BANDUNG (MASS) – International Labour Organization (ILO), organisasi perburuhan internasional untuk Indonesia dan Timor Leste menyelenggarakan Workshop tentang Penghapusan Kerja Paksa pada Rabu-Kamis (2-3/10/2024) di Hotel Grand Mercure Bandung. Menurut Mr. Muhamad Nour, National Programme Coordinator ILO Jakarta, event ini merupakan program dari Accelarator Lab Programme 8.7.
Hadir dalam acara tersebut Ms. Simrin C. Singh (Director ILO for Indonesia & Timor Leste) beserta jajarannya (Mr. Bona Sahat, Mr. Januar Rustandie, Dr.Yuka Ujita, Ms.Barati Pflug, Ms.Yulia Frida dll), perwakilan dari Kemnaker, Kemenlu, Kemenkomarves, Kemenhub, BP2MI, Apindo, GAPKI, AP2HI, ISMAA, IMCAA, KSPI, KSBSI, KSPSI, Sarbumusi, SBMI, DFW dan lain-lain.
Ms. Barati Pflug perwakilan dari ILO Decent Work Technical Support Team untuk Asia Pacific menjelaskan 11 indikator kerja paksa diantaranya : kerentanan penyalahgunaan, penipuan, pembatasan pergerakan, isolasi, kekerasan fisik & seksual, intimidasi & ancaman, penahanan dokumen identitas, penahanan upah, jeratan hutang, kondisi kerja & kehidupan yang buruk, jam kerja yang berlebihan.
Sedangkan Ms. Dr. Yuka Ujita menjelaskan tentang K3 (Kesehatan & Keselamatan Kerja) atau OSH (Occupational Helath & Safety), sedangkan Ms. Alix Nasri ILO Jenewa menjelaskan kembali tentang forced labour via zoom.
Salah satu Pembicara di hari kedua, 3 Oktober 2024 adalah Dr. Tohana, Ketua ISMAA (Indonesia Ship Manning Agents Association) yang memaparkan Managing the Risk of Modern Slavery (mengelola risiko perbudakan modern) khusus untuk anak buah kapal dengan menguraikannya menjadi 3 tahapan yakni prevention, identification dan mitigation.
Dr. Tohana, yang juga pituin asli Kuningan itu mengawali paparannya dengan menjelaskan bahwa manning agents secara hakikat adalah Agent Pemerintah yang membantu memberikan pekerjaan kepada WNI serta menghasilkan devisa yang sangat besar.
Dalam upaya pencegahan, Dr. Tohana menjelaskan perlu adanya responsible & fair recruitment sehingga manning agents dalam menjalankan bisnisnya harus menggunakan hati dan akhlak serta perilaku yang baik, seleksi pelaut secara ketat, sosialisasi kerja paksa kepada calon awak kapal, diperlukannya perjanjian bilateral Pemerintah dengan negara bendera (flagstate) dalam perlindungan awak kapal, peningkatan anggaran Kemenlu yang merupakan garda terdepan dalam penangan kasus ABK di luar negeri.
Kemudian, meratifikasi Konvensi ILO C.188, moratorium, menghindari kapal-kapal bendera FOC, control yang ketat di airport & seaport, medical check up yang ketat, diperlukannya koordinasi dan diskusi dengan pemilik kapal (flag state) mengenai kelebihan jam kerja, BPJS Ketenagakerjaan & Kesehatan serta Subsidi kepada awak kapal dan manning agents.
Yang menarik dalam pembahasan ini adalah subsidi Pemerintah kepada awak kapal dan manning agents. Dr. Tohana menjelaskan bahwa seyogyanya pemerintah memberikan subsidi kepada industry-industri berbasis export barang & jasa, tak terkecuali manning agents dan pelaut.
“Industri jasa pengawakan kapal asing menempati urutan kedua setelah migas dalam menghasilkan devisa. Maka, Pemerintah perlu memberikan subsidi Rupiah kepada industri ini karena Pemerintah memerlukan devisa untuk pembangunan dan kemajuan Negara,” tuturnya.
Lebih lanjut Ketum ISMAA ini menjelaskan bahwa subsidi rupiah yang diberikan Pemeritah akan digunakan oleh industri untuk menghasilkan barang dan jasa yang akan diexport ke LN dengan pembayaran valas yang selanjutnya harus ditukar dengan Rupiah ke Bank Pemerintah oleh industri dan rupiah tersebut akan digunakan kembali untuk memproduksi barang & jasa tujuan export, begitu seterusnya sehingga Pemerintah akan terus mendapatkan devisa.
“Sekalipun dengan mencetak uang baru, Pemerintah tidak akan merugi dan tidak akan menimbulkan inflasi secara signifikan”,ujar Dr. Tohana yang berasal dari Desa Langseb
Menurutnya, subsidi rupiah ini merupakan strategi bakar uang dan akan berdampak positif kepada stabilitas keuangan negara, mengurangi pengangguran, pertumbuhan/peningkatan iklim bisnis, peningkatan kesejahteraan, peningkatan pendidikan, pemerataan pembangunan dan lain-lain.
Dalam hal identification forced labour/human trafficking, Dr. Tohana menjelaskan perlu adanya kontrol manning agent kepada awak kapal secara berkala, laporan kedatangan awak kapal, koordinasi manning agent dan awak kapal secara berkala, perlu adanya pusat pengaduan, laporan berkala manning agents kepada KBRI/Konsulat, perlu adanya observer diatas kapal atau dengan digital surveillance oleh portstate, online database awak kapal, kunjungan kedutaan secara berkala, aplikasi software pelaporan forced labour kepada portstate dan flagstate.
Sedangkan dalam paparan mengenai mitigation, Dr. Tohana menjelaskan bahwa penanganan kasus harus diselesaikan di negara dimana kasus tersebut terjadi karena pelakunya adalah pemilik kapal atau kapten kapal, selain itu perlu adanya sinergi semua stakeholders, penyelesaian regulasi tumpeng tindih, kolaborasi KBRI dan Kementerian terkait dengan manning agents, manning agents harus diperlakukan sebagai partner, kolaborasi sarikat pelaut dengan manning agents, melibatkan Interpol, melakukan evaluasi dan perbaikan secara terus menerus. (eki/rl)