KUNINGAN (MASS) – Di tengah arus urbanisasi dan hilangnya minat anak muda terhadap sektor pertanian, seorang pemuda dari Dusun Manis, Desa Cihirup, Kabupaten Kuningan, memilih arah berbeda. Wildan Mauludin, sarjana agribisnis, bukan hanya pulang kampung setelah kuliah. Ia pulang untuk bertani. Bukan untuk diam, tapi untuk bergerak dan membawa perubahan nyata dari sawah.
Di saat banyak anak muda meninggalkan desa demi pekerjaan kota, Wildan Mauludin justru pulang dan menetap. Dengan tekad kuat dan semangat perubahan, pemuda asal Kecamatan Ciawigebang itu kini mengelola 13,5 hektare lahan pertanian dan aktif mendorong regenerasi petani muda di Kabupaten Kuningan.
Berstatus sebagai finalis tiga besar Petani Milenial Komoditas Tanaman Pangan Terbaik se-Jawa Barat, Wildan menjadi contoh nyata, bertani bukan pekerjaan kuno, melainkan profesi masa depan.
“Bukan karena gagal jadi yang lain, tapi karena saya tahu tanah ini butuh dijaga,” ungkap Wildan.
Setelah lulus dari jurusan Agribisnis, Wildan menolak arus mainstream. Ia tidak mencari kerja ke kota, melainkan kembali ke desa dan mulai menggarap sawah sejak 2019. Dalam lima tahun, ia berhasil memperluas lahan garapannya dan menerapkan teknologi pertanian modern seperti combine harvester, traktor roda empat, irigasi tetes, hingga oven pengering padi.
Wildan juga aktif mengikuti pelatihan dari Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang dan Dinas Pertanian, mempelajari manajemen usaha tani, literasi keuangan, hingga digitalisasi pertanian.
Data Sensus Pertanian 2023 menunjukkan, ada 10.674 petani muda berusia 19–39 tahun di Kabupaten Kuningan, setara 17,56% dari total petani. Wildan termasuk dalam angka itu, tapi ia menegaskan, keberadaan mereka bukan sekadar angka.
“Kami tidak cuma terdata. Kami bergerak,” tegasnya.
Saat ini, terdapat 685 petani milenial aktif di Kuningan yang telah mengikuti pelatihan dan terjun langsung ke lapangan. Mereka mendapat dukungan dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian dalam bentuk pelatihan alsintan, pendampingan teknis, hingga akses pasar.
Wildan menggarisbawahi pentingnya pemanfaatan alat dan mesin pertanian (alsintan). Dirinya membuktikan, alsintan seperti combine harvester bukan sekadar bantuan seremonial.
“Saya pakai alat itu setiap panen. Saya tahu cara jalankan, rawat, dan bahkan berbagi dengan petani sekitar,” jelasnya.
Efeknya pun nyata, biaya panen berkurang, waktu kerja lebih efisien, dan produktivitas meningkat hingga 30%.
Tak berjalan sendiri, Wildan bersama petani muda lainnya membentuk komunitas, ikut sekolah lapang, pelatihan digitalisasi pertanian, dan belajar wirausaha tani. Ia juga aktif mengajak generasi muda lain untuk bertani dan meyakinkan mereka bahwa petani bisa sejahtera, bangga, dan berdaya.
“Bertani bukan hanya soal cangkul, tapi juga ide dan strategi. Kami hadir di sawah, bukan hanya di seminar,” katanya.
Sebagai finalis Petani Milenial terbaik tingkat provinsi, Wildan berharap prestasinya menjadi pintu inspirasi bagi anak-anak muda desa lainnya.
“Saya ingin anak muda desa tahu, bahwa petani bisa membanggakan, bisa menginspirasi,” ujarnya.
Wildan menutup pesannya dengan ajakan lugas, jika ingin bicara soal regenerasi petani, jangan hanya di forum atau seminar, melainkan datang ke ladang.
“Perubahan itu tidak lahir dari acara, tapi dari tangan-tangan yang menyentuh tanah,” tutupnya. (Dok)
