguhnya.
Akar Filosofi Peradaban Barat Modern
Peradaban Barat modern lahir dari sebuah filsafat yang mengedepankan rasionalitas, individu, dan kemajuan teknologi. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, peradaban ini juga menghasilkan krisis eksistensial yang mendalam.
Akar filosofi Barat yang berlandaskan pada Descartes dan pemisahan antara tubuh dan jiwa, serta pengutamaan rasio dan teknologi, berkontribusi pada munculnya pandangan tentang manusia sebagai entitas yang terpisah dari alam, dari yang transenden, dan bahkan dari dirinya sendiri.
Ketika filsafat modern menegaskan dominasi rasio dan kontrol terhadap alam, manusia menjadi semakin terasing dari esensi sejatinya. Peradaban ini menghasilkan individu yang, meski hidup dalam kemajuan material, tetap merasa terasing dalam jiwanya.
Keputusan rasional yang mendominasi dan ketergantungan terhadap teknologi serta konsumsi menjauhkan manusia dari makna hidup yang lebih mendalam, menciptakan kondisi yang melahirkan “zombi” sosial: individu yang kehilangan arah, yang meski hidup, tetapi tidak benar-benar hidup. Mereka berjalan, tetapi tidak mencari atau menciptakan makna yang lebih tinggi.
Manusia Zombi dan Manusia Jasad
Dalam penafsiran eskatologis, fenomena zombi, baik dalam media populer seperti film atau acara televisi, dianggap sebagai simbol dari kerusakan moral dan spiritual yang lebih besar dalam peradaban Barat.
Peradaban Barat yang materialistik dan sekuler telah menyebabkan kehancuran nilai-nilai spiritual dan sosial. Salah satu aspek dari kehancuran ini, adalah hilangnya kesadaran akan realitas yang lebih tinggi, terkait dengan ajaran agama, kebenaran moral, dan nilai-nilai spiritual.
Fenomena zombi, yang digambarkan sebagai manusia yang kehilangan identitas dan kendali atas diri mereka, dapat dilihat sebagai gambaran metaforis dari individu atau masyarakat yang kehilangan arah dan tujuan hidup mereka karena ketergantungan pada teknologi, materialisme, dan hedonisme.
Dalam film atau cerita zombi, para zombi sering kali digambarkan sebagai individu yang tubuhnya masih ada, tetapi mereka kehilangan jiwa atau kesadaran. Ini bisa dipahami sebagai representasi dari manusia yang hidup tetapi kehilangan kualitas manusiawi mereka, seperti hati nurani, kasih sayang, dan kesadaran spiritual.
Dalam konteks ini, peradaban Barat, yang terlalu fokus pada konsumsi, teknologi, dan kekuasaan, menciptakan masyarakat yang seperti “zombi”, hidup tetapi kehilangan kedalaman jiwa dan kesadaran spiritual.
Selain itu, peran sistem ekonomi kapitalis, yang berfokus pada konsumerisme dan materialisme, sebagai salah satu penyebab utama kehancuran spiritual ini. Sistem ini telah memisahkan manusia dari hubungan yang mendalam dengan Tuhan dan menggantikan pencarian spiritual dengan pencarian kekayaan dan kekuasaan duniawi.
Fenomena zombi juga dapat dilihat sebagai simbol ketakutan terhadap kehilangan kontrol atas diri sendiri. Dalam banyak cerita zombi, individu yang terinfeksi atau terubah menjadi zombi kehilangan kendali atas pikiran dan tindakan mereka, dan ini mencerminkan ketakutan terhadap alienasi dalam dunia yang semakin terhubung secara digital namun semakin terisolasi secara emosional dan spiritual.
Dalam budaya populer, zombi diartikan sebagai makhluk yang secara fisik hidup, namun kehilangan esensi kemanusiaannya, sebagai individu yang tidak memiliki kehendak bebas, tidak memiliki kesadaran, dan beroperasi hanya berdasarkan insting atau perintah dari suatu kekuatan eksternal.
Dalam konteks ini, zombi adalah manusia yang “terperangkap” dalam tubuhnya, tetapi kehilangan jiwa atau kesadaran yang seharusnya menjadikan mereka manusia sejati.
Sementara itu, konsep Dajjal dalam tradisi eskatologis Islam dikaitkan dengan figur yang menggambarkan penyesatan besar di akhir zaman. Dajjal disebut sebagai “manusia jasad”, yaitu sosok yang memiliki tubuh fisik manusia, namun secara moral dan spiritual dia jauh dari kemanusiaan yang sejati.
Dajjal digambarkan sebagai individu yang mampu menipu umat manusia dengan penampilan yang luar biasa, tetapi di balik itu, dia adalah simbol dari kebohongan besar dan penyesatan yang berbahaya. Dalam Eskatologi Islam, Dajjal dipahami sebagai representasi dari fitnah (ujian besar) yang memisahkan manusia dari kebenaran spiritual.
Dalam penafsiran eskatologis, konsep zombi paralel dengan konsep dajjal sebagai “manusia jasad” yang disebutkan dalam Surat Shad ayat 34. Persamaannya, terletak dalam hal hilangnya esensi manusia yang sejati.
Ayat tersebut menggambarkan bahwa seseorang (dalam konteks ini, iblis atau setan, yang merupakan kaki tangan dajjal) mendapatkan kekuasaan untuk mengendalikan seseorang, sehingga mereka menjadi makhluk yang “terbelenggu” dalam tubuh mereka, tanpa memiliki kesadaran atau kekuatan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai spiritual yang benar.
Manusia zombi dan manusia jasad sama-sama tidak mampu berpikir secara bebas dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan spiritual yang sejati.
Manusia zombi adalah representasi dari individu yang terlepas dari kesadaran penuh tentang hakikat dirinya, yang juga dapat disamakan dengan konsep “manusia jasad” Dajjal, dalam arti bahwa keduanya memiliki tubuh fisik tetapi telah kehilangan esensi kemanusiaannya.
Fenomena zombi, dengan demikian, lebih dari sekadar sebuah genre hiburan; ia berfungsi sebagai peringatan tentang kerusakan peradaban Barat yang telah kehilangan kompas moral, spiritual, bahkan kemanusiaannya.
Zombi menjadi metafora bagi manusia yang hidup tetapi tanpa tujuan yang lebih tinggi, yang terperangkap dalam dunia materialistik dan sekuler yang semakin merusak jiwa dan identitas kemanusiaan mereka.
Kesimpulan dan Refleksi
Fenomena manusia zombi bukan sekadar cerita horor, tetapi cerminan gelap dari peradaban Barat modern itu sendiri.
Dalam dunia yang dipenuhi oleh ketidakpastian, konsumsi tanpa henti, dan perpecahan sosial, zombi muncul sebagai simbol dari kehilangan kemanusiaan dan ketidakmampuan untuk menemukan makna yang sejati dalam kehidupan.
Dari krisis eksistensial hingga disfungsi sosial, manusia zombi mencerminkan kehancuran fondasi peradaban yang mengedepankan kebebasan individu, rasionalitas, dan pencapaian material.
Dalam refleksi yang lebih dalam, fenomena ini mengajak kita untuk merenungkan apakah kita, sebagai bagian dari peradaban ini, tidak juga telah menjadi bagian dari suatu proses zombiifikasi.
Apakah kita tidak terjebak dalam rutinitas yang hampa, mencari kepuasan dalam hal-hal yang tidak memberikan kedamaian sejati, atau merasa terasing dari tujuan hidup yang lebih besar?
Zombi bukan hanya ancaman dari luar, tetapi mungkin juga merupakan bayangan dari diri kita yang tengah terlelap, yang berjalan tanpa arah.
Fenomena manusia zombi adalah potret gelap peradaban Barat yang harus dihadapi dengan kesadaran untuk kembali menemukan keseimbangan antara kemajuan material dan pencarian makna hidup yang lebih mendalam. Jika tidak, kita semua mungkin akan tetap berjalan, tetapi tak lagi hidup. Dalam perspektif Eskatologi Islam, ini adalah bagian dari fitnah besar Dajjal di zaman ini.
Ketika manusia zombi merupakan fenomena sosial yang semakin menjadi monster menyeramkan, ini adalah pemenuhan nubuat Al-Qur’an tentang fitnah Dajjal sebagai manusia jasad, yang dalam konteks kontemporer mewujud pada manusia digital.
Itu sebabnya, Nabi SAW membimbing kita bagaimana caranya berlindung dari fitnah dajjal:
Dari Abdullah Ibnu Umar RA, Nabi SAW bersabda:
“Barang siapa yang membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jumat, akan diterangi oleh cahaya antara dua Jumat.”
(HR. an-Nasai, 1340, dan beberapa perawi lainnya).
Cahaya memiliki sifat menerangi. Penerangan ini dapat dipahami sebagai simbol dari cahaya ilmu, petunjuk spiritual, dan perlindungan Allah. Dalam konteks perlindungan dari fitnah Dajjal, cahaya ini merepresentasikan kekuatan iman dan kesadaran yang membimbing seorang Muslim untuk tetap teguh di jalan yang benar, meskipun dihadapkan pada fitnah dan penyesatan Dajjal.
Cahaya yang disebutkan dalam Hadits ini bisa diartikan sebagai pencerahan yang melindungi seseorang dari kebingungan dan penyesatan Dajjal. Dengan membaca Surat Al-Kahfi pada setiap hari Jum’at, seorang Muslim mendapatkan perlindungan spiritual yang memperkuat keimanan dan kemampuannya untuk membedakan antara kebenaran dan kebohongan, yang sangat penting dalam menghadapi fitnah Dajjal, yang dalam konteks kontemporer mencakup perlindungan dari fitnah dunia digital.
Implikasi Metodologis
Kajian dalam subjek ini menyajikan contoh bagaimana pendekatan tekstual-kontekstual diterapkan dalam Eskatologi Islam.
Pemahaman Dajjal sebagai jasad berasal dari teks Al-Qur’an, cara berlindung dari fitnah Dajjal berasal dari teks Hadits. Sedangkan pemahaman Dajjal sebagai jasad dalam konteks kontemporer dalam bentuk fitnah zombi dan dunia digital adalah hasil dari penerapan pendekatan kontekstual.
Pemahaman ini jauh berbeda dengan pendekatan simbolik rasional yang, diakui atau tidak, terpengaruh oleh filsafat rasional Descartes. Perbedaannya, pemahaman simbolik saja, cenderung terlepas dari Teksnya, karena Descartes memang tidak tahu menahu tentang Teks Profetik.
Pendekatan ini sekaligus menawarkan dimensi dan perspektif baru dalam konteks paradigma keilmuan UIN yang integratif, yaitu mengintegrasikan pendekatan tekstual dan kontekstual dalam Studi Islam.
Maman Supriatman (Akademisi)
والله اعلم
MS 06/12/24